Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERSTATUS pekebun, tapi Wahyudi tak paham tanaman apa saja yang ada di ladangnya. Saban pekan ia menerima biji-bijian baru dengan label berupa kode. Ia bertugas merawat dan menumbuhkan hingga jadi bibit dan tumbuh akar, kemudian menyerahkannya kembali ke pemilik dengan imbalan tertentu. "Bibit itu milik Pak Steve dari Kebunbibit," ujarnya saat Tempo berkunjung ke kebunnya di Dusun Tonggolari, Desa Sidomulyo, Kota Batu, Jawa Timur, Rabu pekan lalu.
Di lahannya yang cuma 400 meter persegi, Wahyudi menumbuhkan 60 jenis tanaman. Yang dikenalinya hanya tarago, thyme, dan oregano. Meski merasa asing dengan nama-nama tanaman itu, sarjana pendidikan agama Islam tersebut tak ambil pusing. Yang penting ia bekerja dan tiap bulan ada pemasukan Rp 2-5 juta ke kantongnya: imbalan sebagai pekebun.
Selain Wahyudi, ada 59 pekebun lain yang menjadi mitra dari pemilik Kebunbibit, Steve Stanley Budi Mulyono. Sebagian besar adalah tetangga sekampung Steve di Batu. Beberapa lainnya pekebun di Lembang, Bandung; dan Bojonegoro. Mayoritas bibit milik Steve diimpor dari Thailand atau Inggris. Tiap kali menitipkannya ke pekebun untuk ditumbuhkan, Steve hanya memberi mereka kode dan petunjuk perawatan. "Jenisnya dirahasiakan agar mereka tidak bisa menjual ke pihak lain," kata Steve saat dihubungi, Senin pertengahan September lalu.
Kebunbibit adalah perusahaan penjual tanaman hias secara online yang dirintis Steve sejak 2012. Setelah enam kali gagal berwirausaha, Steve mencoba menjual tanaman hasil kebunnya lewat layanan pesan BlackBerry, Facebook, dan Kaskus. "Jadi modalnya bukan dengkul, melainkan jari," kata pria yang hanya sempat mengenyam dua semester kuliah di jurusan manajemen di Universitas Surabaya ini.
Kini ada 5.000 lebih jenis tanaman yang dijualnya lewat dunia maya. Selain melalui situs mandiri kebunbibit.id, Steve menitipkan dagangannya di sembilan market place. Di antaranya Lazada, Tokopedia, Bukalapak, dan MatahariMall.
Di luar pekebun yang jadi mitra, ada 35 karyawan Kebunbibit yang bertugas mengirim 200-an paket setiap hari. Menurut Steve, 20 persen order berasal dari Jakarta, 13 persen dari Surabaya, dan yang lain merata dari daerah lain di seluruh Nusantara. Dengan harga satuan dari Rp 5.000 hingga Rp 3 juta, omzet perusahaan bisa lebih dari Rp 400 juta per bulan.
Berkah pasar dalam jaringan (online) juga dinikmati Aminah di Surabaya. Penjual pecel semanggi ini dulu harus berkeliling menggendong dagangannya. Sekarang dia cukup bertransaksi lewat gawai di genggaman. "Saya bersyukur, zaman sekarang kalau mau jualan sudah makin mudah," kata perempuan 37 tahun ini ketika ditemui Tempo di rumahnya di Sambi Kerep, Surabaya.
Aminah mengemas daun semanggi yang telah dikeringkan dalam plastik. Para pembeli cukup mencelupkan daun semanggi kering ke dalam air panas saat hendak mengkonsumsinya. Bumbu pecel pun dibuat kering dan dikemas dalam wadah tertutup. Sepaket pecel ukuran tiga porsi ia jual Rp 25 ribu, belum termasuk ongkos kirim. "Dagangan online saya titipkan di Bukalapak dan OLX," katanya. Dari situ, ia bisa mendapat Rp 3 juta per hari.
Toh, Aminah tak sepenuhnya meninggalkan usahanya di dunia nyata. Tiap Ahad, ia masih menggelar dagangan di Taman Bungkul, Surabaya. Ia juga kerap diminta menyediakan jasa katering untuk berbagai acara di sekitar Surabaya. Begitu laris pecel dagangan perempuan lulusan sekolah menengah pertama ini, hingga ia bisa membeli sedan BMW keluaran 2013 sebagai wujud hasilnya.
Eva Milza di Sumatera Barat pun merasakan manfaat berdagang lewat jaringan Internet. Di lapak maya ini, dia membuka usaha rendang kering "Asese" sebagai oleh-oleh khas Kota Padang. Dengan modal awal Rp 1 juta pada 2003, Eva mulai membuat rendang kering dari daging sapi yang disuwir. Mulanya ia mengolah, lalu menitipkannya ke beberapa toko oleh-oleh di Padang.
Tapi perkenalannya dengan Internet membuat aliran rezekinya berubah cepat. Bersama dua saudarinya, ia mengembangkan sebuah situs belanja online, Rendangasese.com. Mereka juga menitipkan dagangan lewat toko online milik Indosat: Cipika.co.id. "Sekarang hampir 60 persen pesanan kami datang dari Jakarta," kata adik Eva, Darmafinti, saat dihubungi pada Rabu pekan lalu.
Dengan omzet di atas Rp 100 juta per bulan, dapur mereka makin kencang mengepul. Sementara dulu hanya ada rendang kering, kini keluarga asal Payakumbuh ini juga menyediakan rendang basah. Bukan hanya daging sapi, daging ayam, telur, tuna, dan kerang, jengkol pun dimasak dengan bumbu rendang. "Pas bulan puasa lalu, tiap hari kami memasak 150 kilogram daging untuk rendang," ujar Darmafinti.
Steve Stanley, Aminah, dan Eva Milza hanyalah sebagian contoh pengusaha kecil dan mikro yang sukses menangguk berkah dari kemajuan teknologi. Tapi jutaan rekan mereka yang lain masih belum menikmati manfaat koneksi Internet dan luasnya pasar yang bisa dijangkau melalui jaringan online. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina, dari sekitar 50 juta pengusaha kecil dan menengah, baru sekitar 75 ribu yang menggunakan Internet untuk mengembangkan usaha. "Jadi peluangnya masih sangat terbuka," ujarnya kepada Tempo.
Mengembangkan usaha di jagat maya memang perlu keterampilan khusus. Tak cukup punya produk layak jual, tapi juga harus melek teknologi. Apalagi jika ingin berdagang lewat situs atau aplikasi sendiri. Pemahaman terhadap teknologi informasi, desain grafis, hingga tetek-bengek pembayaran online harus dikuasai. Tapi ada cara lebih gampang: menumpang atau menitipkan dagangan di lapak digital milik orang. Konsekuensinya, mereka harus rela berbagi untung.
Di Bukalapak.com, misalnya, meski pada dasarnya tiap orang bisa mendaftar sebagai penjual secara gratis, agar dagangannya lebih "eksis" di antara ratusan ribu penjual lain, pelapak harus membayar dalam jumlah tertentu. Makin banyak uang yang dibayarkan, makin sering dagangan mereka ditampilkan. "Itulah yang menutup biaya operasional kami," kata Achmad Zaky, pendiri sekaligus CEO Bukalapak.
Perusahaan penyedia fasilitas jual-beli online biasanya mempunyai sistem tarif masing-masing. Selain memungut dalam jumlah tertentu untuk menjadi pedagang prioritas, ada yang meminta persenan jatah dari tiap transaksi, misalnya Blibli.com. Pasar online milik Grup Djarum ini menarik komisi 5-20 persen dari sekitar 4.000 penjual di pasar virtual mereka. "Kami juga menawarkan sistem promosi dan fasilitas penitipan barang di gudang kami," ujar CEO Blibli Kusumo Martanto, beberapa waktu lalu.
Selain paham aturan, yang penting dalam menjalankan usaha secara online adalah keterjangkauan. Steve Stanley, contohnya, saat ini mempekerjakan empat orang yang khusus bertugas menjawab pertanyaan dan keluhan konsumen lewat telepon, surat elektronik, dan berbagai fitur percakapan online lain. Sebelumnya, semua dikerjakan sendiri oleh Steve. "Dulu rasanya sampai hampir patah jari-jari ini," katanya.
Pingit Aria, Eko Widianto (batu), Artika Rachmi Farmita (surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo