Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dari keppres 14 ke uu "anti trust"?

Keppres no 14/1979 bermaksud melindungi pengusaha kecil belum memadai. perlu adanya undang-undang anti trust untuk mengontrol tingkah laku perusahaan raksasa.

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

T. Mulya Lubis, 32 tahun, adalah sarjana hukum lulusan UI. Setelah melanjutkan studinya di Universitas California, Berkeley, ALS, ia kini bekeria di Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta. BANYAK yang merasa prihatin akan nasib pengusaha teri yang semakin terjepit. Belakangan ini pengusaha teri ini diperjelas lagi sebagai pengusaha pribumi. Secara yuridis bisa dipersoalkan keabsahan penjelasan yang membedakan pribumi dengan non-pribumi, sebab sesungguhnya pengusaha teri itu tidak tergantung pada apakah dia itu pribumi atau non-pribumi. Terlepas dari ketidak-tepatan pembedaan tersebut di atas Keppres No 14/1979 agaknya harus diartikan sebagai suatu concern yang mendalam dari semakin terjepitnya pengusaha teri kita. Pemerintah mulai mencium bahwa cepat atau lambat pengusaha kakap akan segera melindas pengusaha teri. Suatu persaingan tidak seimbang memang tengah terjadi dengan sah, sebab bukankah UUPMA mensahkan terciptanya situasi seperti ini? Kebijaksanaan pintu terbuka tanpa proteksi yang kuat bagi pengusaha teri, suka atau tidak suka akan menjurus ke arah itu. Secara ekonomi tidak mungkin pengusaha teri bersaing dengan pengusaha kakap, baik dari segi kapital, know-how, efisiensi, dsbnya. Pengusaha teri ini hanya hadir sebagai pesaing agar dakwaan monopoli secara yuridis bisa dibantah. Tapi secara riil kita toh hanya menemui Coca Cola dan Seven Up. Minuman lokal semakin sedikit yang terpajang di kaki lima. Keppres No 14/1979 hanyalah salah satu sikap pemerintah. Sebelum ini sudah ada Keputusan 22 Januari 1974 dari Kabinet yang memberikan preferensi kepada pengusaha teri pribumi. Pengalihan saham harus segera dilakukan, dan dalam tempo 10 tahun partner pribumi harus beroleh paling sedikit 51%. Lalu hal ini ditopang lagi dengan anjuran agar perusahaan menjual sahamnya kepada publik melalui Pasar Uang dan Modal. Pokoknya usaha untuk memberikan kesempatan yang lebih terbuka kepada pengusaha teri sudah mulai dijadikan 'kebijaksanaan' Sampai sejauh ini kita merasa beralasan untuk bersikap lega terhadap kebijaksanan tersebut, walau sebenarnya kebijaksanaan tersebut belum memadai. Mengapa belum memadai? Seharusnya kita sadar bahwa banyak PMA yang ada di sini adalah kepanjangan dari Perusahaan Multinasional yang mengontrol pasaran dunia dengan hampir sempurna, Keprihatinan atas kompetisi tidak sehat musti didukung dengan kebijaksanaan yang lebih tegas dan menyeluruh. Keppres No 14/1979 lebih banyak bicara soal preferensi terhadap kontraktor teri. Tetapi ekonomi bukan hanya bisnis borong memborong. Persaingan tidak sehat itu ada di mana-mana. Iklan Coca Cola yang raksasa adalah bukti besar dari persaingan yang tidak sehat ini. Kompetisi tidak sehat itu bisa dihasilkan oleh perbuatan yang tidak sehat, atau katakan itu perbuatan yang melanggar hukum dengan itikad buruk. Karena itu pantas dihukum Juga bisa disebabkan oleh kekuatan menawar yang tak seinbang, antara pengusaha sejenis. Ukurannya tentu tidak gampang. Kita harus melihatnya dari penguasaan pasar (markret share), organisasi perusahaan apakah horisontal atau vertikal, tingkat kelebihan teknologi dan yang tidak kalah pentingnya yaitu persekongkolan antar perusahaan. Dalam konteks ini Undang-Undang Antitrust menjadi amat relevan. Peraturan yang mengatur persaingan di pasiir harus segera diciptakan. Orang Amerika bilang "big is bad" dan ini agaknya benar. Sebab perusahaan kakap di sana sudah terlalu berkuasa, tidak saja dalam soal ekonomi tetapi juga dalam soal kenegaraan. Apa kita juga cenderung melangkah ke sana? Antitrust adalah suatu bentuk intervensi negara yang ampuh, yang sesewaktu dapat dipergunakan bila negara berpendapat persaingan di pasar sudah tidak sehat. Negara bisa memaksa perusahaan kakap untuk mengadakan suatu "divesti ture" bila perusahaan itu sudah terlalu kakap dan mengontrol pasar secara tidak sehat. Antara lain dengan cara itu segala usaha yang mengurangi kompetisi dapat dituduh sebagai pelanggar antitrust. Hal inilah yang di dalam literatur antitrust disebut sebagai "corrective antitrust." Kita agaknya sudah butuh Undang-Undang Antitrust yang sitatnya korektip. Penguasaan ekonomi Indonesia oleh PMA-PMA sudah harusnya ditinjau kembali sebelum terlambat. Di sini yang harus diperhatikan bukan saja PMA-PMA, tetapi juga PMDN-PMDN yang secara tidak jelas ada kaitannya dengan PMA-PMA -- mungkin suatu hubungan persekongkolan. Selain itu, mumpung kita masih dalam proses pembangunan, juga penting untuk menciptakan peraturan yang biasa dikenal sebagai "preventive antitrust" dengan membuat larangan-larangan yang harus ditaati oleh perusahaan-perusahaan dalam berkompetisi. Seperangkat ketentuan mengenai tingkah laku berusaha barangkali perlu dipikirkan. Suatu "conduct analysis" akan amat membantu kita mengerti akan adaaya kecenderungan tidak sehat pada perusahaan kakap kita. Kalau kita tidak mulai dari sekarang, kapan lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus