KELESUAN melanda ekonomi Muangthai sampai pertengahan dasawarsa ini. Negeri ini mengalami kesulitan pada neraca pembayaran, karena ekspor produk utamanya anjlok, sementara kebutuhan impor, termasuk mmyak, terus meningkat. Untuk melepaskan diri dari jerat kelesuan itu, Muangthai mengambil kiat baru, antara lain merangsang pertumbuhan. Dua sasaran utamanya adalah mengumpu!kan devisa lewat ekspor dan investasi asing. Kelesuan ekonomi pada periode sebelumnya, menurut Dr. Snoh Unokul, Sekretaris Jenderal Badan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional (NESDB), antara lain disebabkan ekspor tidak dianggap penting oleh kalangan dunia usaha. Pendapat ini masih beredar, bahkan sampai tahun 1986. Memang, sebelumnya produsen lebih banyak mengincar pasaran dalam negeri. Sebagian besar tidak peduli, malah ada yang mengecam langkah-langkah pemerintah mempromosikan ekspor. Gambaran ekonomi Muangthai pada awal 1980-an terlihat kurang mantap. Pertumbuhan ekonomi cenderung merosot, dari 6,3% tahun 1981 menjadi 3,2% tahun 1985. Laju inflasi dikekang ketat, sehingga pada kurun waktu itu dapat ditekan dari 12,7% menjadi 2,4%. Tapi kecilnya laju inflasi bisa juga merupakan indikasi kelesuan ekonomi. Tahun 1986, laju inflasi ditekan lagi menjadi 1,9%. Persis masa itu tanda-tanda cerahnya ekonomi mulai terbayang. Tahun itu pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 4%. Kebetulan memang ada faktorfaktor dari dalam dan luar, yang mendukung perbaikan ekonomi. Revaluasi mata uang asing, menurut para pengamat, cukup menguntungkan bagi peningkatan ekspor hasil industri dan investasi di Muangthai. Juga, jatuhnya harga minyak berperan besar dalam hal ini. Tahun 1984-1985 laju pertumbuhan ekspor sekitar 20%, tahun 1986 melonjak jadi 30%. Kebangkitan ekonomi Negeri Gajah Putih itu juga ditopang oleh banjir yen dan dolar yang diinvestasikan. Selama kuartal pertama 1987, misalnya, pada data dari Badan Penanaman Modal (Board of Investment - BOI), permohonan investasi yang disetujui mencapai hampir 35 milyar baht atau naik 360% dibandingkan periode sama uhun sebelumnya. Semester tahun pertama 1987 saja, jumlah permohonan investasi fasilitas BOI mencapai 399 buah. Nilainya sebesar 61 milyar baht (US$ 2,3 milyar). Dari sejumlah permohonan itu, yang dlsetuJui 200 proyek dengan nilai investasi US$ 1 milyar atau 25,8 milyar baht. Pada jajaran penanam modal, Jepang menempati urutan pertama. Nilai investasinya sekitar US$ 653,8 juta. Sebelumnya, Jepang cuma berani menanam 600 juta baht (US$ 23 juta) saja. Amerika Serikat menempati urutan kedua (US$ 207,6 juta) atau 5,4 milyar baht, sebelumnya cuma US$ 19,23 juta (500 juta baht). Disusul Taiwan dengan investasi US$ 176,92 juta (4,6 milyar baht) dari sebelumnya US$ 11,53 juta (300 juta baht). Membanjirnya penanam modal ke Muangthai, konon, karena kiat di bidang investasi memang benar-benar memikat. Investor Jepang bisa mengajukan permohonannya pada kantor BOI di Tokyo, dan dijamin akan mendapat jawaban paling lambat satu bulan. Jika sudah disetujui, visa dan izin kerja segera diperolehnya dalam jangka waktu cuma satu hari. Sungguh menggairahkan. Wakil PM Pong Sarasin pernah mencanangkan bahwa Muangthai punya masa depan yang cerah sebagai negara pengekspor. Kabarnya, masih ada 20 perusahaan raksasa Jepang yang kini siap masuk ke negeri itu untuk investasi. Dan mereka akan menikmati kemudahan di Muangthai, khususnya sebagai basis untuk mengekspor komoditi yang diproduksinya, terutama ke Jepang sendiri dan Amerika Serikat. Jenis komoditi yang sangat pasti mendatangkan untung untuk diekspor adalah komponen otomotif, mesin otomatis, kamera dan bagian-bagiannya, komputer, lemari es, televisi, air conditioners, video tape. Keidanren telah mencatat ada 70 butir produk yang dinilainya sangat potensial diproduksi dan kemudian diekspor dari Negeri Gajah Putih itu. Sebagai misal, Toyo Sash, perusahaan pembuat peralatan aluminium terbesar di Jepang. Toyo Sash, bekerja sama dengan Tostem Thai, membangun pabrik aluminium - terbesar kedua setelah Jepang - di Muangthai. Investasi tahap pertama hampir US$ 10 juta (250 juta baht). Seluruh hasil produksinya akan diekspor ke Jepang dan Hong Kong. Ekspor pada tahun pertama produksinya (tahun 1987) sekitar 3,8 milyar yen atau US$ 25 juta. Tahun kedua diharapkan bisa mengekspor 9,5 milyar yen lagi. Wajar kalau Dr. Virapong Ramangkura dalam wawancara dengan TEMPO menyatakan bahwa iklim berusaha sengaja dibuat sangat nyaman bagi penanam modal. Peabat tmggl pada Thai Development Research Institute (TDRI) dan penasihat ekonomi PM Prem Tinsulanonda itu secara blak-blakan mengakui bahwa Muangthai dengan cepat bisa menggantikan kedudukan Indonesia sebagai "ladang" tempat Jepang menanamkan uangnya. Ia menunjuk sejumlah pabrik perakitan sepeda motor, komponen elektronik, mobil, dan peralatan rumah tangga. "Upah tenaga kerja yang rendah dan keterkaitan dolar dengan baht akan sangat memikat Jepang menanamkan uangnya di sektor industri. Apalagi kedudukan yen sekarang sangat kuat dan tidak tersaingi," katanya. Rangsangan yang diberikan pemerintahan PM Prem Tinsulanonda, katanya, sangat menarik. Penanam modal asing bisa menikmati insentif seperti bebas pajak (tax holiday) lebih panjang dan pembebasan bea masuk beberapa komponen impor. Juga, pemerintahan Prem telah melancarkan deregulasi dengan menyederhanakan birokrasi di bidang investasi dan perdagangan luar negeri. Rata-rata tiap hari sekarang ini ada tiga perusahaan yang mengajukan permohonan untuk investasi. Dengan membanjirnya investasi di bidang industri, Muangthai secara tidak langsung melaksanakan restrukturisasi ekonomi. Tahun 1985, misalnya, ekspor tekstil-terutama pakaian jadi - telah melampaui andalan penghasil devisa "tradisional", yaitu beras. Dalam periode 1981-1986, ekspor beras menyumbang devisa 20-26 milyar baht. Sedang tekstil, yang pada 1981 cuma menyumbang 12,5 milyar baht, mulai 1985 melewati beras dengan 23,5 milyar baht, dan 1986 naik lagi menjadi 31,2 milyar baht (US$ 1,2 milyar), sementara beras cuma 20,3 milyar baht (US$ 780,7 juta). Lonjakan peningkatan penerimaan dari ekspor terjadi tahun 1986. Kenaikan mencapai 19,59% dengan nilai 231,3 milyar baht (US$ 8,9 milyar). Tahun lalu, nilai ekspor sekitar 254 milyar baht (US$ 10 milyar) atau naik hampir 10% dibanding tahun sebelumnya. Dengan lonjakan pertumbuhan ekspor itu, tahun ini pemerintahan Prem menargetkan bisa menyedot devisa dari ekspor sebesar 280,8 milyar baht (US$ 10,8 milyar). Akibat membanjirnya penanam modal, yang menjadikan Muangthai sebagai basis untuk ekspor, terlihat adanya kenaikan tajam di sektor ekspor produk industri. Porsi industri dalam pengumpulan devisa juga semakin meningkat. Misalnya tahun 1982, cuma 34% (US$ 2,1 milyar) dari total nilai ekspor US$ 6,14 milyar. Kemudian, 1986 sektor industri naik ke urutan atas, yaitu meliputi 43% (US$ 3,8 milyar) dari keseluruhan ekspor US$ 8,89 milyar. Dengan demikian, sejak 1986, industri telah berhasil menggeser kedudukan komoditi "primadona" dari sektor agraria. Tahun ini ditargetkan tetap menduduki nomor satu, yaitu US$ 5,06 milyar atau 46,8% dari target penerimaan eksor sebesar US$ 10,8 milyar. Produk industri apa pun, dengan upah buruh kurang dari US$ 3 sehari, kiranya akan untung diekspor dari Muangthai. April tahun lalu, misalnya, ChryslerKanada dan MCC Sittipol telah menandatangani perjanjian ekspor mobil sedan buatan Muangthai. Sebanyak 100.000 unit mobil penumpang Mitsubishi Champ II, 1.300 CC turbocharged engine akan dikapalkan ke Kanada untuk jangka waktu 5 tahun. Sementara itu, peran komoditi agraria turun ke jenjang kedua. Terhadap total nilai ekspor, sektor itu punya peran 43,45% pada 1982, lalu turun tinggal 32% pada tahun 1986. Bahkan tahun ini persentase komoditi pertanian cenderung turun lagi, yaitu 28% pada 1987 dan 25,14% pada 1988. Walau demikian, jika dilihat per komoditi, ekspor sektor agraria Muangthai tidak mencemaskan. Nilai devisa yang didapat tidak turun. Bahkan tetap meningkat walau tidak menakjubkan. Sebuah perusahaan nasional di bidang perunggasan - terutama makanan ayam - Charoen Pokphand berhasil menerobos pasaran di 12 negara. Dengan mempekerjakan 12.000 orang, perusahaan milik pengusaha Dhanin Chearavanont itu tahun lalu berhasil memasukkan US$ 1,7 milyar untuk penjualan produknya. Produk lain yang naik gengsi ialah ekspor kerajinan dan batu berharga. Tahun 1986 Muangthai menambah devisanya sebesar 29,2 milyar baht atau US$1 milyar lebih. Sedang batu perhiasan dan permata naik dari 8,5 juta baht (US$ 326.923) tahun 1985 menjadi 13,18 juta baht (US$ 506.923) tahun 1986. Melihat berbagai kemajuan itu, tak syak lagi Negeri Gajah Putih itu berdiri semakin kukuh dengan industri dan ekspor. "Muangthai diuntungkan oleh masa transisi yang sedang dialami negara NICs (Newly Industrializing Colntries) Asia lainnya," kata Dr. Virapong Ramangkura. Negara NICs lainnya seperti Korea Selatan dan Taiwan, katanya, kini lebih mengincar pasaran eskpor produk industri yang padat modal dan teknologi seperti mobil, elektronik, dan komputer. "Muangthai mengambil pasaran produk yang tidak terlalu mereka perebutkan," tambahnya. Misalnya pakaian jadi, makanan olahan, perhiasan dan permata, peralatan rumah tangga, alas kaki, sepatuolah raga, plastik, mainan anak, tepung ikan. Untuk mengaut lebih banyak devisa, Negeri Ratu Sirikit itu juga memasarkan wisata. Tahun lalu, Tourism Authority of Thailand (TAT) menargetkan 2,9 juta wisatawan datang melancong di negeri itu. Kenyataannya, tahun 1987 Muangthai dikunjungi tidak kurang dari 3,2 juta wisatawan. Diperkirakan, pelancong asing itu telah membelanjakan uangnya sekitar USX 1,8 milyar atau hampir dua kali lipat nilai ekspor berasnya. Tidak kurang penting ialah biarpun peran sektor pertanian menyusut, pendapatan petani tidak merosot. Nilai ekspor komoditi pertanian adalah antara 65 dan 75 milyar baht sejak awal dasawarsa ini. Sementara itu, sektor industri berkembang dari 54,4 sampai 115,3 mlyar baht. Artinya, daya beli masyarakat tetap meningkat, baik yang bekerja di sektor pertanian maupun buruh pabrik atau industri dan jasa. Fondasi yang kuat tampaknya sudah diletakkan, agar ekonomi Muangthai tumbuh pesat dan bisa mengorbitkan negeri itu menjadi NICs baru, mengejar Korea Selatan dan Taiwan. Lihat saja, tahun 1987 yang lalu Indonesia cuma mencatat laju pertumbuhan 3,5%, sementara Muangthai berpacu dengan 6%. Loncatan seperti ini sama sekali tak terbayangkan sebelumnya, apalagi Muangthai terkenal sebagai negeri tanpa minyak dan rawan kudeta, dengan kabinet yang hampir tiap tahun gonta-ganti, jatuh-bangun. Ternyata, keberhasilan ekonomi tidak selalu harus datang dari stabilitas politik, sebaliknya stabilitas politik tidak puia menjamin keberhasilan ekonomi. Ini satu catatan kecil yang mungkin perlu bagi pemikir dan perancang ekonomi di negeri ini, yang agaknya boleh terkesima karena pemerintah Muangthai kini - tanpa gembar-gembor - sedang mempersiapkan pemerataan penghasilan bagi rakyatnya yang 53,6 juta itu. Menurut Kosit Panpimras, Wakil Dirjen NESDB atau "Bappenas"-nya, tahun 1986 adalah akhir Repelita Kelima. Sasaran repelita memang pemerataan. "Tetapi sasaran itu meleset, karena didorong kebutuhan yang lebih mendesak, yaitu mengontrol neraca perdagangan, utang luar negeri, dan valuta asing," katanya. Lalu diambil langkah seperti tersebut di atas. Selanjutnya, ya, tinggal membagi "kue" untuk pemerataan. Termasuk, mungkin, memencarkan pertumbuhan mdustri yang sangat terpusat di sekitar Bangkok. A. Margana (Jakarta) dan Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini