Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KECEWA aspirasinya tidak ditanggapi Dewan Direksi dan Komisaris PT Krakatau Steel Tbk tak membuat Saifullah Majid mati akal. Sejak Agustus tahun lalu, Kepala Bidang Organisasi Forum Serikat Pekerja itu menolak rencana pemutusan hubungan kerja 2.500 karyawan alih daya. Beragam demonstrasi digelar menentang rencana itu.
Kamis pekan lalu, bersama 20 karyawan alih daya yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Baja Cilegon, Saiful mencegat Menteri Dahlan Iskan. Saat itu, Dahlan baru pulang dari senam pagi di Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Saiful memberondong Dahlan dengan kisah karyawan Krakatau yang terancam diputus kontrak. "Kami meminta Pak Dahlan mengecek dan menyelesaikan," katanya Jumat pekan lalu.
Saiful meminta Dahlan membawa persoalan karyawan ke rapat umum pemegang saham Krakatau, yang akan digelar 23 Mei mendatang. Karyawan yang sudah bekerja 28 tahun di Krakatau itu berharap persoalan karyawan alih daya mendapat porsi perhatian yang setara dengan kerugian yang mendera perseroan.
Belakangan ini anggota direksi Utama Krakatau, Irvan Kamal Hakim, tengah disorot akibat pabrik kilang baja itu menderita rugi US$ 20,34 juta atau sekitar Rp 198,186 miliar. Kursi yang baru didudukinya pada Juni tahun lalu mulai digoyang. Kerugian dinilai akibat Irvan keliru mengatur strategi pembelian bahan baku.
Seorang pengusaha yang kerap berhubungan dengan Krakatau mengatakan kerugian disebabkan oleh pembelian slab atau bahan baku baja setengah jadi dalam jumlah berlebihan pada saat harga tinggi. "Biasanya pembelian slab berkala tiga bulan, kali ini untuk setengah tahun," ujar pengusaha itu.
Pembelian slab Krakatau mencapai 1,208 juta MT (metrik ton) tahun lalu. Suplai slab terbesar berasal dari Novolipetsk, perusahaan baja asal Rusia, sebesar 761 ribu MT atau 62 persen. Krakatau mendapatkan harga US$ 548,5 per MT. Dengan banderol itu, Krakatau harus merogoh kocek sebesar US$ 417,408 juta atau sekitar Rp 4,055 triliun.
Pembelian jumbo ini diduga kuat menguntungkan Dolf Buang Maweru, perantara antara Krakatau dan Novolipetsk. Di kalangan makelar bahan baku slab, nama Dolf tersohor. Ia dikenal dekat dengan salah satu Komisaris Krakatau. "Dolf itu orangnya Komisaris," kata si sumber.
Dolf dikenal banyak berkenalan dengan mantan pejabat militer dan sipil. Hubungan itu terlihat dengan bergabungnya Dolf di Petra Energy, perusahaan jasa bidang minyak dan gas. Komisaris Utama Petra Energy adalah Aulia Pohan, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Adapun Presiden Direktur Petra dijabat Mayor Jenderal (Purnawirawan) Glenny Kairupan, teman seangkatan Yudhoyono di Akabri 1973. Di Petra, Dolf menjabat perwakilan perusahaan di Singapura.
Dolf membantah dan menolak disebut agen Novolipetsk. "Saya bukan agen, hanya representative," ucapnya. Dolf tercatat sebagai perwakilan Steelco Pacific Trading Ltd untuk Krakatau Steel. Steelco Pacific, yang berkedudukan di Hong Kong, adalah anak perusahaan Novolipetsk khusus untuk memasarkan slab di Asia-Pasifik.
Dia mengakui kariernya di bidang perdagangan baja dirintis mandiri sejak tujuh tahun silam. Dolf banting setir dari karier di bidang teknologi informasi ke perdagangan baja internasional. Pengalaman dalam perdagangan baja ia dapatkan saat bermukim di Jerman.
Perjanjian kerja sama antara Krakatau dan Novolipetsk, menurut dia, diteken tanpa perannya. Kewenangan Dolf adalah mengurus administrasi dan operasional kedatangan slab. Menurut dia, kontrak penjualan, pengirim L/C, kesepakatan harga, tanggal pengiriman, dan spesifikasi barang dikendalikan langsung pejabat Novolipetsk. Dolf membantah jika disebut berperan dalam tender yang banyak dimenangi Novolipetsk. "Undangan tender dari Krakatau Steel langsung ditujukan ke Novolipetsk."
Dolf menilai kebijakan impor slab menguntungkan Krakatau. Pasalnya, Novolipetsk membanderol harga paling murah bahkan ketimbang slab produksi Krakatau sendiri seharga US$ 700 per MT.
Krakatau harus mengimpor slab karena mesin pembuat sponge, bahan baku pembuat slab, yakni Direct Production Plant, mengalami kerusakan. Sialnya, harga slab yang mahal berbanding terbalik dengan harga baja internasional, yang anjlok. Inilah yang membuat Krakatau mengalami kerugian. Irvan dinilai gagal mengatur strategi produksi.
Agen atau perantara berperan kuat dalam bisnis Krakatau. Seorang pengusaha mengatakan model bisnis itu menyebabkan citra direksi terpuruk karena menerima fee dari para perantara. Irvan beberapa kali mengatakan akan membersihkan praktek itu. Namun bersih-bersihnya dinilai kedok karena beberapa pemain lama tetap bercokol. Salah satunya kakak bos media televisi swasta terbesar yang menjadi perantara untuk pabrik baja dari Cile dan Malaysia. "Dia bertahan karena dekat dengan Irvan."
Sekretaris Perusahaan Krakatau Andi Firdaus membantah adanya permainan kotor pada proses tender impor slab. Pengadaan bahan baku berupa slab dan iron ore pellet diakui dengan negosiasi secara langsung tanpa perantara. Pemenang tender ditetapkan berdasarkan harga penawaran terendah yang tetap mengacu pada standar harga dunia. "Tidak ada intervensi," katanya Jumat pekan lalu.
Adapun kerugian yang mendera Krakatau, menurut Andi, disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Melemahnya kurs membuat nilai penjualan dalam dolar mengecil. kerugian juga lantaran harga baja dunia anjlok akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina. "Menekan kinerja keuangan."
Selain persoalan sengkarut bahan baku, sumber Tempo di Kementerian BUMN mengatakan dorongan penggantian Irvan datang dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Kedua kementerian ini kecewa kepada Irvan yang tak kunjung memberikan izin tanah untuk pembangunan Honam Petrochemical Corporation. Pabrik kimia asal Korea Selatan itu menginginkan lokasi di kawasan Krakatau untuk mendirikan pabrik senilai US$ 5 miliar atau setara dengan Rp 45 triliun. Investasi Honam diharapkan mendukung pencapaian target investasi sebesar US$ 30 miliar tahun ini.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sulit dimintai konfirmasi. Adapun Direktur Jenderal Basis Industri dan Manufaktur Kementerian Perindustrian Panggah Susanto berkomentar irit. "Itu hal sensitif, silakan tanyakan ke Menteri," katanya kepada Tempo.
Kekecewaan terhadap Krakatau Steel juga muncul dari kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Sumber Tempo mengatakan Pohang Iron and Steel Company (POSCO), produsen baja asal Korea Selatan, mengirim surat protes ke Menteri Perekonomian Hatta Rajasa. Isinya memprotes kerja sama Krakatau dengan Nippon Steel dan Sumitomo Metal Corporation, produsen besi dan baja asal Jepang. Kerja sama itu membuat kerja sama Krakatau dan POSCO terganggu.
POSCO bekerja sama dengan Krakatau mendirikan pabrik baja baru bernama KS-POSCO, yang akan beroperasi Desember mendatang. Kerja sama ini digagas sejak direktur utama dijabat Fazwar Bujang.
Sumber Tempo mengatakan Irvan kurang sreg dengan investasi itu. Mereka menilai Posco terlalu dominan dalam proyek senilai Rp 6 triliun itu. "Hampir semuanya didatangkan dari Korea, dari tenaga manusia hingga mesinnya," ujar sumber itu. "Ini mirip membangun jembatan Selat Madura."
Irvan justru menjalin kerja sama dengan perusahaan Jepang mendirikan PT Krakatau Nippon Steel Sumikin pada Desember tahun lalu. Rencananya pabrik baru itu akan memproduksi baja untuk kebutuhan otomotif. Inilah yang membuat POSCO tidak nyaman.
Amir Sambodo, anggota staf khusus Menteri Hatta, mengatakan mendengar keluhan Irvan soal protes POSCO. "Saya belum baca suratnya, tapi Dirut Krakatau pernah melapor kerja sama dengan Nippon mendapat protes POSCO," katanya. Adapun Andi membantah anggapan bahwa hubungan Krakatau dengan POSCO meregang. "Kami mengedepankan hubungan baik."
Akbar Tri Kurniawan, Ananda Putri, Amri Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo