Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terguncang Gelombang Panas

14 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serangan El Nino membuat produksi CPO susut. Pukulan lebih berat baru terasa tahun depan.

PANEN raya kelapa sawit dalam dua bulan terakhir tak cukup membuat Asmar Arsjad bersuka hati. Pemilik 1,2 hektare kebun di Deli Serdang, Sumatera Utara, ini malah mengeluh, bobot buah sawitnya rata-rata berkurang 2 kilogram per tandan. Hasil kebunnya, yang biasanya 10-12 kilogram per tandan, sejak pertengahan Juli lalu cuma sekitar 8 kilogram, mepet dengan batas minimal berat buah yang diterima pabrik pengolahan. "Bahkan ada tandan yang ditolak pabrik," kata Asmar saat ditemui di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Asmar terbang ke Ibu Kota untuk menghadiri diskusi tentang sawit yang diselenggarakan Dewan Minyak Sawit Indonesia di Hotel Borobudur. Di tempat berkumpulnya juragan kebun dan pabrik minyak sawit mentah (CPO) itu Asmar akhirnya paham, menyusutnya bobot tandan buah segarnya merupakan dampak dari El Nino.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan El Nino sebagai gejala penyimpangan atau anomali kondisi laut. Salah satunya meningkatnya suhu permukaan Samudra Pasifik sekitar ekuator, terutama bagian tengah dan timur. Peristiwa alam ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan iklim.

Badan Meteorologi memperkirakan El Nino akan menyerang wilayah Indonesia hingga November mendatang. Akibatnya, awal musim hujan 2015-2016 diprediksi bakal mundur, dan dampaknya masih akan terasa hingga Februari tahun depan.

Kepala Bidang Informasi Iklim BMKG Evi Lutviati menyatakan saat ini Oceanic Nino Index (ONI) sudah mencapai angka 2. "Ini sudah tinggi, tapi masih ada kemungkinan angkanya akan terus naik hingga akhir tahun ini," ujarnya.

Fenomena El Nino dengan indeks tertinggi 2,3 pernah melanda Indonesia pada 1997. Saat itu dampak yang ditimbulkannya terasa sekali terhadap produksi pangan. Panen beras tercatat turun 3,37 persen, hingga pemerintah harus mengimpor 6,07 juta ton-terbesar sepanjang sejarah-pada 1998. El Nino bahkan dianggap sebagai faktor yang secara signifikan memperparah krisis ekonomi di Tanah Air ketika itu. "Waktu itu produksi sawit juga turun sampai 15 persen," kata Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia, Rabu pekan lalu.

Berbeda dengan padi yang langsung terkena efeknya, dampak El Nino terhadap tanaman sawit baru terasa beberapa waktu kemudian. Derom menjelaskan, saat dilanda El Nino, calon buah sawit yang sudah terbentuk tak akan gugur. Tapi pertumbuhannya akan terganggu, sehingga tak mampu mencapai berat maksimal saat dipanen.

Ia memperkirakan pukulan lebih berat terhadap industri ini akan terasa tahun depan. Bukan cuma bobot tandan menyusut, jumlah buah yang terbentuk pun akan berkurang. Prediksi itu didasarkan atas pengalaman El Nino "kecil" yang menerjang Indonesia pada 2009. Saat itu produksi dan ekspor minyak sawit mentah (CPO) turun sekitar 3 persen pada 2010. Padahal, selama sepuluh tahun sebelumnya, volume produksi dan ekspor selalu tumbuh seiring dengan perluasan lahan.

Badan Meteorologi meramal El Nino tahun ini akan lebih dahsyat ketimbang 2009. Karena itu, Wakil Ketua Umum Bidang Agrobisnis dan Pangan di Kamar Dagang dan Industri, Franky O. Widjaja, memperkirakan produksi minyak sawit mentah tahun depan turun 15-18 persen. "Tahun depan produksi 27-28 juta," kata Franky saat ditemui di Menara Kadin, Senin pekan lalu.

Sedangkan tahun ini, berdasarkan perhitungan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi CPO kira-kira di angka 33 juta ton, meningkat 5 persen dibanding tahun lalu sebesar 31,5 juta ton. "Efek El Nino sudah diperhitungkan," kata Franky, yang juga CEO Golden Agri Resources.

Tampaknya pengusaha pasrah dan merasa tak banyak yang bisa dilakukan untuk melawan sabda alam. "Kami siap saja," ujar Franky. Tapi pemerintah punya ikhtiar lain. Potensi penurunan produksi akan diganjal dengan program peremajaan pohon. Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDB) Sawit, yang berada di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian, akan memulainya pada 15 ribu hektare kebun tahun ini. Tahun depan targetnya 100 ribu hektare. "Dananya ada," kata Direktur Utama BPDP Sawit Bayu Krisnamurthi, Kamis pekan lalu.

Anggaran BPDB Sawit berasal dari patungan pengusaha yang "dipungut" US$ 50 per metrik ton minyak sawit mentah yang diekspor. BPDB memanfaatkan dana ini untuk mensubsidi pencampuran 15 persen biodiesel. Sebagian uang dikembalikan ke industri dalam bentuk program peremajaan, riset, dan kampanye "putih" untuk mendukung industri sawit.

Persoalannya, program tersebut sifatnya jangka panjang. Tanam ulang pohon sawit menjanjikan produktivitas lebih tinggi, tapi hasilnya baru bisa dinikmati empat-lima tahun kemudian. Padahal petani seperti Asmar dan perusahaan sawit butuh program jangka pendek untuk menghadapi dampak El Nino yang sudah di depan mata.

Direktur Pengamanan Perdagangan Oke Nurwan malah menilai hikmah dari turunnya produksi sawit akan mengerek harga. "Bisa jadi, kalau pasokan berkurang, harga akan naik," ujarnya Rabu pekan lalu.

Sepanjang tahun ini, harga minyak sawit mentah di pasar dunia memang tak beranjak dari kisaran US$ 600 per metrik ton, di bawah batas harga penarikan bea keluar, yakni US$ 750 per metrik ton. Dengan begitu, pemerintah tak mendapat pemasukan apa pun atas ekspor komoditas ini.

Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan berpendapat beda. Ia yakin penurunan produksi akibat El Nino tidak akan serta-merta mendongkrak harga. Ada faktor lain, seperti harga minyak dunia yang rendah, yang turut menurunkan permintaan minyak nabati. Belum lagi pasokan minyak nabati dari bahan lain juga sedang bagus.

Yang pasti, penurunan produksi sawit ini akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Sebab, dari sekitar US$ 200 miliar nilai ekspor tahun lalu, hampir 10 persennya disumbang oleh minyak sawit mentah. "Seharusnya pemerintah bisa berbuat lebih banyak," kata Fadhil.

Kebijakan pemerintah juga dinanti pekebun kecil semacam Asmar. Ia berharap tandan buahnya gendut lagi dan harga kembali tinggi. Sebab, harga tandan buah segar sawit di Deli Serdang hanya Rp 700 per kilogram di tingkat petani. Jika setahun kebunnya menghasilkan hanya 10 ton per hektare, uang yang terhimpun hanya Rp 7 juta. "Itu hanya impas. Tidak untung, tidak rugi," katanya. Lalu apa yang mau dimakan dari sana?

Pingit Aria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus