T. Mulya Lubis, 32 tahun, adalah sarjana hukum lulusan UI.
Setelah melanjutkan studinya di Universitas California,
Berkeley, ALS, ia kini bekeria di Lembaga Bantuan Hukum di
Jakarta.
BANYAK yang merasa prihatin akan nasib pengusaha teri yang
semakin terjepit. Belakangan ini pengusaha teri ini diperjelas
lagi sebagai pengusaha pribumi. Secara yuridis bisa dipersoalkan
keabsahan penjelasan yang membedakan pribumi dengan non-pribumi,
sebab sesungguhnya pengusaha teri itu tidak tergantung pada
apakah dia itu pribumi atau non-pribumi.
Terlepas dari ketidak-tepatan pembedaan tersebut di atas Keppres
No 14/1979 agaknya harus diartikan sebagai suatu concern yang
mendalam dari semakin terjepitnya pengusaha teri kita.
Pemerintah mulai mencium bahwa cepat atau lambat pengusaha kakap
akan segera melindas pengusaha teri.
Suatu persaingan tidak seimbang memang tengah terjadi dengan
sah, sebab bukankah UUPMA mensahkan terciptanya situasi seperti
ini? Kebijaksanaan pintu terbuka tanpa proteksi yang kuat bagi
pengusaha teri, suka atau tidak suka akan menjurus ke arah itu.
Secara ekonomi tidak mungkin pengusaha teri bersaing dengan
pengusaha kakap, baik dari segi kapital, know-how, efisiensi,
dsbnya. Pengusaha teri ini hanya hadir sebagai pesaing agar
dakwaan monopoli secara yuridis bisa dibantah. Tapi secara riil
kita toh hanya menemui Coca Cola dan Seven Up. Minuman lokal
semakin sedikit yang terpajang di kaki lima.
Keppres No 14/1979 hanyalah salah satu sikap pemerintah. Sebelum
ini sudah ada Keputusan 22 Januari 1974 dari Kabinet yang
memberikan preferensi kepada pengusaha teri pribumi. Pengalihan
saham harus segera dilakukan, dan dalam tempo 10 tahun partner
pribumi harus beroleh paling sedikit 51%. Lalu hal ini ditopang
lagi dengan anjuran agar perusahaan menjual sahamnya kepada
publik melalui Pasar Uang dan Modal. Pokoknya usaha untuk
memberikan kesempatan yang lebih terbuka kepada pengusaha teri
sudah mulai dijadikan 'kebijaksanaan' Sampai sejauh ini kita
merasa beralasan untuk bersikap lega terhadap kebijaksanan
tersebut, walau sebenarnya kebijaksanaan tersebut belum
memadai.
Mengapa belum memadai? Seharusnya kita sadar bahwa banyak PMA
yang ada di sini adalah kepanjangan dari Perusahaan
Multinasional yang mengontrol pasaran dunia dengan hampir
sempurna, Keprihatinan atas kompetisi tidak sehat musti didukung
dengan kebijaksanaan yang lebih tegas dan menyeluruh. Keppres No
14/1979 lebih banyak bicara soal preferensi terhadap kontraktor
teri. Tetapi ekonomi bukan hanya bisnis borong memborong.
Persaingan tidak sehat itu ada di mana-mana. Iklan Coca Cola
yang raksasa adalah bukti besar dari persaingan yang tidak sehat
ini.
Kompetisi tidak sehat itu bisa dihasilkan oleh perbuatan yang
tidak sehat, atau katakan itu perbuatan yang melanggar hukum
dengan itikad buruk. Karena itu pantas dihukum Juga bisa
disebabkan oleh kekuatan menawar yang tak seinbang, antara
pengusaha sejenis.
Ukurannya tentu tidak gampang. Kita harus melihatnya dari
penguasaan pasar (markret share), organisasi perusahaan apakah
horisontal atau vertikal, tingkat kelebihan teknologi dan yang
tidak kalah pentingnya yaitu persekongkolan antar perusahaan.
Dalam konteks ini Undang-Undang Antitrust menjadi amat relevan.
Peraturan yang mengatur persaingan di pasiir harus segera
diciptakan. Orang Amerika bilang "big is bad" dan ini agaknya
benar. Sebab perusahaan kakap di sana sudah terlalu berkuasa,
tidak saja dalam soal ekonomi tetapi juga dalam soal kenegaraan.
Apa kita juga cenderung melangkah ke sana?
Antitrust adalah suatu bentuk intervensi negara yang ampuh,
yang sesewaktu dapat dipergunakan bila negara berpendapat
persaingan di pasar sudah tidak sehat. Negara bisa memaksa
perusahaan kakap untuk mengadakan suatu "divesti ture" bila
perusahaan itu sudah terlalu kakap dan mengontrol pasar secara
tidak sehat. Antara lain dengan cara itu segala usaha yang
mengurangi kompetisi dapat dituduh sebagai pelanggar antitrust.
Hal inilah yang di dalam literatur antitrust disebut sebagai
"corrective antitrust."
Kita agaknya sudah butuh Undang-Undang Antitrust yang sitatnya
korektip. Penguasaan ekonomi Indonesia oleh PMA-PMA sudah
harusnya ditinjau kembali sebelum terlambat. Di sini yang harus
diperhatikan bukan saja PMA-PMA, tetapi juga PMDN-PMDN yang
secara tidak jelas ada kaitannya dengan PMA-PMA -- mungkin suatu
hubungan persekongkolan.
Selain itu, mumpung kita masih dalam proses pembangunan, juga
penting untuk menciptakan peraturan yang biasa dikenal sebagai
"preventive antitrust" dengan membuat larangan-larangan yang
harus ditaati oleh perusahaan-perusahaan dalam berkompetisi.
Seperangkat ketentuan mengenai tingkah laku berusaha barangkali
perlu dipikirkan. Suatu "conduct analysis" akan amat membantu
kita mengerti akan adaaya kecenderungan tidak sehat pada
perusahaan kakap kita. Kalau kita tidak mulai dari sekarang,
kapan lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini