Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Mohamad Fadhil Hasan menyebut kebijakan pemangkasan anggaran Presiden Prabowo Subianto akan berdampak secara makro, tetapi berpotensi membuat kementerian dan lembaga (K/L) menderita. Fadhil menyebut hal ini karena kebijakan tersebut sebetulnya tidak mengubah postur belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fadhil, yang merupakan salah satu pendiri INDEF, mengatakan efisiensi ini bukan berarti total APBN dikurangi. Sebagaimana diketahui, total belanja dalam APBN dipatok sebesar Rp 3.621,3 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 2.701,4 triliun dan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 919,9 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan, kebijakan efisiensi ini memungkinkan terjadinya peralihan anggaran dari program-program kementerian dan lembaga ke program prioritas pemerintahan Prabowo. “Yang ada sekarang itu adalah shifting dari program K/L, yang misalnya alat tulis, perjalanan dinas, kajian, seminar, itu digeser untuk program makan bergizi gratis dan pendidikan, tapi total APBN-nya kan tetap,” kata dia.
Oleh karena itu, ia menilai langkah pemangkasan anggaran justru akan lebih produktif secara ekonomi makro. Kendati demikian, Fadhil mengatakan kebijakan tersebut justru memberikan tantangan bagi K/L dan para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlibat. “Secara kelembagaan mungkin jadi penderitaan, seperti AC dikurangi, listrik nggak dipakai setelah jam 6 sore,” ujar dia.
Pemangkasan anggaran tersebut, kata dia, nantinya dialihkan untuk mendongkrak anggaran program pemerintah yang lebih diprioritaskan sehingga menimbulkan efek berganda bagi perekonomian. “Mungkin multiplier effect-nya akan lebih tinggi, di atas penderitaan para ASN,” kata dia sambil berkelakar.
Adapun Wakil Ketua Komisi XI DPR Mohamad Hekal mengungkap sejumlah kementerian mengeluhkan pemangkasan anggaran yang diperintahkan Presiden Prabowo Subianto melalui penerbitan Instruksi Presiden RI (Inpres).
Ia mengatakan banyak pihak yang khawatir soal penghematan anggaran ini. “Efisiensi ini memang terus banyak yang agak ngeri-ngeri, tapi yang komplain ke kami, sampai hari ini lebih banyak orang-orang kementerian yang mungkin pada bingung bagaimana kegiatannya mau dilaksanakan,” ucapnya dalam acara outlook ekonomi yang digelar di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, pada Rabu, 5 Februari 2025.
Sebagaimana diketahui, Prabowo telah memerintahkan kementerian/lembaga dan kepala daerah untuk melakukan efisiensi anggaran. Perintah berhemat itu dituangkan lewat Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Inpres tersebut diteken oleh Prabowo pada 22 Januari 2025.
Dalam instruksi tersebut, Prabowo meminta jajarannya untuk melakukan efisiensi atas anggaran belanja negara tahun anggaran 2025 sebesar Rp 306,6 triliun yang terdiri atas efisiensi anggaran belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 256,1 triliun, dan efisiensi anggaran transfer ke daerah sebesar Rp 50,5 triliun.
Menindaklanjuti instruksi Prabowo, Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian menerbitkan surat S-37/MK.02/2025 yang mengatur efisiensi belanja K/L untuk tahun anggaran 2025. Dalam lampiran surat tersebut, tercantum 16 item belanja yang perlu dipangkas anggarannya dengan persentase yang bervariasi, mulai dari 10 persen hingga 90 persen. Rinciannya, efisiensi anggaran pos belanja alat tulis kantor (ATK) sebesar 90 persen; kegiatan seremonial 56,9 persen; rapat, seminar, dan sejenisnya 45 persen; kajian dan analisis 51,5 persen; diklat dan bimtek 29 persen; serta honor output kegiatan dan jasa profesi 40 persen.
Kemudian, percetakan dan suvenir 75,9 persen; sewa gedung, kendaraan, peralatan 73,3 persen; lisensi aplikasi 21,6 persen; jasa konsultan 45,7 persen; bantuan pemerintah 16,7 persen; pemeliharaan dan perawatan 10,2 persen; perjalanan dinas 53,9 persen; peralatan dan mesin 28 persen; infrastruktur 34,3 persen; serta belanja lainnya 59,1 persen.