Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tekstil Impor untuk Siapa

KEBIJAKAN pemerintah membuka keran impor bahan baku tekstil menuai polemik.

29 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
<p>KEMENTERIAN Perdagangan tidak perlu tergesa-gesa menerapkan aturan baru impor bahan baku tekstil. Tanpa persiapan matang, keputusan membuka keran impor bisa mendorong pemerintah ke jurang yang lebih dalam. Pasokan bahan baku yang melimpah mengakibatkan industri hulu sulit bangkit dari keterpurukan. <p>Tak cuma membolehkan produsen, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 memungkinkan pemegang angka pengenal importir umum (API-U) mengimpor kain, benang, dan serat. Bahan baku ini bisa diperdagangkan kembali untuk memenuhi kebutuhan. Masalahnya, tak ada jaminan barang baku impor hanya dijual untuk pelaku usaha kecil dan menengah- seperti cita-cita pemerintah. <p>Kesulitan lain adalah memastikan jumlah impor bahan baku sesuai dengan kebutuhan. Data ini seharusnya menjadi pijakan sebelum melonggarkan ketentuan impor. Di lapangan, Kementerian Perindustrian sulit mendata kebutuhan industri tekstil skala kecil dan menengah. <p>Agar barang tidak merembes ke mana-mana, pemegang izin API-U sudah selayaknya menjalin kontrak dengan industri tekstil kecil dan menengah. Pelaku usaha hanya boleh mengambil bahan baku impor melalui pusat logistik berikat. Mekanisme ini diharapkan memudahkan pencatatan serta mencegah terjadinya impor borongan. <p>Pemerintah harus memelototi kinerja lembaga surveyor. Merekalah yang nantinya mengecek nama dan alamat importir, jenis dan jumlah barang, serta jadwal pengiriman dan tujuan barang. Surveyor mesti memverifikasi bahan baku impor sesuai dengan kebutuhan industri kecil dan menengah. Sayangnya, peraturan Menteri Perdagangan belum mengatur tegas hal ini. Padahal surveyor juga harus memastikan bahan baku yang didatangkan pemegang angka pengenal importir produsen (API-P) hanya digunakan sendiri dan tidak melebihi kapasitas produksi. <p>Sejumlah celah itu mesti diperhitungkan agar pelaksanaan di lapangan lebih matang dan tidak mengundang kecurigaan. Apalagi ketentuan impor ini lahir setelah Kementerian Keuangan melarang impor borongan. Asosiasi Pertekstilan Indonesia, salah satu motor lahirnya regulasi ini, berdalih keran impor harus dibuka karena industri kecil dan menengah kesulitan bahan baku. Faktanya, pelaku usaha konfeksi masih bisa menyerap bahan baku lokal. Kementerian Perindustrian tidak pernah menerima keluhan industri skala kecil dan menengah sejak impor borongan ditutup. <p>Keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani melarang impor borongan sudah tepat. Selama bertahun-tahun, praktik ini memberi celah masuknya barang tekstil selundupan. Tak cuma merugikan negara, impor gelondongan memukul industri tekstil dalam negeri. Total kerugian tahun lalu mencapai Rp 30 triliun. <p>Pelarangan impor borongan terbukti membantu produsen bahan baku lokal. Penjualan benang dan serat lokal di pasar dalam negeri melejit rata-rata 30 persen. Utilisasi pabrik naik 5-10 persen. Industri tenun dan rajut ikut bergairah. Tak aneh bila keputusan pemerintah membuka impor membuat pabrikan bahan baku ketar-ketir. <p>Kementerian Perdagangan harus menambal kelemahan regulasi. Salah satunya memastikan jumlah suplai dan permintaan seimbang. Usul Kementerian Perindustrian agar impor hanya diberikan untuk bahan baku yang belum diproduksi di dalam negeri- seperti benang sutra dan kapas- selayaknya disokong. <p>Pemerintah mesti mengawasi ketat kegiatan impor bahan baku tekstil. Jangan sampai keputusan membuka keran impor hanya menguntungkan sekelompok pedagang dan importir yang selama ini mengeruk rezeki dari impor borongan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBIJAKAN pemerintah membuka keran impor bahan baku tekstil menuai polemik. Para produsen tekstil menilai impor yang diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tersebut bakal memberatkan pabrikan di sektor hulu. "Dengan impor itu, industri hilir bakal memilih tekstil dari luar negeri," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wiraswasta, Kamis pekan lalu.

Menurut Redma, saat ini produsen dalam negeri tengah menikmati gurihnya bisnis benang di Indonesia. Lagi pula, kata dia, pemerintah tak perlu mengimpor bahan baku tekstil karena produksi kain dalam negeri sebanyak 2,7 ton masih cukup untuk kebutuhan domestik dan masih bisa diekspor. "Bahkan kami masih bisa mengekspor," ujarnya.

Persoalan tekstil impor bukan kali ini saja terjadi. Majalah Tempo edisi 11 Desember 1971 dalam tulisan berjudul "Impor Jang Merosot" memberitakan soal tidak diperlukannya tekstil impor untuk melindungi produsen tekstil dalam negeri. Tulisan itu juga mengulas soal maraknya penyelundupan tekstil akibat bea masuk tinggi.

Kala itu, Menteri Perindustrian M. Jusuf dalam sidang Dewan Stabilisasi melaporkan bahwa tekstil impor sudah tidak laku. Untuk beberapa waktu lamanya, tekstil impor tampaknya merupakan momok bagi para produsen dalam negeri. Sejumlah negara tampaknya juga ingin memukul industri tekstil lokal. Beberapa waktu lalu pernah disinyalir bahwa tekstil dari negara seperti Rusia, Republik Rakyat Tiongkok (Cina), Polandia, bahkan Pakistan masuk ke mari dengan harga dibanting (dumping). "Satu kesengajaan yang belum kami ketahui motifnya," kata Direktur Jenderal Tekstil Sjafiun.

Impor tekstil dari Cina rupanya dari pagi-pagi sudah cukup mengkhawatirkan. Direktur Keuangan PT KTSM- produsen tekstil lokal- T. Tomita memperkirakan impor dari Cina berjumlah 1 juta yard sebulan. "Kalau impor itu meningkat menjadi 40-50 juta yard setahun, industri tekstil di Indonesia akan terancam," ujarnya. Satu peringatan yang tak boleh diabaikan apalagi jika Indonesia rujuk dengan Cina. Bagaimanapun, kalau dua raksasa tekstil, Jepang dan Cina, sudah bertarung di sini, bagaimana ruang gerak tekstil "Made in Indonesia"?

Pemerintah memang mencoba memproteksi tekstil dalam negeri. Namun tarif bea masuk yang tinggi, yaitu 60-115 persen untuk tekstil lembaran dan 125-175 persen untuk konfeksi seperti handuk, kemeja, hingga kaus oblong dan celana dalam, ternyata bobol dengan penyelundupan. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Padang Sudirdjo mengatakan 70 persen penyelundupan sepanjang 1970 berupa tekstil. Dan ini, kata Sjafiun, sebanyak 80 juta meter dari 260 juta meter tekstil impor yang masuk.

Sekalipun impor selundupan tak lebih dari 1 persen jumlah tekstil yang dikonsumsi, teriakan produsen tekstil rupanya cukup keras terdengar dan merepotkan aparat birokrasi pemerintah. Persoalan tak akan muncul kalau Bea-Cukai tak kewalahan membasmi penyelundupan di Tanjung Priok. Lalu bagaimana aparatnya melawan penyelundup di tempat terpencil seperti Sabang dan Riau?

Padang Sudirdjo dan kawan-kawan juga sadar bahwa prestasinya akan dinilai dari jumlah yang disumbangkan pada realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Langkah-langkah perbaikan mulai dilaksanakan. Sekalipun agak kurang meyakinkan, banyak pejabat Bea-Cukai yang telah dipecat, diberhentikan, atau dimutasikan karena penyelewengan yang dilakukannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus