Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Supaya terjangkau daya beli

Departemen kesehatan mengeluarkan peraturan baru mulai dari pendaftaran obat sampai ke obat tradisional. tujuannya untuk memangkas izin usaha agar harga obat jadi turun. pengaruh paket 28 mei.

9 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI semua departemen yang terkait, semestinya Departemen Kesehatan yang paling siap melaksanakan Paket Deregulasi Mei 1990. Mengapa? Tak lain karena departemen yang dipimpin oleh dr. Adhyatma itu, sudah sejak 1,5 tahun lampau, menyiapkan petunjuk pelaksanaan alias juklaknya. Hal ini dikemukakan pada TEMPO pekan lalu, olek Dirjen Pengawasan Obat Dan Makanan (POM), Drs. Slamet Soesilo. Apa mau dikata, paket itu terlambat di-go-public-kan. Beberapa pengusaha obat sempat pula mempertanyakannya. Sekalipun begitu, masyarakat pemakai obat layak berbesar hati karena dalam paket itu, sektor obat tampaknya mendapat perhatian "yang lebih" ketimbang sektor-sektor lainnya. Hal ini tercermin pada lima surat keputusan setebal 62 halaman yang diteken Menteri Kesehatan, lengkap dengan lampi- rannya yang berjumlah seratus halaman lebih. Itu belum termasuk surat keputusan bersama, yang ditandatangani oleh Menteri Adhyatma bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian. Dari jumlah dan tebalnya SK, sudah bisa ditebak, peraturan yang diperbarui oleh Departemen Kesehatan itu benar-benar banyak. Paket deregulasi itu mengatur banyak hal: pendaftaran obat jadi, soal keberadaan pedagang besar farmasi (PBF), perizinan apotek, izin usaha industri farmasi, hingga ke sektor obat tradisional. Kendati peraturan baru itu demikian banyak, isinya hampir tidak berbeda satu sama lain. Prinsip dasarnya adalah pemang- kasan izin. Untuk pendirian apotek, dulu seorang pemodal harus memperoleh izin dari Dirjen POM. Bila imannya kurang kuat, ia bisa frustrasi. Bayangkan, untuk memperoleh selembar surat izin, diperlukan waktu berbulan-bulan dan biaya yang tidak sedikit -- konon antara 10 dan 50 juta rupiah. Padahal, izin itu cuma berlaku untuk lima tahun. Belum lagi persyaratan teknis yany njelimet, misalnya tentang jarak antarapotek serta jumlah dokter yang beroperasi di daerah sekitarnya. Hambatan semacam itu, dengan Paket Mei, dibabat habis. Berdasarkan SK yang baru, pengusaha yang ingin membuka apotek cukup mengajukan permohonan kepada Kanwil Kesehatan setempat. Lokasinya bebas berdampingan dengan pesaing pun tak jadi soal. Jumlah dokter yang beroperasi di sekitar apotek juga tak jadi masalah. Dan izin baru ini berlaku sepanjang usahanya terus berjalan. Tidak ada lagi ketentuan bahwa sekali dalam lima tahun izin, harus diper- barui. Tapi bagaimana kalau ada oknum Kanwil yang ingin menangguk di air keruh dengan menghambat proses perizinan? Jangan ta- kut. Jika dalam waktu 24 hari Kanwil tak memberikan jawaban, "akan saya cek sebab-musababnya, begitu janji Slamet. Dari aturan main yang baru ini, jelas, Pemerintah menghendaki munculnya banyak apotek. Dan kalau apotek banyak, dengan sendirinya akan tercipta persaingan yang lebih sehat. Itu diakui Slamet. "Dengan begini, yang akan diuntungkan adalah masyarakat konsumen juga," katanya. Tak bisa dimungkiri, inilah satu langkah yang tepat untuk menekan harga obat. Dahulu, pasar yang ada hanya dikuasai sejumlah kecil pengusaha apotek, tapi sekarang pasar itu dibuka lebar untuk setiap pelaku ekonomi yang mampu. Dari sinilah, mekanisme pasar diharapkan bisa berkembang. Apotek terutama yang mewah dan ber-AC -- akan terpaksa menekan biaya sehari-hari. Kalau tidak, pasar mereka pasti akan diserobot oleh apotek lain yang mampu menawarkan harga obat lebih rendah. Selain apotek, masih ada pedagang besar farmasi (PBF). "Dari dulu, PBF pun dianggap salah satu penyebab mahalnya harga obat," kata dr. Frans Tshai, Direktur PT Ciba Geigy Pharma Indonesia. Wajar bila PBF mendapat perlakuan sama seperti apotek. Tapi, "sekarang izin PBF tidak ada harganya," kata Slamet. Maksudnya, siapa pun kini boleh masuk ke bidang usaha distribusi ini -- padahal sebelumnya, izin pendirian PBF sudah ditutup. Lebih dari itu, PBF juga boleh diusahakan oleh PMA. Dan ini lagi-lagi satu policy yang membikin kecut pengusaha yang su- dah berkiprah cukup lama di sektor itu. Bahkan izin pendirian PBF berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Artinya, jika perusahaan yang bersangkutan ingin mendirikan cabang di mana saja, dan berapa pun banyaknya, ia tak perlu meminta izin baru. Akibatnya, "persaingan akan semakin ketat," kata Amir Basir, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Farmasi. Tapi tidak akan sesengit Persaingan di sektor apotek. Alasannya: usaha distribusi farmasi memiliki risiko yang cukup tinggi. Risiko terkena piutang macet, kapan saja bisa terjadi. Dan lagi, obat itu bukan kacang goreng. "Supaya tidak terkena beban bunga yang terlalu berat, kami harus menghitung sistem penyetokan dengan secermat mungkin," tambahnya. Apakah karena risiko tinggi maka PBF mengambil untung banyak, hingga akhirnya harga obat jadi mahal? "Tuduhan itu tidak persis benar," jawab Amir tangkas. Katanya distributor hanya mengambil margin 12%, sementara apotek mengambil 25%. Lagi pula, pabrik obat tidak harus mengandalkan jasa PBF. "Pabrik kan boleh-boleh saja melakukan distribusi sendiri. Tapi itu ternyata tidak efisien. Makanya mereka menjual melalui distributor," Amir berdalih. Kendati margin hanya sekitar 12%, bukan tidak mungkin banyak perusahaan distribusi baru yang akan bermunculan. Apalagi sektor apotek, yang masih diincar orang. Diperkirakan, situasinya kelak bisa sangat jor-joran. Sementara itu, di sektor hulu, prosedur impor juga tak luput dari pembenahan. Sebelumnya hanya obat-obat langka yang boleh diimpor, seperti obat kanker dan talasemia. Kini semua jenis obat -- untuk manusia maupun hewan boleh dibeli dari luar negeri. "Yang penting mutunya bagus," kata Slamet. Memantau kualitas obat -- impor ataupun lokal -- memang bukan perkara mudah. Makanya, Ditjen POM kini tengah mengajukan tambahan tenaga untuk kepentingan pengawasan. Dan ini diperkuat seperangkat sistem yang akan dipakai untuk mengawasi produk-produk impor tersebut. Misalnya saja, obat yang dibeli dari luar negeri itu harus dibuat sesuai dengan standar CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) yang digunakan di Indonesia. Ini sudah merupakan jaminan, apalagi CPOB Indonesia telah diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Itu pun rupanya belum cukup. Ada lagi ketentuan bahwa importir hanya diizinkan mengimpor obat dari pabrik yang telah ditetapkan dalam surat izin. Namun, masih ada keraguan. Apalagi pemerintah sangat menyadari, akal pedagang itu selalu panjang dan berliku. Satu contohnya diutarakan oleh dr. Frans Tshai. Katanya, sebuah perusahaan yang memperoleh izin impor bisa saja melakukan "permainan". Misalnya dengan membeli obat yang masa berlakunya hampir kedaluwarsa -- biasanya ini diimpor dari Taiwan. "Obat-obat seperti itu kan harganya lebih murah. Tapi hanya beberapa bulan setelah tiba di Indonesia, khasiatnya langsung berkurang," katanya. Jadi, sampai di mana Ditjen POM mampu mengawasi mutu obat impor? Itulah yang belum terjawab. Yang pasti, itikad Pemerintah untuk melindungi pasien alias konsumen sudah bulat. Masalahnya kini, harga obat belum juga terjangkau rakyat. Lihat saja obat generik, yang semakin banyak diserbu oleh konsumen. Baru dipopulerkan tahun lalu, obat murah itu sung- guh melimpah permintaannya. Untuk penjualan tiga bulan awal tahun ini, misalnya, diperkirakan omset obat generik hanya akan Rp 3 milyar. Tapi, nyatanya, angka penjualan mencapai Rp 7 milyar. Bahwa daya beli obat masyarakat masih rendah, hal itu bisa juga dilihat dan total penjualan obat, yang diperkirakan Slamet Soesilo mencapai 500 juta dolar per tahun, (Rp 900 milyar). Padahal, untuk negara seluas Indonesia, kebutuhan obat idealnya minimal 1 milyar dolar. Kini terpulang kepada para pemilik modal, apakah akan "terjun" ke bidang yang baru ditata ini. Risikonya tetap ada. Masuk ke kubu distributor berarti akan berhadapan dengan risiko piutang. Tapi kalau masuk ke apotek, keuntungan akan semakin tipis karena persaingan harga semakin ketat. Budi Kusumah, Mukhlizardy Mukhtar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus