Sinyal negatif sudah dilontarkan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF). Lembaga keuangan internasional itu kembali merevisi angka proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun depan. Sementara semula IMF yakin perekonomian dunia akan tumbuh 2,6-3,5 persen, kini keyakinan itu pupus. Dalam rilisnya pertengahan Desember lalu, IMF meramalkan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 2,4 persen. Ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Jepang masih akan tertatih-tatih dalam waktu yang sulit diperkirakan. Padahal kedua negara itu merupakan pasar utama Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS dan Jepang rata-rata mencapai 36 persen dari total ekspor setiap tahunnya. Kawasan Eropa juga tak bisa terlalu diharapkan. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Eropa tahun 2002 akan lebih rendah dibanding tahun ini.
Kendati gambaran perekonomian cenderung suram, kalangan industri di Indonesia masih banyak yang percaya bahwa tahun depan akan lebih baik. Hal itu paling tidak tecermin dari keyakinan Asosiasi Pertekstilan Indonesia. Tahun depan, kata ketuanya, Natsir Mansyur, ekspor tekstil dan produk tekstil akan naik lima persen menjadi US$ 8 miliar. Alasannya, perekonomian dunia, terutama AS dan Uni Eropa, akan membaik. Keyakinan serupa diungkapkan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gde Ardika. Menurut dia, sektor pariwisata bisa menghasilkan devisa US$ 5,8 miliar, naik hampir 10 persen dari tahun ini. Padahal tahun ini target sebesar US$ 5,3 miliar mungkin tidak akan tercapai.
Kabar baik juga datang dari pasar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), Derom Bangun, mengatakan bahwa harga CPO diperkirakan naik sampai US$ 360 per ton. Kenaikan ini terjadi karena permintaan dari India dan Cina meningkat cukup signifikan. Selain itu, Malaysia dan Indonesia, yang menguasai 80 persen pasar sawit dunia, berhasil meredam persaingan sehingga harga sawit bisa didongkrak perlahan-lahan dari angka semula di bawah US$ 300 per ton. Itulah harapan yang merebak di kalangan dunia usaha, kendati dampak tragedi 11 September masih kuat membekas.
Namun, Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Aburizal Bakrie, mencatat sejumlah faktor yang bisa membuyarkan semua keyakinan itu. Menurut dia, selain faktor keamanan, di sektor perburuhan ada dua hal yang bisa mengganggu kinerja industri. Dua hal itu adalah Keputusan Menteri No. 150/2000 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Rugi di Perusahaan, serta kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang terlalu tinggi. Di DKI Jakarta, misalnya, UMP naik 38 persen menjadi Rp 600 ribu, sementara pengusaha hanya mampu membayar kenaikan sebesar 18 persen. "Ini akan mengganggu arus masuk investasi," katanya. Agaknya Aburizal melupakan satu hal: bahwa buruh ingin sejahtera juga sebagaimana pemilik perusahaan. Terutama di tahun penuh ketidakpastian ini.
M. Taufiqurahman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini