DI balik kebanggaan akan menggelembungnya stok beras nasional, yang kini sudah mencapai 3,5 juta ton, ternyata timbul soal pelik bagi Bulog. Biaya cukup besar terpaksa dikeluarkannya untuk memelihara stok itu. Menurut kepala Bulog Bustanil Arifin kepada DPR, pertengahan September lalu, stok sebesar itu menyebabkan Bulog harus membayar bunga pinjaman Rp 6 milyar setiap bulan. "Ini cukup memberatkan," katanya. Bunga pinjaman untuk membiayai pengadaan beras itu (baik untuk membeli beras maupun menyewa gudang) hanya 6% setahun, memang, murah dibandingkan dengan bunga kredit komersial yang bisa mencapai 24%. Yang memusingkan Bustanil, usaha menekan biaya dengan mengurangi persediaan sulit dilakukan. Stok operasional sebesar 1,5 juta ton jumlahnya relatif tetap, karena harga beras di pasar lokal stabil, hingga tak memerlukan operasi pasar. Sialnya, stok surplus sebesar satu juta ton, yang naik turun volumenya masuk gudang tidak pasti, sulit dijual di pasar internasional. Soalnya, harga beras Bulog itu mahal. Beras di pasar lokal Jakarta saja, yang harganya lebih murah dari harga pokok pembelian pemerintah, harganya masih 35% di atas beras Muangthai yang, April lalu, berharga Rp 210 per kg. Kalaupun usaha ekspor dipaksakan, maka masuknya beras Indonesia setiap 100 ribu ton akan menurunkan harga beras internasional US$ 5 per ton. Dengan demikian, usaha eskpor itu dianggap hanya akan merugikan. sementara itu, stok iron sebesar satu juta ton, yang merupakan unsur pengaman dan jumlahnya selalu dipertahankan tiap tahun, menelan subsidi sebesar Rp 137 milyar. Untuk membangun ketiga jenis stok itu, dibutuhkan biaya mahal - apalagi bila sampai terjadi akumulasi persediaan. Sebab, konsekuensinya, akumulasi itu akan menyebabkan makin mahalnya harga pokok beras yang disimpan. Naiknya produksi beras memang cukup menumbuhkan dilema. Di satu pihak usaha swasembada pangan bisa dimasuki, tapi di pihak lain kenaikan produksi - yang menyebabkan Bulog harus membeli beras makin banyak - mengakibatkan kesempatan menjual beras di pasar lokal makin sempit. Karena itu, perputaran persediaan Bulog jadi lambat, hingga terjadi akumulasi persediaan. Kalau pemerintah tidak turun tangan, "Maka, Bulog akan bangkrut dalam dua tahun," ujar Bustanil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini