INDUSTRI rokok putih masih tetap sulit berasap. Menurut Nota Keuangan RAPBN 1986/87, produksi rokok putih di tahun anggaran 1980/81 sempat mencapai 33,4 milyar, kemudian terus menciut hingga 26,9 milyar batang (1984/85). Dalam tahun anggaran berjalan (1985/86), hanya tercatat angka sementara 12,2 milyar batang. Padahal, berbagai merk sigaret internasional, akibat pembatasan impor sejak 1984, semakin banyak dirakit di sini. PT Faroka, antara lain, merakit Dunhill dengan izin Rothmans International. Untuk itu, Faroka menambah jam kerja buruhnya sekitar empat jam kerja sehari. Namun, 21 Januari lalu, Menteri Tenaga Kerja mengizinkan Faroka mengucapkan "selamat jalan" kepada hampir separuh dari sekitar 500 buruh pabriknya. Perusahaan modal asing itu, menurut pimpinannya sendiri, Ubaedy Fadhil, sedang "sakit" -- dan rupanya parah. Perusahaan Belgia, yang beraset Rp 25 miIyar, itu dalam lima tahun terakhir rugi Rp 20 milyar. "Keprihatinan perusahaan, keprihatinan negara juga," ujar Ubaedy. Cukai pita rokok, yang pernah dibayar Faroka sampai Rp 9 milyar per tahun, kini hanya sekitar Rp 2 milyar-Rp 3 milyar. Soalnya, produksi berbagai merk rokok Faroka -- seperti Kansas, Aida, dan Wembley -- yang dulu pernah sampai 6,9 milyar batang, kini tinggal 1,4 milyar batang per tahun, sudah termasuk Dunhill. Ubaedy tak menuding rokok kretek sebagai penyebab Faroka tersengal-sengal. Manajemen perusahaan yang telah berusia setengah abad lebih itu, katanya, masih sangat bergantung pada induknya, N.V. Tobacofina di Antwerpen, Belgia. Dengan demikian, Faroka tak bebas menyusun anggaran promosi, sehingga iklan produk-produknya kalah gencar dibanding berbagai merk kretek. PERUSAHAAN yang masih memakai lima tenaga asing itu, dalam lima tahun terakhir, melaksanakan program efisiensi tanpa mengurangi jam kerja. Untuk produksi sigaret tradisional, Faroka tak sulit mendapatkan bahan baku tembakau lokal. Tapi untuk produksi merk Dunhill, Faroka harus mengimpor 80% bahan baku, antara lain tembakau Brasil, Turki, Taiwan, Filipina, dan Belgia. Kini pabriknya di Malang tengah melaksanakan restrukturisasi. Kendati diakui perusahaan kesulitan modal, ada investor bukan Belgia yang dikabarkan berminat menyuntikkan modal, dengan syarat Faroka melakukan mekanisasi. Menurut Ubaedy baik-tidaknya mekanisasi masih perlu dipelajari. Tapi dengan mem-PHK-kan hampir separuh buruh pabriknya, tampaknya, Faroka telah mempersiapkan diri untuk mekanisasi. Ubaedy, yang dikenal juga sebagai penyeru agama di Kota Madya Malang, mengakui bahwa kini ada kecenderungan para perokok lebih menyukai citra yang keras tanpa mempedulikan bahaya nikotin. Tapi Faroka optimistis, pasaran rokok putih di negeri berpenduduk 160 juta lebih ini sekali waktu akan cerah. "Bisa menggarap 10% dari penduduk saja sudah bagus," katanya mengharap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini