Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Achalasia Pada Bocah Karisma

Anak Agung Ngurah Karisma, 7, menderita penyakit Achalasia. Penyempitan pada tenggorokan dekat lambung yang menyebabkan regurgitasi. Karisma jadi perhatian karena sempat pingsan.

15 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH tiga bulan lebih Anak Agung Ngurah Karisma tak sadarkan diri. Pada hari ke-54 Karisma siuman sedikit. Dari mulutnya keluar suara tak jelas. Setelah itu, lelap kembali. Beberapa hari kemudian keluar ucapan lemah, "J .... Ji," panggilan "Aji" untuk ayahnya. Di hari ke 74, bocah cilik berusia tujuh tahun itu memanggil lirih "Bu ...." Baru mendekat hari ke-100, Karisma bisa mengaduh. Karisma tak sadarkan diri sejak pertengahan Januari tahun lalu. Tubuhnya kini diserang kelumpuhan. Kulitnya, yang seakan menempel di tulang, menjadi hitam Pada hidungnya, keluar cairan berbau amis. Tanpa daya. orangtuanya, Anak Agung Ngurah Alit, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, disibukkan oleh perawatan Karisma di rumah atau di rumah sakit. RS Sanglah di Bali seakan jadi rumah kedua Karisma. Sebelum musibah itu datang, hampir seluruh usia Karisma sudah dirundung berbagai macam gejala. Ketika usianya satu tahun, bayi yang sudah bisa jalan itu selalu menolak makanan yang disodorkan kepadanya. Kalau sang ibu khawatir anaknya kelaparan, disuaplah dia dengan paksa. Hasilnya selalu, muntah-muntah. Baru pada usia 2 tahun 4 bulan, penyakit muntah Karisma ini ditemukan dokter. Bocah yang tak sempat tumbuh sehat ini menderita achalasia. Biasa juga disebut cardiospasmus, yaitu penyempitan pada tenggorokan yang berada di dekat lambung yang disebut oesophagus. Penyempitan ini terjadi karena adanya kelainan saraf pada dinding pleksus (jalinan) Auerbach -- pada dinding oesophagus. Akibatnya, setiap ada makanan atau minuman yang masuk, terjadi regurgitasi yaitu aliran kembali menentang gerakan usus. Ini terjadi karena tidak ada koordinasi yang baik antara gerakan usus (peristaltik) dan tak ada relaksasi otot penutup (spincter oesophagus). Regurgitasi tersebut juga merupakan rangsangan pada selaput lendir. Karena adanya penumpukan makanan, terjadi pula gesekan zat-zat kimia (yang terdapat pada makanan) yang menyebabkan pula semakin buruknya selaput lendir. Lebih buruk lagi, seperti kata Prof. Dr. Purnaman Sardjono Pandi, Kasubag THT FK UI RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, "bila terjadi kebocoran, bisa beralih ke predisposisi kanker pada ujung bawah oesophagus." "Sebetulnya," kata Dr. Purnaman lagi "penyakit ini bukan hal baru dalam dunia kedokteran," meski penyebab timbulnya belum diketahui benar. "Kasus ini biasa terjadi pada orang dewasa," tutur dr. Efiaty Soepardi, juga ahli THT, yang mendampingi Dr. Purnaman. RS Cipto sendiri pernah mengamati kasus ini. Sejak tahun 1980, hanya 5-10 penderita dewasa pada usia 30-60 tahun. Pada anak kecil baru terjadi satu anak di tahun 1983. Lebih aneh, achalasia banyak dikeluhkan kaum wanita. Setelah ditelusuri penyebabnya, menurut penelitian dini, karena stress. Tetapi apakah anak kecil seperti Karisma juga kena stress, Purnaman dan Efiaty tak bisa meyakinkan hal itu. Mendiagnosa penyakit ini bisa melalui foto ronsen biasa atau, kalau mau lebih jelas, pasien diberi bahan kontras, untuk memperjelas lokasi penyempitan. Dari hasil foto ronsen, dilakukan tindakan dilatasi dengan alat yang bernama dilatator, alat untuk menyogok yang ujungnya tumpul bulat, yang berguna untuk melebarkan otot. Hal ini harus dilakukan secara kontinu, paling tidak setiap minggu. "Usaha penyembuhan," menurut pengamatan Efiaty, "65% berhasil." Bila achalasia terjadi pada anak kecil, dianjurkan tindakan operasi. Cardiomyotomi, atau memotong otot-otot yang menyempit, biasanya berhasil. Menurut Purnaman, 59, kegagalan sekitar 15% saja. "Jadi," katanya, "tak perlu dilakukan di luar negeri. Itu operasi biasa." Akan halnya Karisma, telah dilakukan operasi pada Maret 1982, di RS Dr. Sutomo, Surabaya. Operasinya memang berhasil, tetapi sesampainya di Bali kembali, Karisma muntah-muntah lagi. Masuk lagi RS Sanglah, sembuh sedikit, kemudian berobat jalan, dan tahun 1983, muntahnya bahkan tak bisa dihentikan. Pada tahun itulah, dokter menyatakan terjadi peradangan otak. Kelumpuhan menyerang Karisma. Dan demikianlah bocah malang ini dibawa kembali ke Surabaya, balik lagi ke Bali, hingga Karisma tak sadarkan diri. "Terakhir, ia mendapat gangguan pada pusat kesadarannya," kata dr. Kondra, ahli saraf RS Sanglah. Inilah yang tampaknya menyebabkan Karisma tak sadarkan diri dan bukan akibat langsung achalasia. 'Biaya sudah habis sekitar Rp 2,5 juta," kata Ngurah Alit, ayah tiga anak.. Achalasia sebetulnya bukan penyakit muskil dan aneh. Cuma, langka. "Juga tidak ganas hanya efek samping banyak mempengaruhi," ujar dr. Otong Wirawan, ahli bedah RS Sanglah. "Saya hanya heran," kata Wirawan, "kok katanya saluran tenggorokan itu kembali menyempit." Padahal, Karisma sudah bolak-balik Denpasar--Surabaya paling tidak dua kali. "Pengamatan dini harus dilakukan," ujar Dr. Purnaman lagi. Sejak semula harus diberikan makanan cair agar lebih mudah masuk. Sering, di kala batuk malam hari (nocturnal regurgitation), muntahan ini menyebabkan keselek atau tersedak. Muntahan yang salah masuk ke saluran pernapasan bisa menimbulkan pneumonia, radang selaput paru-paru. Pneumonia akan menimbulkan sesak napas, panas yang tinggi, dan kejang-kejang (stuip). Menurut Dr. Purnaman, selaput di oesophagus bisa bocor akibat iritasi dan menipisnya otot. Celakanya, bocoran zat makanan bisa masuk ke rongga antara dua paru (mediastinum), tempat jantung biasa bertengger. "Mediatismis ini tentu saja sangat berbahaya," ujar Purnaman lagi. Pada kasus Karisma, "gejala-gejalanya memang mengarah ke situ," kata Purnaman, meski ia keberatan mendiagnosa jarak jauh. Muntah dan tak ada cairan atau makanan yang bisa ditelan, tentu, cepat atau lambat, bisa memperlemah si sakit. "Tetapi," katanya lagi, "achalasia bukanlah suatu penyakit yang tak bisa ditanggulangi. Orangtuanya tak perlu ketakutan." Masalahnya kini, Karisma sudah menderita terlalu lama. Lima tahun lamanya sudah dia berbaring antara hidup dan mati. Komplikasi penyakit lain juga makin menjadi-jadi. Toeti Kakiailatu Laporan I Nengah Wedja (Bali) dan Indrayati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus