Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat*
Ketidakpastian adalah musuh utama pelaku usaha, pembuat kebijakan, dan investor pasar keuangan. Celakanya, dua bulan terakhir ini justru ketidakjelasanlah yang merajalela.
Sumbernya adalah keputusan naik-tidaknya suku bunga The Federal Reserve atau The Fed yang tak menentu. Para pemimpin bank sentral Amerika Serikat ini masih berdebat sengit, apakah suku bunga akan naik pada pertemuan bulanan 17 September 2015. Mereka terbelah menjadi hawkish, yang agresif seperti elang, versus dovish, yang lebih kalem bak merpati.
Yang hawkish menilai suku bunga harus naik sebagai antisipasi dini memanasnya ekonomi Amerika. Mereka juga menganggap suku bunga nyaris nol dalam jangka terlalu lama-terakhir bunga The Fed naik pada 2006, ketika Twitter belum lahir-dapat membangkitkan nafsu berutang tak terkendali.
Kelompok hawkish belum lupa, krisis 2008 bermula dari suku bunga murah yang berkepanjangan hasil kebijakan Ben Bernanke. Walhasil, kredit rumah yang menggunung juga jatuh ke tangan mereka yang seharusnya tak pantas berutang karena tergolong kaum ninja (no income, no job, no asset). Ketika bunga akhirnya harus naik, macetlah kredit itu. Gunung utang itu runtuh menyeret ekonomi Amerika dan dunia ke dalam krisis.
Sedangkan kelompok dovish berargumen sebaliknya. Jika tergesa menaikkan suku bunga, ekonomi Amerika yang baru menggeliat bisa kembali meringkuk lesu. Jepang adalah contoh konkretnya, ketika mereka terburu-buru menaikkan bunga pada 2000 lantaran ekonomi membaik, meski inflasi belum cukup garang. Hasilnya, ekonomi Jepang malah terperangkap kelesuan nan berkepanjangan. Situasi serupa, kata kelompok dovish, tampak di Amerika sekarang ini.
Pendukung argumen dovish sungguh bukan main. Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia sudah berseru, The Fed jangan gegabah.
Yang paling merana adalah negara-negara berkembang, tentu termasuk Indonesia, yang nilai mata uangnya terhuyung-huyung oleh tarik-menarik hawkish vs dovish ini. Para petinggi bank sentral negara berkembang pun kompak memadukan suara agar The Fed segera memastikan keputusan.
Kekacauan inilah yang membuat paket deregulasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah seolah-olah terasa bagai cubitan kecil di kulit yang baal. Indeks harga saham gabungan hanya naik tipis sejak Rabu hingga Jumat. Sedangkan nilai rupiah terhadap dolar Amerika malah terus menurun, dari 14.244 pada Rabu, 9 September, saat paket deregulasi diumumkan, menjadi 14.306 pada Jumat, 11 September, di ujung pekan.
Kita memang hanya bisa pasrah menunggu hasil akhir perdebatan hawkish vs dovish di Amerika sana. Tapi ada pula versi lokal pergulatan ini yang lebih karut-marut. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli kini mendadak menjadi hawkish, agresif mengkritik kolega bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mempersoalkan program-program kabinet sendiri. Pelaku usaha dan investor di Indonesia terbelit ketidakpastian yang membingungkan. Kebijakan pemerintah sebetulnya mau ke mana?
Satu sinyal yang dapat kita pegang adalah satu butir di Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah. Ada satu rancangan Instruksi Presiden tentang Kebijakan Deregulasi Nasional yang tegas memberikan wewenang kepada Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution untuk menjadi komandan perumusan kebijakan dan pemantauan pelaksanaannya. Jika Presiden Joko Widodo betul menerbitkan inpres ini, setidaknya satu cekikan ketidakjelasan hawkish Jakarta akan terselesaikan. l
*) Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo