ARTIS-artis indo nampaknya bakal semakin laris lagi. Pasalnya adalah SK Menpen yang mengatur soal penyiaran televisi swasta di Indonesia. Di sana disebut, ".... materi siaran niaga alias iklan harus diproduksi di dalam negeri dengan menggunakan latar belakang dan artis Indonesia...." Orang-orang biro iklan yang bakal memasang advertensi di RCTI atau TV swasta lainnya, tampaknya, beranggapan bahwa tampang "Barat" memang lebih disukai penonton. "Kewajiban menggunakan artis Indonesia itu tak soal, kan banyak artis indo," kata R. Herdiyanto, Media Director Indo Ad, sebuah biro iklan yang tergolong papan atas di Indonesia. Para biro iklan kini memang sibuk bersiap bukan saja untuk menyambut pencabutan dekoder RCTI yang bakal dimulai 24 Agustus ini, juga tumbuhnya TV-TV swasta lainnya. Buat mereka ini pasar baru karena orang berhitung penonton RCTI, misalnya, bakal berlipat tiga belas. Sebelumnya cuma sekitar 500 ribu, dihitung secara kasar, akan menjadi sekitar tujuh juta. Cukup layak jadi ajang bagi para produsen untuk memamerkan produk mereka. Belum lagi SCTV di Surabaya, TV-TV swasta lainnya, termasuk televisi pendidikan yang bahkan jangkauannya mencakup seluruh Indonesia. Jelas, isi dompet mulai dihitung kembali, agar penggunaan bisa lebih efektif. Indo Ad sebagai contoh. Empat bulan terakhir ini ia rata-rata menyetor Rp 300 juta untuk biaya iklannya di RCTI, tapi pada kuartal terakhir tahun ini diperkirakan akan naik tajam menjadi Rp 1,2 milyar. Masih ada Rp 800 juta lagi yang bakal dibagikannya buat jatah SCTV di Surabaya. Kelihatannya, orang memang tak sayang membuang banyak uang ke situ. Habis, siapa yang menyangsikan keampuhan media yang dianggap kotak ajaib itu. Cuma bau sedapnya masakan, atau wanginya parfum yang tak bisa dihantarkannya ke depan penonton. Soal gerak, warna, suara, semuanya dengan sama persis bisa langsung dikirim ke rumah-rumah pemirsa di daerah kumuh atau milik kaum gedongan. Tak heran jika tarif yang sekarang Rp 5,3 juta untuk setiap spot -- yang lamanya cuma tiga puluh detik -- tidak menjadi halangan. RCTI sendiri berharap sekitar Rp 64 milyar setahun dapat diraupnya dari iklan. Ini berarti ia menghendaki 40 persen dari dana iklan yang tersalur di Jakarta saja. Angka sebesar itu baru 60 persen dari seluruh jatah waktu iklan RCTI -- yang merupakan 20 persen saja dari seluruh jam siaran. Otomatis, jika dana itu mengalir ke RCTI, tentu ada pihak lain yang bakal tersedot jatahnya. David Sparks, seorang tenaga ahli Survey Research Indonesia (SRI), sebuah biro penelitian terkemuka, menyebut tiga media yang akan paling menderita dengan membanjirnya iklan di kotak ajaib itu: promosi perdagangan, billboard atau iklan luar ruang, dan majalah beroplah di bawah 50 ribu. Ini memang tak terelakkan. Sebab, menurut Sparks, selama ini surat kabar atau media cetak lainnya sering menerima iklan yang kurang cocok dengan karakternya. Misalnya saja iklan kosmetik, makanan dan minuman, juga iklan-iklan yang bertujuan membangun citra yang lebih bergengsi. "Iklan-iklan seperti inilah jang bakal lari ke televisi," tutur Sparks. Dari data yang ada, porsi iklan di televisi saat ini memang masih sangat kecil. Maklum, baru RCTI yang bisa menampungnya. Dengan dicabutnya dekoder, diperkirakan porsi ini akan melejit dari enam persen menjadi 16 persen dari dana iklan seluruh Indonesia. Sudah melejit pun jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, menurut data yang dihimpun Indo Ad, persentase itu terhitung masih mini. Di Singapura, misalnya, TV menyedot 35 persen, di Hong Kong malah 60% persen dari total iklan di sana. Diperkirakan, Indonesia akan mencapai taraf itu juga, yakni jika televisi swasta sudah mengudara di semua provinsi. Saat itu Herdiyanto memperkirakan sekitar 40 persen dari iklan akan terserap oleh televisi saja. Namun, orang koran atau majalah sebenarnya tak perlu gugup dahulu. Sebuah penelitian di Inggris menyebut adanya efek berganda alias multiplied effect. Maksudnya, iklan akan lebih efektif jika produk yang sama dilihat oleh konsumennya baik di TV maupun di media cetak. "Kalau cuma TV, ia tak bisa menganalisa karena terlalu cepat," kata Sparks. Ini dibenarkan oleh Aswan Soendojo, dari Matari Inc., sebuah biro iklan papan atas juga. Ia punya contoh bagus: iklan mobil mewah. Untuk membangun citra, TV memang pas. Tetapi tentunya konsumen perlu keterangan rinci tentang mobil itu. "Ini cuma bisa diiklankan lewat koran atau majalah," katanya. Hal yang sama juga berlaku untuk iklan perusahaan yang sedang go public. Persaingan yang sudah seru ini masih akan diperseru dengan terjunnya televisi pendidikan yang juga harus hidup dari iklan, Januari tahun depan. Cuma, sampai saat ini orang-orang iklan masih berjaga-jaga saja. Maklum, mereka belum punya informasi yang jelas tentang "iklan yang menunjang pendidikan" sebagaimana disebut-sebut sebagai syarat iklan di sana. "Kriterianya kita belum tahu," kata Lanny Ratulangi, Direktur Pelaksana Citra Lintas, sebuah biro iklan peringkat atas. Mengurus iklan di TV memang bukan semata soal bisnis. Sebab, semua orang tahu dampak negatifnya cukup besar. Merangsang nafsu berbelanja yang berlebihan, misalnya. Itu sebabnya dalam SK Menpen juga disebut jelas dan tegas, rokok dan minuman keras haram hukumnya untuk diiklankan. Repotnya, orang-orang dari bagian kreatif di biro iklan memang kreatif. "Sebut saja namanya, orang sudah tahu ini iklan bir atau rokok," kata Lanny. Maksudnya, banyak cara bisa dipakai untuk menyelundupkan iklan kedua barang itu ke layar televisi. Bambang Aji, Y.H>
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini