MUNGKIN, karena lokasinya jauh di pedalaman Irian Jaya, Freeport Indonesia Incorporated (FII) jarang dimunculkan di media cetak. Padahal, inilah pertambangan PMA pionir, yang 22 tahun lalu (1967) merintis penambangan tembaga di ketinggian 4.000 meter di atas muka laut. Karena lokasi itu pula, Freeport memerlukan penambahan dua helikopter, yang pekan lalu dibelinya dari IPTN. Sebagai uang muka, FII menyerahkan 1,52 juta dolar AS, untuk pembelian dua unit helikopter NBELL-412 SP. Sisanya yang 6,08 juta dolar diserahkan tiga bulan kemudian. Bagi IPTN, transaksi ini boleh dibilang prestasi lain lagi, sesudah PM Malaysia Mahathir Mohammad membeli sebuah helikopternya beberapa bulan silam. Bagi pihak Freeport, heli yang berkapasitas 15 orang dan 181 kg barang itu akan lebih melancarkan gerak operasionalnya sehari-hari. PMA yang memulai investasinya dengan modal 75 juta dolar itu (1967) kini sudah mencapai 400 juta dolar. Itu sejalan dengan endapan tembaga yang ditemukannya di atas konsesi tanah seluas 100 kilometer persegi. Pada 1967, misalnya, FII menemukan tambang berkapasitas 32 juta ton. Ini deposit terbesar di dunia. Kemudian tahun 1976, endapan yang lebih besar ditemukan dengan kapasitas 45 juta ton. Jangan heran kalau kini produksi FII mencapai 24 ribu ton per hari, sedangkam tahun silam baru 12 ribu ton per hari. Dalam tiga tahun ditargetkan produksi itu meningkat lagi jadi 50 ribu ton per hari. Kebetulan, peningkatan produksi ini ditunjang oleh harga ekspor yang sedang membaik. Tahun lalu bijih tembaga di London Exchange Metal hanya dihargai 70 sen dolar per pon (0,45 kg), tapi pekan lalu naik menjadi 1,12 dolar AS. Tak terlalu berlebihan bila Dirjen Pertambangn Umum mengungkapkan bahwa tahun lalu ekspor dari pertambangan umum mencapai 1 milyar dolar. Bersamaan dengan itu, Dirut FII Usman Pamuntjak menyatakan bahwa FII akan meningkatkan pembelian barang dan jasa dari dalam negeri. Tahun 1984 nilai pembeiian itu baru Rp 2,16 milyar, tahun 1988 Rp 33,6 milyar, sedang tahun-tahun mendatang akan dinaikkan menjadi Rp 48 milyar per tahun. Nah, kecipratan, kan.BK & Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini