Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tentang si Mega

Impor bahan baku plastik tampaknya masih akan diurus pt mega eltra. penunjukan mega sebagai importir tunggal, ternyata, telah membuka matanya untuk melihat besarnya potensi pasar dan jalur distribusi. (eb)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMPOR bahan baku plastik tampaknya masih akan diurus PT Mega Eltra. Sebab badan usaha milik negara itulah yang mengatur semua permintaan impor. Dan, Mega biasanya mengontak Panca Holding di Hong Kong, untuk mengatur pembelian bahan itu langsung dari produsen, yang diharapkan bisa menekan harga belinya. Sebagai imbalannya kedua perusahaan itu mengutip uang jasa. Panca, kabarnya, memungut imbalan 2 % untuk tiap ton transaksi bahan baku plastik sampai di kapal. Sedangkan Mega disebut mengutip antara US$ 8 dan US$ 15. Dan beban komisi itu ternyata harus ditanggung konsumen lewat kenaikan harga antara 30% dan 40%. Mega, lantaran pungutan itu, kemudian dicap sejumlah pengusaha sebagai pencari rente. Karena mereka, nyatanya, masih ada yang harus bersusah payah merundingkan sendiri soal harga dengan produsen di luar negeri. R. Isa Danubrata, Presiden Direktur Mega Eltra, tentu saja menangkis kritik itu. Para penjual bahan baku plastik di luar negeri, menurut dia, setiap tahun dengan enaknya bisa menggaruk devisa US$ 300 juta dari sini, tanpa dikenai kewajiban apa-apa - bahkan imbal beli (counter trade) pun tidak. "Kalau melihat jumlah itu, saya kira, impor bahan baku plastik ini memang perlu diatur," katanya. Jauh sebelum melihat angka pemakaian devisa itu, Menteri Perdagangan Rachma Saleh, mulai 24 Oktober 1984, sudah mengatur tata niaganya, dengan menunjuk Pantja Niaga, Tjipta Niaga, dan Mega Eltra sebagai importir bahan baku plastik. Jenis bahan baku plastik yang mereka tangani perdagangannya adalah polypropylene (PP), polyethylene (PE), polystyrene (PS), dan polyvinychloride (PVC). Selain empat besar itu, mereka juga mengimpor acetate, acrylic, dan acrylonitrile styrene, misalnya. Di sini bahan baku plastik tadi ada yang kemudian diolah menjadi karung, tali plastik, pelapis kabel, kabinet televisi, sampai pita kaset. Pokoknya, pasar untuk bahan baku plastik itu sangat gemuk. Yang terbesar konsumsinya adalah jenis PP dan PE - yang untuk 1983 dan 1984, misalnva, tercatat 161 ribu ton dan 179 ribu ton (PP), dan 159 ribu ton dan 184 ribu ton. Menurut catatan Mega, selama 1984 dan 1986, bahan baku plastik yang diimpornya adalah 452 ribu ton. Kalau dari setiap ton itu Mega mengutip jasa US$ 10, sedikitnya uang yang dikantunginya sudah US$ 4,5 juta. Tapi yang dilihat Isa Danubrata, Presdir Mega, bukan jumlah uang jasa itu. Penunjukan Mega sebagai importir tunggal, ternyata, telah membuka matanya untuk melihat besarnya potensi pasar dan jalur distribusi bahan baku plastik itu. "Mengapa sampai sekarang kita tak memiliki pabrik bahan baku plastik?" katanya. "Mengapa industri yang strategis ini, yaitu Pusat Aromatik di Palembang, kena penjadwalan kembali?" Pusat Aromatik, di bulan Mei 1984, memang termasuk salah satu proyek raksasa yang kena penundaan, karena pembangunannya diduga banyak makan devisa. Presdir Isa punya gagasan menghidupkan kembali proyek ini - dengan pembayaan yang sepenuhnya ditanggung oleh hasil penjualannya (non-recourse financing). Dengan pembiayaan seperti itu, tak sedolar pun devisa pemerintah bakal terpakai. Untuk bagian yang menghasilkan PE dan PP saja, biayanya sekitar US$ 100 juta. Kalau bagian hulunya juga dihidupkan, US$ 550 juta. "Dalam tempo lima tahun investasi itu akan kembali," katanya. Menurut Isa, Sumitomo dan C. Itoh tertarik untuk ikut dalam proyek itu -meskipun Sumitomo sebenarnya sudah punya pabrik penghasil bahan baku plastik di Singapura. Mereka juga siap mencarikan pembiayaan dari lembaga keuangan. "Kami sendiri juga siap, jika pertamina sebagai pemasok bahan baku untuk PP dan PE meminta jaminan pasar," ujar Isa bersemangat. "Inilah satu salah hikmah dari monopoli: menghidupkan kembali proyek yang tak lagi disentuh karena kena penundaan." Jika proyek itu cepat terwujud, impor tentu tak perlu lagi dilakukan. Tapi mudah-mudahan, setelah pabrik itu berdiri, nanti tidak minta perlindungan pemerintah, seperti yang terjadi pada industri hulu lainnya. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus