MENARIK sekali pernyataan Menteri Perdagangan Dr. Arifin M. Siregar dalam dialog bisnis pada rangkaian kegiatan Muktamar Muhammadiyah ke-42 Desember lalu. Menurut Menteri, keterikatan umat Islam pada usaha di sektor pertanian serta rendahnya tingkat tabungan mereka, yang keduanya merupakan kenyataan sejarah, telah menyebabkan umat Islam kurang mampu menangkap peluang bisnis yang terbuka setelah Pemerintah melakukan berbagai kebijaksanaan ekonomi dewasa ini. Ungkapan ini menjadi menarik untuk dikaji lebih mendalam, sambil menengok kenyataan makro yang terjadi di sekeliling kita, di negara-negara tetangga. Landasan tauhid dan persaudaraan yang mendasari pandangan umat Islam telah mengharamkan berbagai tindakan yang bisa merusak atau bahkan melenyapkan persaudaraan. Di antaranya praktek riba. Usaha menjerat kaum lemah dalam hal utang-piutang ini menyebabkan umat Islam menjauhi pengenaan bunga, yang oleh sebagian dianggap tak lain dari riba. Akibatnya, umat Islam menjauh dari salah satu sendi perekonomian modern yang bernama perbankan. Tanpa berminat ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan bank, kebiasaan menabung tentunya tidak pula tumbuh. Bukan saja karena pengertian bahwa rezeki yang diterima hanya untuk saat itu, tetapi karena ketidakinginan berinteraksi dengan dunia perbankan hasrat menabung di kalangan umat Islam menjadi rendah. Terobosan yang dilakukan NU dengan membuka BPR-BPR bersama Bank Summa merupakan upaya menolak pandangan tradisional ini. Diskusi dan seminar yang intensif mengenai perlunya keberadaan suatu bank Islam di negara yang mayoritasnya muslim ini menunjukkan bahwa jalur sejarah akan diubah. Seberapa jauh upayaupaya tersebut akan menunjukkan hasil, perlu kita perhatikan secara saksama. Di sisi lain, keterikatan umat Islam pada kegiatan di sektor pertanian tidak dapat diingkari. Dari data World Development Report terbitan Bank Dunia, misalnya, terlihat bahwa dari 19 negara Islam, sumbangan sektor perpabrikan (manufacturing) hanya berkisar antara 2% dan 25% terhadap PDB. Secara ratarata, angka ini menunjukkan 10%. Bila tingkat pembangunan ekonomi ditunjukkan dengan tingginya sumbangan sektor ini pada PDB, negara-negara Islam tersebut boleh dikatakan masih berada di kelompok "sedang berkembang". Sebagian besar dari kegiatan penduduk di negara-negara ini masih berada di sektor pertanian. Apalagi kalau dituntut bahwa peningkatan kegiatan di sektor jasa juga menjadi petunjuk adanya modernisasi, kenyataan yang terjadi di negara-negara tersebut makin jauh dari harapan. Karena dari data yang tersaji untuk tahun 1988 tersebut, sebagian besar kegiatan di sektor jasa dalam negara-negara ini terjadi pada sektor informal. Agak sulit membayangkan sektor informal berperan sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi, selain sebagai penampung ledakan peningkatan angkatan kerja untuk sementara. Kalau dikaji lebih jauh bahwa pembangunan ekonomi suatu negara Islam ditandai oleh tiga ciri utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan tegaknya nilai-nilai Islam, data yang diberikan Bank Dunia tersebut paling tidak bisa menjawab dua indikator pertama. Dari 31 negara Islam yang tergabung berpenghasilan rendah dan menengah, delapan negara mengalami tingkat pertumbuhan yang negatif selama periode 1965-1986. Sedangkan lima negara lainnya tumbuh hanya dengan 1% selama kurun waktu tersebut. Dengan demikian, secara rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara Islam selama dua dasawarsa tersebut sekitar 1,7% saja. Selain karena sebagian penduduknya bermata pencarian di sektor pertanian, rendahnya investasi dari tabungan dan pembentukan modal juga menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Saving mindedness yang bisa tumbuh apabila terdapat bank mindedness belum tampak dalam kalangan negara-negara yang sebagian besar penduduknya menamakan diri mereka sebagai muslim. Dari sisi pemerataan pendapatan dan kekayaan, keadaannya juga kurang menggembirakan. Kalau diambil Bangladesh yang mewakili negara miskin, Mesir, Indonesia, dan Turki yang tergolong kelas menengah, dan Malaysia di kelas menengah atas, tampak bahwa di Bangladesh, penduduk termiskin 20% hanya menerima 7% dari pendapatan nasional, sementara 20% terkaya menikmati lebih dari 45% pendapatan nasional. Gambaran serupa terdapat juga di Mesir dan Indonesia. Bahkan di Malaysia dan Turki, menurut Laporan Bank Dunia Tahun 1988 tersebut, penduduk termiskin 20% hanya menerima 3,5% pendapatan nasional. Sedangkan kelompok atas 20% menikmati sekitar 56% dari pendapatan nasional. Sekali lagi, tampak bahwa negara-negara muslim tertinggal dalam upaya membagi pendapatan dan kekayaan secara merata dan adil. Jurang antara kelompok kaya dan kaum papa masih lebar menganga. Agaknya, semangat zakat dan fitrah belum lagi meluas, dalam arti yang lebih hakiki. Lebih fundamental. Pilar ketiga dalam pembangunan ekonomi menurut ajaran Islam sangat subyektif untuk dianalisa. Data kuantitatif sulit ditemukan. Hanya secara kualitatif dapat dirasakan bahwa nilai-nilai dan norma-norma Islam yang murni belum diterapkan di negara-negara muslim tersebut. Jangankan pelaksanaan hukum Islam, garis-garis besar dalam pengaturan negara yang bernapaskan Islam belum lagi tampak. Hukum, sistem pendidikan, dan administrasi negara masih didasarkan pada ketentuan-ketentuan non-Islam. Modernisasi di negara-negara muslim lebih bersifat westernisasi dari upaya mempertahankan kebudayaan sendiri. Agaknya, kita sering terlena bahwa ajaran-ajaran Islam itu sendiri banyak mengajak ke arah kemajuan, dan bukannya malah menganjurkan keterbelakangan. * Staf pengajar di FE UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini