SUNGGUH di luar dugaan, wayang kulit kini termasuk dalam daftar komoditi ekspor nonmigas yang cukup laris di Eropa, khususnya Negeri Belanda dan Jerman. Sampai akhir tahun silam, jumlah wayang dari Desa Kepuhsari, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, yang diekspor ke dua negara tersebut sudah melampaui 1.000 unit. Jelas, angka yang tidak kecil mengingat satu unitnya berisi 200-350 wayang, bisa dimanfaatkan untuk pertunjukan sebuah lakon Baratayudha. Harga per unitnya, Rp 7 juta-Rp 20 juta. Yang termahal adalah wayang berprada emas, dengan bahan pewarna dari Hong Kong. Yang berdiri di balik sukses ekspor wayang kulit bukanlah sebuah perusahaan, tapi sebuah sanggar tatah sungging, milik Sukar Hadiprayitno. Pak Sukar sehari-hari dikenal sebagai Kepala SD Kepuhsari yang sejak 1972 mendirikan pusat pelatihan untuk menampung anak-anak drop-out SD dan SMP. Di situ anakanak diberi pelajaran seni penatahan dan pewarnaan (sungging) wayang. Selain mengekspor, sanggar Hadiprayitno juga memasarkan hasil produksinya di pasar lokal, dengan harga per wayang Rp 15 sampai Rp 25 ribu. Apa tidak kewalahan melayani permintaan yang meningkat? Hadiprayitno dengan tenang menjawab, "Pembuatan wayang-wayang tersebut sebagiannya dikerjakan di rumah masingmasing. Mereka rata-rata masih sekolah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini