RUU KUHP tentang marital rape (MR) telah lama dibicarakan di berbagai media massa. Berbagai tanggapan dan pendapat telah diberikan terhadap rencana undang-undang tersebut. Di satu sisi, sebagian masyarakat cenderung memandang undang- undang ini sebagai suatu langkah maju bagi gerakan emansipasi wanita di Indonesia (TEMPO, 30 Januari 1993, Kolom Debra H Yatim). Sedangkan sebagian lagi menganggapnya sebagai suatu kemajuan intelektual karena pemerkosaan telah didefinisikan secara lebih luas, tercakup dalamnya pengaturan hubungan suami istri bahkan sampai anal ataupun oral sex. Di sisi lain, Abdul Rahman Saleh menganggapnya sebagai suatu kemunduran ketimbang KUHP eks Belanda ataupun KUHP Islam (TEMPO, 30 Januari 1993, Kolom). KUHP tentang MR memang lebih mundur dari KUHP Islam dalam hal tata cara untuk mengatur pelaksanaan KUHP tersebut (walaupun dari segi memperberat hukuman bagi pemerkosa memang sesuai dengan KUHP Islam). KUHP tentang MR ini lebih mundur dibandingkan dengan KUHP eks Belanda, karena KUHP eks Belanda lebih bertujuan memelihara keutuhan keluarga dengan lebih melokalisir masalah sebagai masalah dalam keluarga dengan menolak campur tangan orang lain. Saya cenderung sependapat dengan Adin Priadi (TEMPO, 27 Februari 1993, Komentar) bahwa KUHP tentang MR adalah suatu produk hukum dari masyarakat Barat yang erat berhubungan dengan free sex dan free love pada tahun 1960-an. Saya menganggap bahwa penerapan KUHP tentang MR itu di Indonesia adalah merupakan kemenangan western culture terhadap kebudayaan kita. Mengapa demikian? Saya beruntung mendapat kesempatan mengunjungi Amerika selama dua tahun. Sebelum itu saya sama sekali belum mengenal apa itu anal ataupun oral sex. Di Amerikalah istilah-istilah itu saya kenal. Sebab, di negara adidaya itu istilah-istilah itu sedemikian lazimnya bagi umum. Tak jarang media massa membicarakannya. Sebaliknya di Indonesia, istilah-istilah itu belum dikenal secara umum, bahkan sebagian masyarakat menganggapnya tabu. Memang kehidupan di Amerika cenderung lebih bebas dan terbuka, sehingga kehidupan suami istri yang paling pribadi pun mungkin dibicarakan di depan publik. Itu jelas berbeda sekali dengan kehidupan kita di sini, apalagi dengan kehidupan nenek moyang kita. Satu lagi yang membedakan kehidupan mereka dengan kehidupan kita di sini, yakni tentang penghayatan kehidupan beragama. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kehidupan beragama di sana sedemikian melemahnya dibandingkan dengan kehidupan beragama di sini. Lalu apakah kecenderungan melemah juga harus terjadi pula di negeri kita ini? Saya setuju sekali dengan pendapat Prof. DR. Sahetapy, S.H. (Kompas, 8 Februari 1993) yang menyatakan: "secara teori, kalau nilai-nilai agama dan moral dipegang dan dilaksanakan dengan baik maka hukum yang mengatur tidak perlu terlalu banyak sedikit saja pengaturannya.'' SAFRUDIN CHAMIDI 8/60 Welington Rd, Clayton, Vic. 3168 Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini