TARGET itu berbeda dengan perjuangan. Itu dikatakan oleh Menteri Ginandjar Kartasasmita. Mengapa begitu? Karena target membuat orang berusaha at all cost untuk mencapai suatu angka yang dipatok. Sedangkan pada perjuangan, ya, perjuangan itu sendirilah intinya. Coba ini! Seorang salesgirl mendapat tugas mempromosikan margarine dari rumah ke rumah. Dalam sehari ia diberi target untuk memasuki 100 rumah dan harus berhasil menjual margarine tersebut ke 40 rumah, dengan harga promosi Rp 1.000 (harga di warung adalah Rp 1.200). Apa yang akan terjadi? Hari pertama ia direkrut, ia bekerja setengah mati untuk melakukan tugas itu. Ternyata, hampir tiga perempat mati, ia tidak berhasil juga mencapai target itu. Padahal, mulutnya sudah berbusa mempromosikan mararine baru itu. Dan sepatunya sudah menjadi tipis karena berjalan sepanjang hari, tersaruk-saruk sambil menenteng tas berat berisi 40 kaleng margarine. Malam itu pacarnya memijiti pundak dan betisnya yang pegal sambil membodoh-bodohkan si salesgirl. "Bodoh kamu! Serahkan saja pada saya. Pokoknya, besok kamu tidak kerja dan kita akan pergi jalan-jalan." Esok paginya, sang pacar sudah menyelesaikan tugas itu. Hanya dalam waktu satu jam. Lho, bagaimana ia melakukannya? "Pokoknya, target tercapai, bukan?" katanya sambil mengumbar senyum kemenangan. Yang dilakukannya adalah: menjual 40 kaleng margarine dengan harga Rp 960 per kaleng ke sebuah toko. Toko itu sendiri biasanya membeli dari agen dengan harga Rp 1.020. Beda yang Rp 40 dari Rp 1.000 ternyata bukan merupakan kerugian karena salesgirl mendapat bonus Rp 200 untuk tiap kaleng yang bisa dijualnya. Ia malah untung Rp 160 per kaleng ditambah honor hariannya. Tentang alamat dari 100 rumah yang dikunjungi dan 40 rumah yang membeli? Ah, itu 'kan terlalu gampang diatur. Begitulah, salesgirl itu lalu pergi dengan pacarnya, berpesiar, karena menganggap bahwa tugasnya telah selesai. Target telah tercapai. Padahal, sasaran perusahaan yang mempekerjakannya tidak tercapai. Promosi margarine ke seratus rumah tidak tercapai. Struktur harganya dirusakkan di tingkat pengecer. Dan para pengecer itu tidak lagi mengambil dari agen karena mendapat barang yang lebih murah. Jalur pemasaran pun rusak. Pengertian at all cost pada upaya pencapaian target memang sering kali mengandung konotasi negatif. At all Cos bahkan sering menghalalkan yang haram. Manipulasi angka selalu muncul dalam akrobat menguber target. Apalagi kalau target itu agak terlalu tinggi dipatok. Tidak jarang salesman yang diberi tugas promosi ke luar kota selama seminggu ternyata hanya tidur di rumah menggoyang kaki. Barang yang harus dijualnya dan dipromosikannya di luar kota telah dijualnya dengan harga miring di Pasar Pagi. Ia tetap tidak rugi. Dengan memalsukan bon bensin, kuitansi hotel, dan lain-lain, ia menikmati uang dinas luar kotanya itu dengan tidur di rumah. Mekanisme kontrol, kata Anda. Ya, betul, dalam manajemen kita selalu membutuhkan fungsi pengendalian. Tetapi, seberapa baik dan seberapa merata pengendalian itu dapat dilakukan? Penetapan angka target pun bukan merupakan "penyelewengan" yang dapat dilakukan di sektor swasta. Angka target bahkan menjadi lebih sakral di kalangan birokrasi. Tidak mencapai target bisa berarti kehilangan jabatan. Misalnya, beberapa tahun yang lalu kita mendengar tentang macetnya produksi minyak goreng di Indonesia. Penyebabnya adalah karena kekurangan bahan bakunya, yaitu kopra. Mengapa bahan baku kurang? Ada isu tentang hama kelapa dilontarkan. Tetapi, sebenarnya bukan itu. Yang terjadi adalah over-licencing. Karena ada target untuk investasi, maka dikeluarkan terus izin untuk membangun pabrik minyak kelapa. Berdasarkan izin, pabrik-pabrik minyak goreng di seluruh Indonesia dapat menghasilkan empat juta ton setahun. Kenyataannya memang hanya separuh dari jumlah itu. Padahal, produksi kopra Indonesia hanya 600.000 ton setahun. Jauh dari mencukupi. Tahun ini bakal semakin kacau. Sekarang pun orang sudah mulai merevisi target karena asumsi pun sedang berubah. Dulu orang tak yakin bahwa minyak Brent bisa dijual dengan harga serendah itu. Dan ketika ternyata di pasar harganya sudah lebih rendah daripada yang pernah diduga, orang pun kalang kabut lagi menyesuaikan target. Dan itulah usaha. Sifat utama yang satu ini tidak akan pernah bisa kita ubah: ketidakpastian. Siapa, sih, yang bisa memastikan bahwa 1986 adalah akhir kelesuan? Tanpa target, salah. Dengan target pun, bisa salah. Lalu apa? Ya, perjuangan itulah. Di tengah ketidakpastian, kata Pak Ginandjar, semangat perjuangan itulah yang akan menentukan langkah selanjutnya. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini