Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Banjir Uang Plastik

Sejumlah bank menawarkan kartu kredit dengan iming-iming hadiah. promosi lebih agresif. persyaratan dipermudah. jumlah pemegang kartu naik. ada upaya menangkal kenakalan anggota yang tidak bayar kredit.

9 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELALUI sejumlah kartu kredit -- sering disebut juga "uang plastik" -- yang ditawarkan oleh bank-bank besar di Jakarta, maka budaya "mengutang secara terhormat" mulai merasuk dalam masyarakat kita. Apalagi syarat untuk jadi anggota sangat dipermudah. Penghasilan, misalnya, dulu minimal Rp 15 juta per tahun, sekarang Rp 13 juta saja (Citibank) Di BCA bahkan cukup dengan Rp 12 juta. Hadiah-hadiahnya pun menggiurkan. Ada acara Piala Dunia di Italia (Bank Internasional Indonesia melalui Mastel Card), piknik ke luar negeri (Citibank melalui program Cardgame). Hadiah mobi juga ditawarkan lewat BCA Card. Bank Duta memberikan PIN (personal identification number), sebagai kunci untuk mengambil uang tunai di ATM dengan kartu kredit. Tapi Citibank belakangan lebih agresif. Bank ini menyelipkan brosur penawaran dan formulir permohonan jadi anggota (pemilik kartu) di antara pelanggan harian Bisnis Indonesia. Amex juga menawarkan dual billing, sehingga pemegang kartu yang belanja di dalam negeri ditagih dalam rupiah, bukan dolar. Lippobank tak ketinggalan. Kabarnya, mulai pertengahan Juni ini Lippo, bekerja sama dengan Master, akan memasarkan lima macam kartu, yakni Lady Card, Golf Card, Gold Card, Cosmo Master Card, IMA (Indonesian Medical Association alias IDI). Kebiasaan "belanja dulu bayar belakangan" itu diam-diam merebak di kalangan kelas menengah di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Boleh dibilang seluruh toserba dan supermarket di Jakarta bersedia diutangi konsumen pemegang kartu kredit. Bahkan sudah ada SPBU (pompa bensin) yang terima kartu, seperti di Amerika Serikat laiknya. Catatan AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia) awal tahun ini menyebutkan, dalam satu setengah tahun terakhir jumlah pemilik kartu kredit di sini meningkat hampir 100% -- menjadi sekitar 150 ribu orang. Ketua AKKI Willy Santoso mengatakan, 30% dari mereka adalah pemegang Gold Card. Total transaksi per bulan atau satu periode billing (penagihan) bisa sampai Rp 12 milyar (Bank Duta) -- atau Rp 20 milyar (BII). Dalam pada itu, American Express (Amex), yang sebenarnya merupakan charge card (setiap tagihan harus dilunasi lang- sung), memiliki lebih dari 40 ribu anggota. Menurut Nugroho Supangat, Direktur Marketing and Sales Amex, 85 % dari pemegang Amex di sini adalah mereka yang beralamat di Jakarta. Seperti juga di Diners Club International (sudah di Jakarta sejak 1973), para anggota Amex terpilih berdasarkan seleksi yang lebih ketat. "Amex memerlukan disiplin yang baik dari anggotanya," kata Nugroho. Amex atau Diners dikontrol oleh satu tangan, tapi kartu Visa (juga Master) menjaring dan melayani anggota melalui sejumlah bank sebagai bagian dari franchise. Di Indonesia saja, pemegang hak penerbitan Visa ada pada Bank Duta. BII, BCA dan Citibank. Untuk Master bisa didapat lewat BII, Bank Duta, Bank Danamon, Bank Bali, BCA, dan Lippobank. Umumnya, tiap-tiap bank membiarkan anggotanya mencicil pembayaran, 5% sampai 10% dari total tagihan per bulannya -- satu hal yang mustahil untuk Amex dan Diners. Untuk menangkal kenakalan anggota bank-bank itu pun kini sudah bekerja sama, melalui informasi terbuka. Jadi, kalau sudah ngemplang di satu bank, pasti masuk daftar hitam pada bank lain. "Ini penting untuk menumbuhkan bisnis kartu kredit," ujar Vice President Consumer Banking BII, John Eddy Darmasoeka. Bagaimanapun, mendeteksi anggota yang nakal tidaklah mudah. "Boleh dikatakan risiko bisnis kartu kredit cukup tinggi, karena sifatnya pemberian kredit tanpa jaminan," kata Manajer Kredit Bank Duta, Jenny Tajuw. Sekarang pemegang kartu di lingkungannya yang masuk daftar hitam ada 5-7%. "Kalau yang nakal di bawah 5%, itu masih realistis," kata Jenny. Di Amex, ada 300 sampai 500 orang yang masuk daftar hitam, alias 1% dari 40 ribu anggotanya. Kartu mereka akan dicabut bila setelah 90 hari tetap tak dibayar sementara kewajiban utangnya tetap harus dilunasi. Menurut Nugroho, kasus demiki- an cenderung naik dibanding 18 bulan silam. "Ini ciri-ciri khas masyarakat yang sedang membangun seperti kita," katanya. Mohamad Cholid, Ardian T. Gesury, dan Budi Kusumah (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus