KALANGAN yang tampak paling gembira dengan keluarnya Paket 15 Januari 1987 adalah para pengusaha tekstil. "Tindakan tersebut positif dan berani," kata Hussein Aminuddin, 55, koordinator Sekbertal (Sekretariat Bersama Industri Pemintalan). Maklum, dari 300 macam barang impor yang diatur kembali tarif bea masuknya sektor industri inilah yang paling banyak menerima kemudahan. Tak kurang dari 227 jenis. Dari jumlah itu, 135 jenis barang diubah pengaturan impornya dari sistem tata niaga yang terkendali ke sistem importir terdaftar atau importir produsen. Artinya, jika selama ini impor 135 komoditi itu dibatasi dengan kuota, atau hanya boleh diimpor oleh importir yang ditunjuk pemerintah, setelah 15 Januari ia boleh diimpor, baik oleh importir yang ditunjuk pemerintah maupun langsung oleh produsen yang memerlukannya. Perubahan lain juga diberlakukan terhadap impor 92 produk tekstil lainnya. Jika selama ini impornya diatur hanya boleh lewat importir terdaftar, kini dibebaskan dari ketentuan itu. Artinya, ia boleh diimpor oleh importir terdaftar atau juga oleh produsen yang memerlukan. Masuk dalam kategori yang dibebaskan ini ialah kapas. Komoditi bahan baku benang tenun ini, sejak awal tahun lalu, kerap jadi keluhan para produsen tekstil. Mereka keberatan karena impornya hanya boleh dilakukan lewat CBTI (Cerat Bina Tekstil Indonesia), yang memungut uang jasa. Penunjukan CBTI sebagai importir tunggal dimaksudkan agar para produsen di sini bisa memperoleh harga bagus, jika kelak membeli kapas dalam jumlah besar. Tapi belakangan, lewat Paket 25 Oktober 1986, ketentuan itu diubah. Tugas pengimporan dioperkan kepada 6 BUMN (badan usaha milik negara), di antaranya PT Tjipta Niaga, Sarinah, dan Mega Eltra. Alasannya, penunjukan itu ternyata menyebabkan kenaikan harga beli kapas impor jadi tak terkejar. Karena CBTI juga dikelola sesama pengusaha - dalam membagi keharusan menyerap kapas lokal - organisasi ini dianggap bertindak kurang adil. Untuk menghindari bertambahnya ongkos dari penyerapan kapas lokal itu, perusahaan milik pengurus hanya diwajibkan menyerap kapas itu dalam jumlah kecil. Tuduhan itu belum tentu benar, memang. Hanya, soal pungutan 1/16% dari harga kapas itulah yang bisa mereka buktikan, dan kemudian digugat untuk dihapuskan. Konflik kepentingan itu diakui ada oleh H. Fahmi Chatib, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan juga Wakil Presiden Pelaksana CBTI. Semua itu, katanya, justru dimaksudkan mendukung petani produsen kapas lokal. Dia tak melihat ada sesuatu yang perlu digugat dari peranan itu. "Kita harus melihatnya lebih jauh, karena ini menyangkut kepentingan jangka panjang," katanya. Tentang pungutan 1/16 % dari total harga- impor itu, Fahmi mengemukakan alasan, "Untuk kepentingan pengelolaan dan sewa kantor." Dalih ini rupanya tak diterima pemerintah. Maka, hak CBTI dialihkan kepada keenam persero pemerintah tadi. Tapi langkah ini pun, seperti disebut Hussein Aminuddin, tidak begitu menolong. Bisa dimengerti, karena persero tadi pun tentu tetap harus menarik keuntungan. Dan bagi para produsen tekstil, uang jasa itu tetap tak bisa dihindari. Karena alasan itu, Aminuddin, yang juga memimpin sebuah perusahaan pemintalan, jadi amat gembira menyambut deregulasi atas sejumlah bahan baku impor tekstil itu. Dia malah mengartikan keluarnya ketentuan baru itu sebagai "suatu tindakan banting setir". Sebab, untuk mendapatkan kapas misalnya, kendati tetap diharuskan membeli juga kapas lokal, mereka kini punya beberapa alternatif. Yaitu bisa mengimpor sendiri, atau lewat BUMN, di samping terbuka pula kemungkinan memakai jasa importir umum. Dengan adanya pilihan itu, persaingan sehat dalam menawarkan balik kapas Impor maupun kapas lokal diharapkan akan muncul. Kelihatannya akan ramai, mengingat kebutuhan kapas di sini setiap tahun ternyata cukup besar, sekitar 110.000 ton. Dari konsumsi sebesar itu, yang dapat dipenuhi kapas lokal barulah sekitar 5%. Sebelum impor diserahkan sepenuhnya pada CBTI, harga kedua produk ini memang berbeda, harga lokal lebih mahal dari impor. "Karena waktu itu harga di luar negeri memang sedang jatuh," kata Sularso, Dirjen Bina Usaha Koperasi. Sularso tak menyebut berapa besar perbedaan harga itu. Tapi diakuinya, ada mata rantai niaga yang panjang, yang menyebabkan harga kapas lokal lebih mahal. Apa persisnya, tak disebutkannya. Cuma, untuk sementara ini, petani kapas di sini boleh tenang, karena harga di luar negeri pelan-pelan mulai naik. Dalam dolar sebenarnya tak banyak berubah. Tapi dalam rupiah, karena devaluasi, pergerakannya terasa tajam. Kini, harga kapas impor (sekitar Rp 2.000 per kg) lebih tinggi dibanding kapas lokal yang bisa dibeli dengan Rp 1.900 per kg. Yang tampaknya kurang memiliki peluang bagus dengan deregulasi itu adalah para pembuat batik, meskipun mereka sebenarnya termasuk pihak yang hendak dilindungi. Para pembuat batik tulis, misalnya, yang sudah empat tahun terakhir ini tercelup resesi, tercatat 6.400 gulung tikar - dari 8.000 jumlah mereka. Sisanya, yang 1.600 itu, kini bernaung di bawah payung Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Di tengah suasana perbaikan itu, mereka tetap saja merasakan suasana lesu. Pasar di dalam dan di luar negeri rupanya tetap belum bergairah. "Di pasar dalam negeri kami berkelahi dengan perajin, sedang di luar negeri kami selalu tak berhasil memenuhi permintaan kualitas desain," ujar Dirjen Sularlso, yang juga Ketua GKBI. Karena alasan itulah, pemerintah masih merasa perlu memberikan perlindungan, terutama buat para penghasil batik tulis. Dan, seperti sudah pernah dilakukan sebelumnya, proteksi itu kemudian diberikan dalam bentuk pengendalian impor segala macam produk tekstil bermotif batik. Mekanismenya sederhana. Impor produk tekstil bermotif batik, seperti kemeja bermotif batik, hanya boleh dilakukan oleh importir tertunjuk. Tekstil dan produk-produknya, tak ayal merupakan salah satu komoditi yang cukup kontroversial. Pasar di dalam negeri harus diakui memang masih lembek. Tapi di luar negeri, yang terjadi sebaliknya. Lihat saja angka realisasi ekspor tekstil dan produk-produknya, yang sampai Juli lalu tercatat US$ 514 juta. Ada dugaan, realisasi ekspor sepanjang 1986 akan melampaui angka US$ 1 milyar - naik hampir dua kali lipat dari hasil ekspor tekstil tahun sebelumnya. Bagaimana tanggapan API dengan deregulasi di bidang tata niaga itu? "Saya setuju sekali dengan kebijaksanaan kali ini. Pemerintah konsekuen untuk kembali ke sistem tarif, dengan membebaskan tata niaga," ujar Frans Seda, Ketua Umum API. Kendati kali ini Frans Seda melontarkan pujian, bekas menteri keuangan dan perhubungan itu tetap masih belum melihat adanya suatu strategi mendasar dalam pembangunan industri nasional. Dia, misalnya, mempersoalkan tujuan meningkatkan daya saing, seperti dikemukakan Menteri Ekuin Ali Wardhana ketika mengumumkan kebijaksanaan deregulasi tarif bea masuk itu. "Mau sekadar meningkatkan daya saing atau membangun industri yang berkemampuan daya saing?" ia bertanya. Masalah ini, menurut dia, sudah merupakan persoalan strategis - bukan lagi sekadar masalah kebijaksanaan. Apalagi bila sudah menyangkut soal efisiensi dan produktivitas, yang berkaitan dengan banyak sisi. Misalnya soal menegakkan benteng proteksi - yang kini dilakukan dengan sistem tarif - seyogyanya harus selalu disesuaikan dengan memperhatikan konjungtur ekonomi dunia. Frans Seda lalu menyebut contoh keadaan sekarang. "Pada saat harga barang di luar negeri naik, sebaiknya kita tidak menaikkan tarif bea masuk, karena tindakan itu akan menjadikan harga bahan baku impor akan naik cukup tinggi. Sebaliknya, jika harga di luar negeri sedang turun, bagaimana sikap kita? Mau menaikkan bea masuk untuk melindungi konsumen atau tidak?" tanya Seda lagi pada Syatria Utama dari TEMPO. Seda lalu mengingatkan perlunya pemerintah meniaga stabilitas jenjang tarif bea masuk itu. Sebab, tinggi rendahnya bea masuk itu merupakan salah satu bahan pertimbangan investor untuk menanamkan uangnya di sini. "Kalau terlalu sering digoyang, investor bakal enggan menanam modalnya," tuturnya lebih jauh. Sebab, situasi itu akan menyulitkan mereka dalam menentukan besarnya biaya produksi suatu produk. Apa pun kekurangan deregulasi itu, kata Seda, banyak pengusaha tampak cukup berharap agar beleid baru di sektor industri tekstil ini akan makin melonggarkan napas usaha mereka. Agaknya, dalam semangat itu sejumlah pengusaha tekstil di Solo, tak lama kemudian, mengadakan pertemuan serius membahas ketentuan baru pemerintah tadi, di Hotel Kusuma Sahid, Solo. "Kebijaksanaan ini merupakan angin segar, dan kami menyambut baik," kata Tan Kim Sing Ketua API Cabang Solo. Bersama 38 anggota API, Tan kelihatan serius mengkaji kebijaksanaan baru pemerintah tadi. Hasilnya? "Kami sepakat untuk secara bersama-sama mendirikan pabrik pemintalan di Solo," kata Tan. Maklum, bahan baku berupa benang itu, belakangan ini, terasa makin sulit diperoleh di pasar bebas. Pintu, yang dulu agak terganjal, kini dibuka lebar buat tekstil. Sebuah ketentuan deregulasi sudah melapangkan jalan bagi kapas untuk leluasa masuk kemari. Bersamaan dengan itu, lebih dari 200 komponen bahan baku dan penolong lainnya juga sudah makin mudah diperoleh di sini. Dan kalau semua ketentuan bisa berjalan mulus, logikanya, ongkos produksi mesti turun. Dan para pengusaha tinggal bersaing merebut pasar. Meskipun, dalam praktek, hal itu tak mudah dilakukan. Marah Sakti, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini