Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sang Bromo Batuk-Batuk

Gunung Bromo meletus, wisatawan datang ke kawasan Tengger untuk nonton semburan-semburan api. Penduduk sekitarnya tenang-tenang saja.

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASAP tebal masih mengepul dari kawah Gunung Bromo. Sejak awal bulan lalu gunung setinggi 2.329 meter, 40 km sebelah barat daya Probolinggo Jawa Timur ini meletus. Getarannya terasa sampai 5 km dari kawah. Bersamaan dengan letusan itu menyembul pula bunga-bunga api membakar hutan pinus di Pegunungan Batok yang berhadapan dengan Bromo. Kawah Bromo gampang dilongok wisatawan. Pemda Probolinggo membuat tangga beton dari kaki sampai ke puncak gunung. Sehari-hari, sebelum meletus, dari kawah selalu tercium bau belerang sementara kepulan asap keluar perlahan-lahan . Orang-orang Tengger biasa menuruni kawah sampai ke bibir sebuah lubang yang disebut sumuran. Terutama pada upacara adat Tengger yang disebut kasodo. Di bulan Maulud penduduk Tengger melemparkan sedekah dari puncak Bromo ke kawah yang lebarnya tak kurang dari 600 meter itu. 2 Juni lalu letusan besar terdengar. Hari-hari berikutnya, setiap 3 menit, hanya terdengar batuk-batuk kecil saja. Korban manusia, alhamdullilah, sampai akhir pekan lalu tidak ditemukan tim dokter yang dipersiapkan Bupati Probolinggo. Penduduk Desa Ngadisari, yang hanya dipisahkan oleh padang pasir sejauh 3 km dari Bromo, memang tampak tenang-tenang saja. Bromo meletus setelah hampir 20 tahun diam. Menurut catatan Bromo pernah meletus pada 1804, 1915, 1948 dan 1962. Dan selama ini tidak menimbulkan dongengan di kalangan orang Tengger. "Kami tidak punya kepercayaan tertentu. Yah, barangkali sudah waktunya meletus," kata Sudja'i, Ketua Adat Tengger. Satu hal yang bisa ditandai penduduk ialah biasanya letusan-letusan Bromo akan berhenti dengan sendirinya setelah jangka waktu 1 bulan. Hal ini juga dikatakan Ka Humas Probolinggo, Suhartono "26 Juni, misalnya, tinggal terdengar 2 letusan. Itu pun tidak berarti." Padahal hari-hari sebelumnya Bromo batuk setiap 3 menit. Semburan apinya juga tinggal setinggi 800 meter--sebelumnya mencapai 1.200 meter. Yang jelas meletusnya tidak terduga sama sekali. "Selama ini kami memang tidak mengawasinya," kata Suhartono. Karena itu bupati lantas mengusulkan agar Bromo sekarang diawasi. Sebab, selain penduduk sekitarnya cukup paciat, gunung ini juga sering dikunjungi wisatawan. Ngadisari saja dihuni 1.276 jiwa. Wisatawan asing yang datang sekitar 4.000 orang setahun. Belum lagi turis domestik . Dengan letusan kecilnya tersebut Bromo seolah-olah hendak nlengundang turis lebih banyak. Memang benar. Orang berbondong-bondong ke sana meski hanya diizinkan sampai di Hotel Bromo Permai. Hotel ini menghadap ke hamparan padang pasir yang membatasi sang gunung. Dari sini dapat disaksikan keindahan permainan gunung yang sedang agak murka. Umumnya penduduk sekitar gunung memang adem-ayem saja. Beberapa di antaranya malah mengendarai kuda di kawasan berbahaya. Dua-tiga orang wanita asyik mencari rumput tanpa menghiraukan letusan kecil di dekat mereka. Yang repot penduduk sebelah selatan gunung. Selama ini mereka biasa jualbeli hasil bumi ke Ngadisari, di sebelah utara, lewat padang pasir. Kini mereka harus jalan keliling, karena padang pasir ditutup sementara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus