KALAU dihitung-hitung, hampir lima tahun sudah, pemenntah mengguncang dunia usaha dengan jurus-jurus deregulasi. Gebrakan yang dimulai pada 1 Juni 1983 itu boleh dikata cenderung menapak ke semua sektor, mulal dan perbankan, investasl, perhubungan, sampai ke soal ekspor dan impor bahan baku. Seperangkat kebijaksanaan yang datang silih berganti banyak juga yang membuat pelaku ekonomi tersenyum senang - tentu seiring dengan senyum kecut yang terkena tebas. Tapi, ternyata, masih tetap saja banyak hal yang dipandang belum pas. Misalnya gebrakan awal, 1 Juni 1983. Ketika itu, pemerintah membolehkan semua bank bersaing sebebas-bebasnya, baik dalam pengumpulan dana maupun dalam memasarkannya. Artinya, setiap bank bebas menentukan bunga deposito dan bunga kredit sendiri. Para bankir pun mulai pasang kuda-kuda dengan tujuan menangguk dana sebanyak-banyaknya. Lihat saJa, bunga deposito, yang semula hanya 6% (untuk jangka satu bulan), langsung meloncat tiga kali lipat, menjadi 18%. Dan bunga kredit, yang ketika itu berkisar 15%-17%, naik jadi 24%, bahkan ada yang pasang 26%. Contoh Bank Central Asia. Sebelum deregulasi, BCA hanya mampu memasarkan dananya 34% dari total aktiva. Tapi setelah 1 Juni itu, setiap tahun dana yang tersalur semakin besar, begitu juga dana yang terkumpul. Berdasarkan laporan keuangannya, BCA kini telah berhasil menyalurkan 70% dari total aktivanya yang bernilai Rp 1,6 trilyun. Cabangnya pun kini 46, tersebar tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di mancanegara. Hanya saja soal pembukaan cabang ini masih mengganjal benak para bankir. "Deregulasi perbankan masih setengah hati," kata Abdulah Ali, Presdir BCA. Pasalnya, pemerintah menggariskan, cabang yang di buka di Pulau Jawa harus seimbang dengan jumlah cabang di luar Jawa. Menurut Abdulah Ali, batasan seperti itu sudah saatnya diubah, mengingat pertumbuhan bank semakin cepat. "Di samping syarat itu sangat memberatkan, perkembangan ekonomi setiap daerah itu berbeda-beda," ujarnya. Sehingga, kalau di Jawa dibutuhkan lima bank, di daerah mungkin cukup tiga saja. Begitu pula pembatasan cabang pembantu BI, yang hanya diizinkan ada satu capem untuk setiap cabang. Selain alasannya tidak jelas, "Regulasi itu membatasi ruang gerak, sehingga perkembangan bisnis perbankan sulit untuk mencapai pelosok-pelosok, yang sebenarnya membutuhkan pelayanan bank." Padahal, kalau saja bank ada di setiap penjuru, setiap gerak ekonomi di daerah akan mudah dimonitor. Dan hal ini, menurut Ali, sudah dilakukan di berbagai negara. Contohnya: Filipina. Pisang dari negeri Cory ini sudah bisa diekspor dalam volume yang sangat besar, karena bank-bank di sono menjangkau daerah-daerah terpencil. Hal lain yang juga membuat "iri" bank swasta, adanya ketentuan yang mengharuskan dana-dana pemerintah (BUMN) disimpan di bank-bank pemerintah juga. Dana pemerintah itu besar, mencapai 60% dari seluruh dana yang beredar. Sedangkan sisanya, yang 40%, diperebutkan tidak hanya oleh bank swasta, tapi juga bank pemerintah. "Ini 'kan memberatkan kami dalam bersaing. Padahal, profil bank swasta sekarang tidak lagi seperti dulu, kami sudah bisa dipercaya," tutur Ali. Apa kata bankir pemerintah? "Soal uang BUMN itu tergantung keputusan pemerintah. Kalau pemerintah bilang buka, ya berarti kami harus siap perang dengan bank-bank lain, he . . . he," kata Somala Wiria, Dirut BNI 1946, sambil terkekeh. Ia menganggap, keputusan itu bukan hanya karena bank pemerintah dianggap lebih menjamin dana yang disimpan. Tapi ada peran lain yang tak kalah penting yakni sebagai agen pembangunan. Karena bank-bank pemerintah ini berkewajiban memberikan kredit untuk golongan ekonomi lemah, seperti KIK, KMKP, juga kredit ekspor, dan kredit kelayakan. Itulah sebabnya, BNI kini punya 277 cabang yang tersebar, "Tidak hanya di tempat-tempat basah, tapi juga di beberapa daerah yang tidak ada perusahaannya sekalipun." Tentang deregulasi 1 Juni 83, Somala juga, seperti halnya Ali, bisa tertawa lebar. Sebab, banknya kini bisa bergerak bebas. Makanya, kini BNI lebih aktif melayani sektor retail, dan kredit konsumsi (kredit rumah dan mobil) daripada grosir. "Dulu kalau melihat bank swasta melayani kredit konsumsi, kami hanya gigit jari. Sebab, pasar di situ sangat menarik," ujar Somala. Kendati sebagai bankir pemerintah, pandangan Somala juga tak luput dari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di dunianya. Misalnya, isu tentang akan diberlakukannya pajak penghasilan sebesar 15% atas bunga deposito. Menurut dia, kalau aturan itu diterapkan, banyak orang yang akan berhitung cermat. Dan kalau suku bunga yang ditawarkan sudah tidak menarik lagi, maka orang akan lari pada instrumen lainnya. Maklum, selama ini siapa pun hanya tertarik pada deposito karena sifatnya yang "no risk and no tax". Padahal, di beberapa negara, menurut Somala, PPh atas bunga deposito ini sudah lazim berlaku. Di Jepang, misalnya, PPh berlaku untuk bunga yang nilainya tiga juta yen ke atas. Apa akibatnya kalau itu diberlakukan di Indonesia? "Mau tidak mau, bank harus mengadakan penyesuaian-penyesuaian," jawabnya. "Saya yakin, kalau pemerintah menurunkan paket kebijaksanaan baru, pasti sudah dipikirkan dampaknya pada sektor-sektor lain yang terkait," kata Somala. Itu pendapat yang tepat, tentu. Sebab, ketika deregulasi 1 Juni diturunkan, tampaknya, tak pernah terpikirkan akan ada bank yang megap-megap membayar deposito yang jatuh tempo hanya karena terlalu aktif menyebar dana. Yang tak kalah populer dengan deregulasi perbankan adalah Inpres nomor 4/1985. Ketika itu, hanya ada satu tekad di benak pemerintah: arus barang, keluar ataupun masuk, harus lancar. Maka, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah membabat peranan Bea & Cukai sebanyak mungkin. Ada beberapa jurus ampuh yang diturunkan ketika itu. Terhadap barang ekspor, dan impor, misalnya, tidak lagi dikenakan pemeriksaan pabean, karena tugas ini telah diambil alih sebelumnya oleh SGS. Dari sini saja, sudah banyak pengusaha yang terbahak, karena bisa menekan ongkos produksinya. Tapi kata seorang eksportir barang konsumen, masih ada pejabat yang belum export oriented. "Sehingga urusan yang mestinya selesai tiga hari sering molor sampai seminggu," ujarnya. Sedangkan di sektor perhubungan masih dalam Inpres - efesiensi yang diharapkan pun tercapai banyak, sebab dokumen-dokumen seperti Pemberitahuan Muat Barang Antarpulau (AVI), dan Surat Fiskal Antarpulau juga ditiadakan. Begitu pula biaya tambang, banyak berkurang dengan meniadakan sejumlah tarif seperti uang labuh, uang tunda, dan uang pandu. Hanya saja ada satu peraturan "yang terselip", yang sampai kini masih dirasakan mengganjal, yakni dihapuskannya Surat Keagenan Umum (SKU). Memang, dengan aturan ini setiap perusahaan pelayaran nasional bisa langsung berhubungan dengan pelayaran asing. Dengan kata lain, asing bisa menunjuk pelayaran nasional sebagai agennya. Tapi ini berarti, pelayaran nasional tak lagi dilindungi dari ancaman pelayaran asing. Beberapa kasus yang telah terjadi menunjukkan, kapal asing pun mampu bersaing untuk mengangkut muatan antarpulau. Itu terjadi tahun lalu. Namun, Roesmin Nurjadin, yang ketika itu menjadi menperhub, berkomentar, "Silakan memakai kapal mana saja, yang penting murah." Deregulasi di sektor perhubungan muncul lagi bulan lalu. Tak lama sebelum Kabinet Pembangunan IV demisioner, Menteri menurunkan tujuh jurus yang intinya, masih, untuk melancarkan arus muatan. Yang paling diuntungkan oleh keputusan ini adalah perusahaan pelayaran nasional, karena masa pensiun 153 kapal dari unsur Nusantara, dan ratusan lainnya dari unsur lokal, ditunda. Sektor angkutan laut, memang, paling sering digunjingkan oleh para pengusaha. PT Insan Bonafide (IB) misalnya. Eksportir karet terbesar di Kalimantan Selatan ini sering kena klaim karena barangnya terlambat di tujuan. "Pasalnya, Pelni yang melayani angkutan ke Surabaya tidak tetap jadwalnya," kata Kodrat Syukur, Wakil Direktur IB. Sedangkan alasan yang dilontarkan oleh perusahaan pelayaran masih tidak berubah: jalur itu termasuk yang sepi, alias tidak menguntungkan. Tapi angkutan hanya salah satu bahan pergunjingan dari sekian banyak persoalan di sektor ini. Semangat eksportir untuk mengekspor pun telah memusingkan produsen barang jadi (seperti ban) dalam mencari bahan baku. Apa jawab Kodrat? "Itu salah mereka maksudnya produsen barang jadi - sendiri, sebab selalu menginginkan karet yang high grade, yang volumenya hanya 20% dari produksi total," jawabnya. Selain itu, Kodrat juga mengakui, banyak eksportir seperti dia bekerja untuk bank. Maksudnya, berusaha mengekspor sebanyak mungkm agar bisa menikmati kredit ekspor - yang bunganya hanya 9% - lebih banyak lagi. Nikmat lain dari mengekspor menurut Kodrat ialah, "Kami mendapatkan uang cash, sementara kalau menjual di dalam negeri, mereka selalu meminta kredit tiga bulan." Tapi bagi para produsen barang jadi, tampaknya, tidak ada masalah lain kecuali pemberian fasilitas kredit eksport yang "salah tempat". Seharusnya, kata seorang produsen, fasilitas itu bisa dinikmati juga oleh petani karet, dan industri hilirnya. Hal ini tidak disangkal oleh Harry Tanugraha, tapi yang lebih disorot olehnya justru prosedur ekspornya sendiri. Sampai saat ini, setiap karet yang akan diekspor harus melalul pemeriksaan mutu yang dirasakan sangat berbelit. Setiap eksportir, sebelum mengirimkan barangnya, terlebih dahulu harus memiliki sertifikat dari Badan Pengambil Contoh, dan Badan Penguji Contoh, yang keduanya berada di bawah Deperdag. Prosedur itu, menurut Harry, sering menyebabkan ekspor terlambat, di samping munculnya biaya-biaya tidak terduga. "Padahal, kalau ada klaim dari pembeli, yang menanggung bukan Deperdag, tapi eksportir," ujarnya. Sektor kopi juga masih rumit. Sudah lebih dari empat tahun seorang eksportir kopi dari Uiungpandang menunggu izin ekspor kopi bubuknya, tapi tak juga kunjung keluar. Padahal, untuk kopi bnbuk yang dikemas, tidak ada peraturan kuota. Hanya sektor investasi perkebunan sudah mulai longgar. Hal ini dirasakan oleh Sharif Sutardjo, yang dua tahun lalu harus melalui berbagai departemen - makan waktu setahun lebih untuk izin investasi di perkebunan kelapa sawit. "Tapi ketika mengurus izin lahan perkebunan di Sul-Sel hanya perlu beberapa bulan. Kami sudah berpengalaman untuk bertindak gesit," ujarnya. Ulasan yang paling lugas muncul dari Dr. Anwar Nasution. Pertama-tama, ekonom itu menyorot sektor perhubungan laut. Menurut Anwar, persaingan yang terbuka antara pelayaran asing dan nasional itu bagus. Tapi aturan yang mengharuskan perusahaan-perusahaaan itu membeli kapal buatan PT PAL - sehingga biaya operasi menjadi lebih mahal membuat persaingan itu menjadi tidakfair. "Biarkan saja mereka membeli kapal dari luar negeri yang jauh lebih murah, dan efisien," begitu Anwar menggebu. Sedangkan di sektor ekspor, secara gamblang, ia mengungkapkan masih banyak pungutan yang bermuara pada ekonomi biaya tinggi. Ekspor pisang dari Sukabumi, misalnya. Mulai dari Lurah, Polantas, DLLAJR, sampai petugas pelabuhan, semua tanpa kecuali, gemar mengutip pungli. Akibatnya, pisang Sukabumi kalah bersaing dengan pisang Filipina. Begitu pula dalam soal pembagian kuota. Anwar melihat ketimpangan-ketimpangan yang sulit diperbaiki. "Banyak pengusaha yang dapat kuota bukan karena mampu mengekspor, tapi karena dekat dengan pejabatnya," katanya ceplas-ceplos. Sektor tekstil tidak ada bedanya. Bahkan ditambah dengan keharusan memakai kapas lokal. "Meskipun jumlahnya hanya 5%, lantaran kualitasnya jelek, akhirnya bisa merusakkan mutu secara keseluruhan," ia berkata seraya geleng-geleng kepala. Terakhir, kembali ke sektor perbankan. Kedudukan bank-bank pemerintah yang oligopolistis perlu dipertanyakan lagi. Maklum, dengan mendominasi dana pemenntah, berarti swasta tidak diberi kesempatan yang sama. "Padahal, sudah saatnya bank swasta turut berperan langsung dalam memberikan kredit kepada lapisan bawah," demikian pesan Anwar Nasution. Ini artinya, deregulasi harus ditambah lagi. Budi K., Budiono D., Bachtiar A., Rustam F., Agung F., Sarluhut N., dan Tri Budianto S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini