Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tabloid dengan acuan lain

Majalah mingguan kriminalitas detik ganti haluan menjadi mingguan berita dan opini. ingin menjadi alternatif pemberitaan yang ada. bisa?

24 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARENA tabloid punya citra kuning, ''Jangan baca tabloid,'' kata Michael Jackson. Di negara maju, tabloid memang media cetak murahan yang senang mengendus, biang gosip, dan doyan skandal seks. Kalau perlu, berbohong demi oplah. Seks, perceraian, dan kehidupan pribadi tokoh-tokoh terkenal adalah isu utama media ini. Mahabintang Michael Jackson dan keluarga kerajaan Inggris boleh dibilang sudah frustrasi menghadapi tabloid. Tapi sutradara film Eros Djarot justru ingin mengubah citra tersebut. Ia kini memimpin tabloid Detik, yang resmi terbit sebulan lalu. Tabloid 32 halaman dengan identitas ''Mingguan Berita dan Opini'' ini jauh dari gosip dan skandal seks. Sasarannya, menyajikan bahan bacaan untuk melengkapi pemberitaan. ''Kami ingin menjadi pelengkap pers yang sudah ada. Isi berita kami didominasi wawancara khusus, karena kami ingin menampilkan opini tokoh-tokoh secara telanjang,'' ujar Eros. Sebenarnya Detik bukan media cetak baru. Sebelumnya, di bawah pimpinan H. Abdul Aziz, Detik tampil sebagai majalah mingguan yang mengutamakan berita kriminal. Kini, dengan pemilik saham yang terdiri dari Eros Djarot, Surya Paloh, H. Abdul Aziz, dan para karyawannya, Detik diputuskan untuk ganti haluan. ''Walaupun, saya kira, Detik dengan wajah baru pada hakikatnya akan menampilkan juga masalah hukum dan kriminalitas, dalam jangkauan lebih luas,'' tutur Eros. Dengan modal sekitar Rp 100 juta, kantor yang sederhana, serta 25 wartawan, Eros menamakan Detik sebagai ''pers kaki lima''. Artinya, modalnya adalah kemauan dan idealisme, bukan fasilitas atau dana. ''Tentu kami mengharapkan pemasukan dari iklan, tetapi kami tak akan membiarkan iklan membebani isi berita,'' katanya lagi. Sejauh ini bentuk penyajian berita Detik tampak tidak berbeda dari mingguan berita biasa. Pada edisi 10 Maret, misalnya, ''Sajian Utama'' yang terdiri dari 10 halaman menurunkan laporan dan pendapat mengenai Sidang Umum MPR sempat menggemparkan peserta Sidang Umum MPR karena isinya mempersoalkan cerita ''Di Balik Pencalonan (Jenderal) Try''. Seperti media lain, Detik memunculkan wawancara dengan sejumlah tokoh, seperti eks Mendagri Rudini, eks Menko Kesra Alamsjah Ratu Perwiranegara, dan tokoh ABRI Harsudiono Hartas. ''Sajian Utama'' ini menurunkan pula tulisan latar belakang, seputar pencalonan wakil presiden lima tahun silam. Lalu ada ulasan tentang kemungkinan Try Sutrisno menjadi wakil presiden. Yang menarik perhatian, melalui wawancara dengan tokoh yang kritis seperti Sri Bintang Pamungkas dan Dawam Rahardjo, Detik ingin mengungkapkan kenyataan bahwa pencalonan tersebut belum tentu diterima semua pihak. Penyuntingan minim memungkinkan ucapan-ucapan keras yang dilontarkan sumber yang diwawancarainya muncul ke permukaan. Ini membangun kesan bahwa Detik lebih berani dibandingkan media cetak lain. Namun keberanian itu, di sisi lain, terkesan tidak imbang. Pada terbitan itu Detik tidak menyajikan wawancara dengan Try Sutrisno, yang menjadi pusat pemberitaan. Jawaban Try Sutrisno tentu akan membuat ''Sajian Utama'' itu lebih berimbang. Namun Eros Djarot, yang menjabat sebagai wakil pemimpin umum dan wakil pemimpin redaksi, berdalih, ''Memang dicoba, tapi saat itu Pak Try sangat sibuk.'' Dosen komunikasi politik FISIP UI Harsono Soewardi berpendapat, Detik memiliki peluang untuk menjadi media alternatif. ''Detik mempunyai sentimentalitas dalam menghadapi kenyataan politik di Indonesia,'' katanya. ''Inilah dasar peluang menjadi media alternatif.'' Sentimentalitas itu, menurut Harsono, terlihat pada ekspresi ketidakpuasan terhadap percaturan politik di Indonesia. Termasuk pemberitaannya dalam penulisan berita sekarang ini. Kelebihan Detik yang lain, menurut Harsono, tabloid itu mampu memancing rasa ingin tahu pembaca dengan cara megangkat isu-isu politik yang kontroversial. ''Sayangnya, opini yang ditampilkan oleh Detik sering terasa kurang beragam dan kurang berimbang. Penulisan beritanya cenderung dilakukan lewat satu kaca mata saja,'' kata Harsono mengkritik. Dan ia kembali memberi contoh edisi yang mengupas pencalonan Try Sutrisno sebagai wapres. ''Akan lebih menarik jika ada Try Sutrisno sendiri juga diwawancarai, agar lebih berimbang,'' katanya. Melihat penyajian resensi film, buku, teater peristiwa kebudayaan, dan pemberitaan politiknya yang menggebu-gebu, ada kesan bahwa Detik adalah media untuk konsumsi mahasiswa, aktivis LSM, dan peminat politik muda usia. Eros tentu menolak citra ini. ''Detik bacaan untuk mereka yang percaya bahwa yang abadi hanyalah perubahan,'' katanya berfilsafat. Dengan idealisme seperti ini pula, Surya Paloh, yang duduk sebagai salah satu pemegang saham, tak mengharap keuntungan terlalu banyak. Dengan modal Rp 100 juta, Surya Paloh tak terlalu memperhitungkan kapan modal itu kembali. ''Dengan keadaan ekonomi seperti ini, saya tak mengharap tabloid berita itu laku keras. Saya mengharapkan Detik menjadi alternatif media yang sudah ada,'' katanya. Yang jelas, Detik sudah menjadi alternatif bagi tabloid lain yang mengikuti acuan umum: cenderung memamerkan paha dan mengurusi gosip, terutama di lingkungan film. Yang masih harus dibuktikan, apakah tabloid itu bisa menjadi alternatif pemberitaan. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus