Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak seperti lazimnya gerai retail besar, Giant di lantai dasar Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, berantakan sekali. Selasa sore akhir Agustus lalu, rak-rak yang biasa dipakai memajang rupa-rupa dagangan itu ditaruh asal-asalan di tengah ruangan. Di bagian bahan makanan segar, yang tampak hanyalah kotak pendingin kosong. Suasana pun redup karena hanya sedikit lampu yang dinyalakan.
"Saya kira sedang direnovasi," tutur Sofia Septiani, menceritakan apa yang ia lihat itu, Senin pekan lalu. Karyawati perusahaan perkebunan di Jakarta Pusat ini nekat hendak masuk berbelanja karena masih ada petugas kasir berjaga di dua loket yang beroperasi. Enam loket lain dibiarkan menganggur. Dari salah satu kasir itu, perempuan 29 tahun ini tahu bahwa ternyata jaringan gerai milik PT Hero Supermarket Tbk langganannya tersebut menghentikan layanan. "Tak ada penjelasan kenapa mereka tutup."
Rabu pekan lalu, Tempo menyaksikan Giant di Plaza Semanggi benar-benar tutup. Di pintu tarik yang semuanya terkunci, tertempel spanduk pengumuman yang menyatakan toko tutup mulai 31 Agustus 2015. Persis di sebelahnya, toko Guardian, jaringan Hero yang bergerak di bisnis farmasi dan kecantikan, bernasib sama: kosong melompong.
Jumat dua pekan lalu, Presiden Direktur Hero Supermarket Group Stephane Deutsch secara resmi mengumumkan penutupan 74 gerainya. Ia menyebutkan pelemahan ekonomi yang terjadi hampir setengah tahun terakhir membuat daya beli masyarakat menurun. Sederet regulasi yang belakangan menekan penjualan retail menambah tekanan pada bisnis mereka. "Ada dampak dari kebijakan larangan berjualan minuman beralkohol yang berlaku mulai April," kata Deutsch setelah menggelar jumpa pers di Jakarta.
Kinerja perusahaan sedang berat. Beban usaha melonjak dan kerugian penjualan aset membuat Hero Supermarket merugi Rp 31,59 miliar sepanjang Januari-Juni 2015. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pada periode yang sama tahun lalu, ketika perusahaan mengantongi laba Rp 94,75 miliar. Dengan situasi seperti itu, penutupan 39 lapak Starmart, 22 toko Guardian, 10 gerai Hero, dan 3 unit Giant dianggap sebagai salah satu solusi efisiensi.
Director of Corporate Affair, Industrial Relations, and Risk Management Hero Supermarket Arief Istanto menjelaskan, penutupan toko merupakan cara perusahaan memperbaiki portofolio. Apalagi, dengan kondisi ekonomi saat ini, kinerja toko sudah tidak sesuai dengan studi kelayakan seperti saat dibuka. "Kami tutup kalau cash flow-nya negatif," katanya saat dihubungi pada Selasa pekan lalu.
Persoalan lain, ia menambahkan, tenggat sewa ruangan tak bisa diperpanjang. Selama ini sejumlah gerai Hero Supermarket, seperti Giant dan Guardian, berlokasi di mal untuk memperkecil pengeluaran. Investasi ditekan agar tak sampai Rp 10 miliar. Berbeda jika perusahaan menyediakan tanah dan bangunan sendiri, modalnya bisa sampai Rp 200 miliar.
Penjelasan Arief klop dengan cerita seorang karyawan Giant di kawasan Jakarta Barat. Selama 18 tahun ia bekerja di peretail raksasa ini, masalah perusahaan bukan pada banyak atau sedikitnya pembeli. Manajemen yakin pengunjung tetap tinggi karena produk yang mereka jual mayoritas adalah kebutuhan primer masyarakat. "Tapi setinggi apa pun jumlah pembeli, kalau pengelola gedung mau cut kontrak, manajemen tak bisa apa-apa," katanya. "Itu masalah di gerai-gerai kami yang tutup."
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Mendey membenarkan situasi yang menimpa Hero Supermarket tak semata-mata akibat pelemahan ekonomi. Faktor internal perusahaan berupa masa sewa tempat yang sudah habis turut berpengaruh. "Sama seperti kontrak rumah, kalau habis masa sewa, pemilik gedung akan menaikkan harga. Mungkin itu yang menjadi pertimbangan manajemen Hero menutup store dan memilih pindah ke lokasi lain."
Dalam laporan keuangan perusahaan berkode HERO ini, pendapatan naik 15 persen menjadi Rp 7,48 triliun, dari Rp 6,5 triliun pada paruh pertama tahun ini. Sayangnya, beban pokok ikut-ikutan naik menjadi Rp 5,8 triliun, dari Rp 4,96 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Beban usaha pun melonjak 13 persen menjadi Rp 1,79 triliun.
Dalam pos beban usaha, pengeluaran yang meningkat adalah gaji dan tunjangan: dari Rp 502,38 miliar menjadi Rp 576,1 miliar. Beban penyusutan dan amortisasi pun melambung menjadi Rp 219,86 miliar, dari posisi periode yang sama tahun lalu Rp 180 miliar. Pengeluaran terbesar dalam pos ini adalah biaya iklan dan promosi, yang melonjak sampai 67,11 persen. Dari semula Rp 67,41 miliar pada semester pertama tahun lalu, menjadi Rp 112,65 miliar pada enam bulan pertama tahun ini. Belum lagi tambahan beban biaya waralaba sebesar Rp 14,67 miliar, yang tahun lalu tak ada di daftar belanja perusahaan.
Secara umum, menurut Roy, pelaku usaha retail saat ini harus berjuang di tengah menjamurnya peretail asing yang menyerbu pasar dalam negeri. Potensi konsumen di Indonesia memang dinilai menjanjikan. Artinya, para pemain lokal mesti ekstra-inovatif untuk memikat konsumen lewat aneka promosi, banting harga, hingga iming-iming bonus.
Peretail raksasa lain, seperti Lippo Group, punya siasat lain. Perusahaan mengalihkan pasar ke sistem online. Bukan hanya Matahari Department Store, produk-produk Hypermart yang menjadi pesaing Hero Supermarket kini sudah bisa dijumpai di gerai online pada platform MatahariMall.com. "Peluang untuk improvement selalu ada. Kami melihat persaingan sebagai sesuatu yang baik," kata Direktur Lippo Group John Riady, awal September lalu.
Meski belum berencana meniru Lippo, Hero Supermarket tetap optimistis bisa mengejar. Arief Istanto mengatakan penutupan 74 gerai sepanjang semester pertama tak mematikan agenda perusahaan membuka 15 lapak baru dalam enam bulan mendatang. "Kami menyasar Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Bali, dan Lombok."
Ayu Prima Sandi
Gaya Bertahan Peretail Lokal
BANGUNAN tiga lantai di Jalan C. Simanjuntak 64, Yogyakarta, itu tak pernah sepi pengunjung. Ibu-ibu dan mahasiswa selalu memadati gerai Mirota Kampus, yang didirikan pada 1985 oleh Hendro Sutikno dan Tini Yulianti.
Mirota singkatan dari "minuman, roti, dan tart". Sebutan "kampus" diambil karena swalayan yang punya lima cabang dan 600 karyawan ini selalu terletak di dekat kampus di Yogyakarta.
Sukses di Yogyakarta, Mirota belum pernah melakukan ekspansi keluar dari kota pelajar itu. Juru bicara mereka, Andreas Prabo Heri Saputro, mengatakan biaya investasi dan kondisi ekonomi yang serba tak pasti saat ini jadi pertimbangan perusahaan untuk tak main keluar kandang. "Kami berfokus pada outlet yang sudah ada saja dan promosi," katanya Rabu pekan lalu.
Langkah serupa dijalankan Luwes Group, yang punya 19 gerai swalayan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sales Manager Luwes, Gading Hariadi, mengatakan strategi bisnis mereka selama ini adalah membuka toko di kabupaten, seperti Pati, Sragen, dan Purwodadi. Segmen pasar yang mereka bidik adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. "Kami tak mengincar yang sudah digarap peretail besar."
Gerainya pun tak berada di pusat-pusat belanja. Luwes lebih suka membangun dan memiliki sendiri gedungnya, untuk menekan ongkos investasi dan perawatan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jawa Tengah Budi Handoyo mengatakan tahun ini bisnis retail di wilayahnya sedang lesu. Rata-rata omzet turun hingga 50 persen akibat melemahnya ekonomi. "Jangankan ekspansi, bisa bertahan saja sudah bagus."
Sekretaris Aprindo Jawa Barat Hendri Hendarta menyebutkan dua penopang perkembangan bisnis retail, yakni gerai yang kini beroperasi dan pembukaan toko atau cabang baru. Tanpa tambahan gerai baru, dipastikan pertumbuhan akan kecil. "Tapi saat ini juga ada regulasi moratorium, sehingga posisi pengusaha terkunci."
Gustidha Budiartie, Edi Faisol (semarang), Shinta Maharani (yogyakarta), Ahmad Rafiq (solo), Aminudin A.s. (bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo