BANK Nasional 1930 (Banas) di Bukittinggi rupanya masih terper- angkap dalam keruwetan. Pekan silam sejumlah pengurusnya, yang belum genap setahun dilantik, secara serempak mengundurkan diri. Mereka adalah Preskom Drs. Harun Zain (bekas Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi), komisaris Prof. Dr. Awaluddin Djamin (mantan Kapolri yang kini juga menjabat Rektor PTIK), Komisaris Sidi Zakaria (Ketua Puskud Sumatera Barat). Turut meletakkan jabatan, Direktur Utama Lukman Didong dan Direktur Komersial Asrar Rasyad. Dua bankir profesional dan tokoh-tokoh Minang dari Jakarta yang semula merasa terpanggil untuk mengangkat derajat Banas ternyata hanya mewarisi kebobrokan dari pengurus lama. Mereka, misalnya menghadapi masalah kredit Rp 48 milyar yang macet sekitar 21% (TEMPO1 Juli 1989). Wajar bila program utama direksi yang dipimpin Lukman Didong adalah menagih utang-utang Banas. Yang pertama dikejar adalah orang dalam Banas, yang ternyata berutang sekitar Rp 2,7 milyar. Parahnya jaminan mereka tak bisa menutup segala tunggakan. Malah ada anggota pengurus yang mengambil kredit Rp 1,2 milyar, dengan jaminan yang nilainya cuma 48%. Persoalan itu tak bisa diselesaikan secara intern, bahkan sebaliknya, terbuka ke khalayak ramai. Juni lalu Isrned Boer, S.H. - komisaris yang masih aktif berutang Rp 91 juta - harus diseret ke meja hijau. Bekas Direktur Komersial Banas, Hasdan Denhas, dua pekan lalu juga dipanggil Pengadilan Negeri Bukittinggi, untuk mempertanggungjawabkan utang sekitar Rp 700 juta. Sementara itu, kebutuhan dana terus mendesak. Memang ada suntikan dana dari pemegang saham lama (Rp 1,5 milyar) dan dari 15 KUD (Rp 3 milyar). Tapi jumlah itu rupanya tak cukup. Janji Bank Indonesia untuk menyuntikkan Rp 7 milyar ternyata tak bisa direalisasikan. BI konon menganjurkan anggaran dasar diubah dulu, agar dibikin satu suara untuk satu lembar saham. Ini penting supaya investor besar tertarik untuk ikut menyuntikkan dana. Dewasa ini setiap pemegang saham di Banas dibatasi maksimal 6 suara. Ketentuan ini rupanya sengaja dibikin untuk mempertahankan asas kerakyatan di kalangan 3.200 pemegang saham Banas. Hal itu terbukti pada 12 Februari 1989, sewaktu diadakan RULPS (rapat umum luar biasa pemegang saham) untuk membahas usulan BI. Cukup mengejutkan bahwa sebagian pengurus Banas, antara lain Direktur Operasi Asri Gurun, menolak anjuran BI. "Yang penting, setiap anggota bisa bersuara sekali setahun dalam RULPS. Dividen tak penting bagi mereka. Mereka adalah pendiri Banas, dan tak mau dikhianati," tutur Asri kepada TEMPO. Alhasil, RULPS membawa perpecahan. Sementara itu, pihak BI dianggap tak mau menengahi dan bersikap tegas. Sejauh ini pun pihak BI belum berniat campur tangan. "Soalpengurus itu masalah intern Banas," kata juru bicara BI, Dahlan Sutalaksana. "Sejak Pakto, BI tak bisa lagi memberikan bantuan, kecuali membuka jendela diskonto (discount window). BI hanya bisa memberikan pinjaman likuiditas, tapi pinjamannya berjangka pendek," kata Dahlan lagi. Kini Lukman kembali ke Bank Duta, Asrar ke PT Uppindo. Sedangkan Banas untuk sementara diurus dewan komisaris Drs. Zainoen, Adjusar A. Said, Yusuf Suit, Ismed Boer, dan Direktur Operasi Asri Gurun. Menurut Asri Gurun, bank ini hendak diarahkan kembali ke khitah, sebagai bank koperasi lokal. Sementara itu, ada sejumlah bank dari pusat, di antaranya Bank Duta dan BII, siap-siap membuka cabang di sana. Para pemodal Banas memang belum ada yng menarik uangnya, tapi sebagian nasabah konon tak mau lagi memperpanjang deposito yahg jatuh tempo. Apakah Banas yang didirikan 10 saudagar sejak tahun 1930 itu bisa bertahan?Fachrul Rasyid (Padang), Bujono Darsono, MW (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini