PARA importir film kini bergairah menjadi produser. "Mereka akan
berproduksi karena memang sektor ili menguntungkan", ketua Hood
Idris dari Konsorsium (importir film) Asia non Mandarin
mengatakan kepada wartawan TEMPO Syarief Hidayat.
Keuntungan terutama mereka lihat dari film Inem Pelayan Sexy
yang memecahkan rekor baru dalam box-office, penjualan karcis.
PT Candi Dewi Film, importir, membuat Inem itu pada mulanya
sekedar untuk memenuhi kewajiban. Maklum, pemerintah
mengharuskan satu produksi nasional untuk tiap 5 judul film
asing yang diimpor. Ketentuan demikian dikeluarkan pemerintah
guna merangsang importir ketika banyak bioskop, terutama kelas
A, ingin memutar film asing melulu, tapi enggan menerima
produksi nasional.
Pemerintah tampaknya masih belum akan mencabut ketentuan 5: 1
itu. Namun, walau tanpa perangsang sekalipun, bisnis membuat
film nasional memsng makin menggiurkan. Sampai Mei lalu, Deppen
mencatat, sudah ada 37 judul baru untuk tahun ini dari studio
domestik. Dengan iklim sekarang mi, direktur Pembinaan Film
Deppen, Sunaryo S.T. menaksir angkanya mungkin mencapai 100 pada
akhir '77, dibanding cuma 57 pada tahun lalu.
Banyak bioskop, termasuk kelas A, ternyata juga sudah tidak
mengeluh lagi bila diwajibkan memutar film nasional. Wajib-putar
itu selama ini diatur oleh PT Peredaran Film Indonesia (Perfin)
perusahaan yang didirikan tahun 1975 untuk melaksanakan SK 3
Menteri (Penerangan, P & K dan Dalam Negeri), yang bertujuan
melindungi industri film nasional.
Bulan lalu, PT Perfin membuka cabang di Medan, satu langkah lagi
maju sesudah beroperasi di DKI, Surabaya dan Ujung Pandang. Di
tempat, di mana PT Perfin sudah berpijak, semua bioskop harus
mematuhi kalender pemutaran film nasional yang ditetapkannya.
Tapi PT Perfin baru terbukti sukses dalam hal kalender, belum
berhasil mengganti peranan broker maupun flatter. Ini disebabkan
PT Perfin tidak memiliki uang tunai untuk meminjamkan pada
produser. Maka masih sering terjadi, meskipun di DKI sendiri,
produser mengedarkan filmnya via broker karena ingin cepat
memperoleh uang muka. Jika diedarkannya melalui PT Perfin, kata
dirut Zulharmans, "pasti ia lebih beruntung. Lihat, PT Candi
Dewi dimakan oleh broker"
Ternyata PT Candi Dewi telah menjual pada broker hak mengedarkan
Inem di DKI sebanyak Rp 17,5 juta. Dari peredaran tahap pertama
saja (122.000 penonton di 9 bioskop DKI), broker sudah meraih
hasil Rp 31,5 juta. Kemudian broker itu menjual lagi haknya pada
rekannya sebesar Rp 20 juta untuk peredaran tahap kedua. Dan
broker kedua itu meraih Rp 25,5 juta dari 11 bioskop (250.000
penonton). Untuk tahap ketiga, broker ketiga sudah menawar pula
Rp 20 juta.
Dengan demikian Inem di DKI saja bisa kelak menghasilkan sekitar
Rp 70 juta, sedang produser menjualnya cuma Rp 17,5 juta.
Seyogianya kesemua Rp 70 juta itu bisa masuk ke kantong
produser. "Nah, rasain lu kalau tidak percaya sama PT Perfin",
komentar dirut Zulharmans.
PT Candi Dewi tidaklah akan merugi. Biaya produksi Inem ditaksir
berada di bawah Rp 50 juta. Walaupun sudah "dimakan" broker di
DKI, menurut dugaan PT Perfin, pada keseluruhannya nanti, yaitu
bila dihitung kemungkinan penghasilan karcis di kota-kota
lainnya, PT Candi Dewi masih akan bisa beruntung dengan Inem,
mungkin sampai Rp 30 juta.
Chicha
Sukses Inem itu sungguh unik. Umumnya importir yang merangkap
produser itu mengharapkan untung besar cuma dari film asing,
sedang dari film nasional mereka menyediakan diri rugi,
umpamanya 10%. Hingga, akibatnya, produksi mereka biasanya asal
jadi, bermutu rendah. Tapi Inem ternyata telah dikerjakan dengan
baik, dan berhasil menghibur penontonnya.
Film nasional berikutnya yang diduga akan sukses di box-office
adalah Chicha, produksi PT Inter Studio. Chicha, suatu film
untuk segala umur, kini menunggu giliran beredar di DKI. Dari
daftar tunggu antara Juli s/d September - kesemuanya 15 film
nasional, sesuai dengan kalender PT Perfin, Chicha adalah
terakhir. Besar kemungkinan produsernya tergoda oleh penawaran
broker supaya lebih cepat dapat uang. Dan broker sekarang berani
menawar tinggi.
Maka, Hood Idris dari PT Adhiyasa Film berkata lagi tentang
gejala "tambang emas" baru di kalangan perusahaan sejenisnya
begini: "Importir tidak mungkin hanya memproduksi 1 judul film
saja. Ia harus memproduksi paling sedikit 3 judul setahun".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini