Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah panggilan ke telepon seluler Hatta Rajasa menginterupsi rapat Jumat pagi, 12 April lalu, di kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Melihat siapa yang menelepon, Hatta segera ke luar ruangan. Salah satu peserta rapat bercerita, rupanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menghubungi Hatta untuk meminta rapat menimbang kembali besaran kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi untuk kendaraan pribadi, yang sebelumnya sempat disepakati di angka Rp 7.000 per liter.
"Presiden meminta kami membuat simulasi jika naiknya ke Rp 6.500 saja," kata si pejabat, Rabu pekan lalu. Menurut dia, Yudhoyono khawatir terhadap efek yang akan terlalu berat bagi konsumen jika kenaikannya terlalu besar. "Banyak pemilik mobil pelat hitam yang sebenarnya tak bisa dibilang masuk golongan berpenghasilan menengah ke atas. Angka dari Presiden itu yang nanti akan berlaku."
Dalam hitungan pemerintah, jika kenaikan bisa dimulai awal Juni, penghematan yang akan didapat dari kebijakan ini bisa mencapai lebih dari Rp 88,2 triliun atau 0,95 persen dari produk domestik bruto tahun ini. Angka itu diperoleh dengan melihat kecenderungan realisasi subsidi BBM yang terjadi pada Januari-Maret lalu, sehingga diperkirakan totalnya hingga akhir tahun akan mencapai Rp 294,2 triliun. Itu artinya akan jauh melampaui anggaran yang dialokasikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini, yakni Rp 193,8 triliun.
"Kami berfokus pada satu titik, yaitu mengurangi subsidi bagi pelat hitam," ujar Hatta Rajasa, Selasa pekan lalu. Pembahasan tersebut, kata dia, telah menjadi fokus utama pemerintah selama beberapa waktu belakangan. Dia juga menyampaikan bahwa pengurangan subsidi bagi mobil pribadi akan mulai dilakukan pada Mei mendatang.
Proses penetapan dua harga BBM bersubsidi sesungguhnya berlangsung alot. Kementerian Keuangan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral awalnya meminta agar kenaikan Rp 1.000-1.500 per liter untuk semua jenis BBM bersubsidi tanpa ada perbedaan harga. "Sebelum menjadi keputusan final, mari kita timbang lagi kebijakan dua harga ini," ujar Menteri Energi Jero Wacik dalam sebuah rapat, seperti ditirukan sumber Tempo.
Bahkan Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo, menurut sumber tadi, sempat mempertanyakan dasar hukum untuk menindak pengemudi kendaraan pribadi yang membeli BBM berharga Rp 4.500. Adapun Komite Ekonomi Nasional (KEN) tadinya mengusulkan tidak ada perubahan harga BBM. Hanya, pemilik kendaraan pribadi tak boleh lagi memakai BBM bersubsidi. Mereka harus membeli bensin dan solar nonsubsidi.
Toh, akhirnya mereka semua tunduk pada arahan Presiden dan Menteri Hatta Rajasa. "Opsi pengurangan subsidi untuk kelompok menengah-atas sudah yang terbaik," ujar Jero Wacik. "Saya akan mengerahkan anak buah untuk menjaga," kata Jenderal Timur Pradopo.
Di sela kunjungannya ke Singapura, Presiden Yudhoyono menjelaskan, langkah ini diambil sebagai solusi bagi potensi pembengkakan konsumsi BBM bersubsidi yang berdampak pada kesehatan fiskal. "Insya Allah, kami akan mengambil kebijakan tersebut bulan depan," katanya.
Kapan persisnya waktu harga baru itu dimulai? Seorang petinggi di kantor Hatta mengatakan pemerintah akan menunggu sepekan setelah Hari Buruh pada 1 Mei nanti. "Untuk menghindari dampak sosial politik yang bertumpuk dengan demo buruh," ujarnya. "Selain mobil pribadi, kendaraan dinas dan angkutan perkebunan serta pertambangan akan dikenai kenaikan harga. Selebihnya masih dengan harga lama."
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengatakan persiapan ke arah penerapan dua harga itu sudah mencapai 90-95 persen. "Tinggal tanda tangan," ujarnya. "Bisa awal atau pertengahan Mei."
Persiapan itulah yang mulai tampak di bagian belakang sebuah stasiun pengisian bahan bakar di kawasan Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Enam orang terlihat membentangkan baliho berukuran 2 x 1 meter bertulisan harga baru. Baliho yang dikirim dari kantor pemasaran PT Pertamina (Persero) III untuk Wilayah Jawa Bagian Barat itu mempunyai dua warna.
Warna putih di bagian atas yang bertulisan harga baru Premium untuk kendaraan pribadi Rp 6.500. Sedangkan bagian bawah berwarna biru bertulisan "Khusus Pelat Kuning Rp 4.500". "Tapi akan kami tutup dulu tulisan harga baru itu. Karena memang belum ada keputusan kapan kenaikannya," kata salah seorang pegawai.
Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi mengatakan para anggotanya akan menyediakan penanda dan petunjuk yang jelas tentang dua harga yang berlaku bagi konsumen. Yang jelas, ujar dia, para pengusaha SPBU di organisasinya telah sepakat mendukung kebijakan pemerintah ini. "Secara resmi sudah tidak ada lagi keberatan dari daerah," katanya.
Meski begitu, belum semua pengelola SPBU yakin kebijakan dua harga ini akan mulus di lapangan. Mereka melihat disparitas harga itu justru akan memperbesar peluang penyimpangan dan berbagai masalah baru. "Ini sangat menyulitkan dan membebani anggota kami, sehingga kami meminta agar opsi pemberlakuan tersebut dikaji kembali," kata Ketua Hiswana Migas Jawa Tengah Pramudya Hidayat.
Hiswana Migas di Yogyakarta dan eks Karesidenan Besuki di Jawa Timur juga mengaku gamang dengan berlakunya dua harga itu. Selain membingungkan, mereka khawatir, perbedaan harga akan memicu ketegangan dan konflik di tingkat bawah. "Kalau mau naik, silakan saja. Asalkan tetap satu harga, tak ada masalah," ujar Ketua Hiswana Migas Yogyakarta.
Y. Tomi Aryanto, Bernadette Christina, Angga Sukma, Edi Faisol, Anang Zakaria
Tekor karena Solar
Petang sudah berganti malam, Rabu pekan lalu, tapi keramaian di sebuah warung kopi di Desa Brenta Pesisir, Tlanakan, Pamekasan, Jawa Timur, itu tak juga berkurang. "Beginilah, sudah seminggu cuma nongkrong di warung, tidak bisa kerja," kata Zehri, 45 tahun, yang mencari nafkah sebagai nelayan. "Sudah sepekan kami antre solar, belum dapat juga," Zehri mengeluh.
Jika kondisi normal, para nelayan Brenta Pesisir biasa melaut mulai pukul tiga pagi dan pulang sore hari. Sebuah perahu kayu umumnya membutuhkan sekitar 150 liter solar, dengan hasil tangkapan rata-rata 20 bak ikan segar. "Kami jual 20 bak ikan Rp 1 juta. Biaya solar dan makan selama melaut Rp 750 ribu. Setelah dipotong pekerja Rp 100 ribu, masih sisa buat kami Rp 150 ribu," Zehri bercerita.
Tapi itu pada masa normal, ketika pasokan solar lancar. Sejak awal tahun ini bahan bakar itu mulai susah diperoleh. Kalaupun ada, tiap nelayan dijatah 100 liter saja, sehingga tak mungkin lagi mereka menjelajahi laut sampai jauh. "Sekarang, kalau kami melaut, rumah masih kelihatan," uajr Zainul Fatah, nelayan lain di desa itu. "Jadi lebih sering tekor. Karena melaut dekat rumah, mau dapat lima bak ikan saja susah."
Dalam catatan PT Pertamina (Persero), pada triwulan pertama tahun ini, setidaknya 20 provinsi mengalami kekurangan BBM bersubsidi karena konsumsi yang melampaui kuota. Situasi ini jadi alasan bagi pemerintah untuk meminta Pertamina melonggarkan volume penyaluran solar bersubsidi melalui rapat koordinasi di kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Selasa pekan lalu.
Rapat dihadiri oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Keuangan, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, serta Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan. Karen meminta para kepala daerah dan polisi ikut mengawasi. "Kami butuh bantuan gubernur dan aparat keamanan untuk melihat apakah wajar ada mobil yang bolak-balik mengisi solar."
Y. Tomi Aryanto, Bernadette Christina, Rosalina, Musthofa Bisri, Anang Zakaria
Konsumsi Premium: 29,2 Juta Kiloliter (APBN 2013)
Konsumsi Solar: 15,11 Juta Kiloliter (APBN 2013)
Sumber: Komite Ekonomi Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo