Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan di ruang kerja Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution itu sudah panas sejak awal. Dalam agenda, hari itu tim dari Boston Consulting Group (BCG) akan memaparkan kajian mereka setelah sepekan bekerja. Perusahaan ini ditunjuk pemerintah sebagai penilai atas proposal kereta berkecepatan tinggi (high speed train/ HST) rute Jakarta-Bandung, yang disampaikan Cina dan Jepang. Tapi para menteri yang ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk menangani rencana proyek ini datang ke kantor Darmin sudah dalam posisi masing-masing.
Mereka antara lain Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil. Pejabat yang turut hadir di sana bercerita, sejak mula Rizal dan Jonan menunjukkan sikap berseberangan dengan Rini, yang mereka anggap terlalu memihak proposal Cina.
"Di awal memang ada perdebatan. Tapi akhirnya kami satu suara," kata Darmin Nasution ketika ditemui di kantornya, Rabu pekan lalu.
Setelah BCG menyampaikan hasil kerjanya, Rini mengatakan bahwa proposal Cina lebih unggul dibanding Jepang. Tawaran Cina diklaim tak memerlukan duit dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Model bisnisnya pun disebut lebih bagus ketimbang pesaingnya. "Jepang tak menawarkan skema bisnis lain di luar kereta cepat. Tidak seperti Cina," sang pejabat yang ikut rapat menirukan ucapan Rini. Dalam proposalnya, Tiongkok menyodorkan pula rancangan pengembangan bisnis properti dan kawasan kota mandiri di sekitar stasiun kereta, yang berjumlah delapan.
Dengan nada bercanda, Jonan menimpali Rini. "Bu Rini jangan berpihak, dong," katanya, seperti ditirukan pejabat tadi. Rini menampik anggapan Jonan dan Rizal. Dia berkukuh hanya menyampaikan isi proposal Cina. "Menteri-menteri hanya memikirkan mana yang pas. Tapi saya tidak tahu hatinya orang," ujar Jonan sewaktu dijumpai di kantornya, Kamis pekan lalu. Soal posisinya yang berseberangan dengan Rini dan detail isi pertemuan, Jonan tak mau membeberkan.
Sinyal pemihakan Rini pada Cina sebenarnya tak hanya muncul di rapat tertutup itu. Sebagai wakil pemerintah, Rini memang lebih banyak berhubungan dengan Tiongkok dalam urusan ini. Dia pula yang menemani Duta Besar Cina Xie Feng pada saat konsorsium negeri itu menggelar pameran teknologi HST mereka di Senayan City, Jakarta, pertengahan Agustus lalu. Dan Rini tak menutupi preferensinya itu. "Saya kan pemegang saham BUMN. Jadi proposalnya dengan Cina," katanya.
Kamis pekan lalu, setelah mengikuti rapat kerja dengan Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat, Rini tak mau lagi menjawab pertanyaan tentang proyek kereta cepat, termasuk isi pertemuan di kantor Darmin itu. Staf Khusus Menteri BUMN Sahala Lumban Gaol, yang ikut mendampingi Rini ketika mendengarkan paparan BCG, juga enggan bercerita tentang panasnya perdebatan yang menyudutkan bosnya.
Pejabat lain yang turut serta di sana mengimbuhkan bukan hanya Jonan dan Rizal yang sangsi terhadap proposal Cina. Menteri Sofyan Djalil pun ragu terhadap klaim mereka yang mengatakan tidak ada jaminan dan uang negara yang bakal keluar dalam proyek kereta cepat. Sebab, langsung atau tidak, duit pemerintah nantinya akan mengalir melalui penyertaan modal negara ke konsorsium BUMN. "Menteri Bambang Brodjonegoro juga mempertanyakan permintaan insentif pajak pada proposal kedua negara," kata petinggi pemerintah itu.
Soal laju kereta yang hendak dibangun juga memicu silang pendapat di antara para menteri. Dalam hitungan Jonan, dengan lima stasiun di proposal Jepang dan delapan pada tawaran Cina, kecepatan kereta tak bakal mencapai level maksimal 350 kilometer per jam. "Masak, baru ngebut langsung berhenti?" ujarnya.
Jika demikian, Jakarta-Bandung yang cuma 150 kilometer tak memerlukan moda transportasi dengan kemampuan melaju secepat itu. Dengan alasan tersebut, Jonan kemudian menyarankan agar HST diganti dengan kereta medium, dengan kecepatan 200-250 kilometer per jam.
DALAM proposalnya, Tiongkok menawarkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung berbiaya US$ 5,585 miliar. Angka itu lebih murah ketimbang tawaran Jepang yang mencapai US$ 6,223 miliar. Cina menjamin proyek ini tak butuh anggaran pemerintah Indonesia, karena pekerjaan digarap oleh konsorsium BUMN Cina dan Indonesia, dengan porsi 40 : 60 persen. Cina juga tak minta jaminan pendapatan minimal bila nanti kereta beroperasi.
Cina masuk ke proyek ini setelah menandatangani nota kesepahaman (MOU) proyek dengan Menteri Rini di Beijing, akhir Maret lalu. "Pemerintah Indonesia mengajak kami membuat studi kelayakan proyek," ujar atase perekonomian dan bisnis Kedutaan Besar Cina di Indonesia, Wang Liping, kepada Tempo dua pekan lalu.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional sudah menggagas proyek ini sejak Oktober 2011. Kementerian lalu meminta bantuan teknis dari pemerintah Jepang. Kebetulan, pada April tahun itu, Kementerian Perhubungan juga menerbitkan Rencana Induk Perkeretaapian Nasional, yang memuat program kereta cepat Jakarta-Surabaya pada 2030.
Jepang kemudian memberi hibah US$ 500 ribu untuk studi awal, yang kelar pada Maret 2012. "Mereka mau bantu lagi. Lalu mulai pre-FS (feasibility study) pada April 2012," kata mantan Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah Swasta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bastary Indra Pandji.
Hibah kedua Jepang mengucur sebanyak US$ 500 ribu. Selanjutnya, studi penuh tahap pertama dijalankan pada Januari 2014, juga menggunakan hibah US$ 3,5 juta dari pemerintah Jepang. "Mereka mulai meminta komitmen serius, tapi kami tak bisa memberikan, karena ini tergantung pemerintah berikutnya," ujar Bastary. Pada tahun itu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memang sudah di ujung periode kedua.
Studi tahap pertama rampung pada Mei 2015. Proyek ditaksir berbiaya US$ 6,223 miliar. Jalurnya dirancang sepanjang 140 kilometer, membentang dari Dukuh Atas di Jakarta hingga ke Gedebage di Bandung.
Atase perekonomian dan pembangunan Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, Yohsiko Kijima, awal September lalu, mengatakan semula Jepang sebenarnya tak terlalu ngoyo. Apalagi ada pernyataan dari Presiden Jokowi bahwa kereta cepat Jakarta-Bandung masih terlalu dini.
Mereka baru kelabakan setelah melihat penandatanganan MOU antara Rini dan Menteri Pembangunan dan Reformasi Cina Xu Shaosi di Beijing. "Itu adalah diplomasi yang sangat serius," kata Kijima. Sejak itulah Jepang mulai gencar mendekati pemerintah Indonesia lagi. Salah satunya melalui Rizal Ramli, yang kemudian diangkat jadi Menteri Koordinator Kemaritiman, Agustus lalu. "Saya pikir inilah waktunya untuk mempertimbangkan ujung kerja sama kereta cepat dengan Indonesia," ujar Kijima.
Dalam rapat kabinet terbatas pada pertengahan Juli lalu, pemerintah akhirnya memutuskan menggelar sayembara: mengadu proposal kereta cepat Cina dan Jepang. Pemerintah menunjuk Boston Consulting untuk menilai proposal keduanya. Tapi keputusan terakhir tetap di tangan Presiden Joko Widodo.
SELESAI rapat berjam-jam, Darmin Nasution akhirnya keluar dari ruang pertemuan. Berdasarkan penilaian Boston Consulting, kata dia, proposal Jepang unggul dalam aspek rekam jejak teknologi. Sedangkan Cina menang di dampak sosial-ekonominya. Seorang pejabat yang ikut dalam rapat itu menyebutkan Boston sebenarnya memenangkan proposal Jepang. "Informasi studi Jepang lebih lengkap," ujarnya.
Para menteri memang tak hendak bikin keputusan sendiri. Mereka hanya akan melaporkan hasil penilaian konsultan, plus opsi ketiga: menolak kedua proposal karena ternyata sama-sama menggunakan duit negara. "Kami akan bersama-sama menghadap Presiden," kata Darmin.
Esoknya, tim enam menteri menghadap Jokowi di Istana-minus Rini, yang minta izin karena harus memenuhi panggilan Dewan Perwakilan Rakyat. Hari itu Rini memang punya jadwal rapat kerja membahas anggaran kementeriannya tahun 2016 dengan Komisi BUMN DPR. "Pak Darmin, saya rawan kalau berhadapan dengan DPR. Kalau saya tidak datang, nanti ada alasannya (untuk menyerang) lagi," kata Darmin menirukan alasan Rini tak ikut menghadap Jokowi.
Menjelang malam, Jokowi baru bicara. Ia memutuskan proyek kereta cepat tak boleh menggunakan duit negara. Proyek dilimpahkan ke Kementerian BUMN untuk menggarap pekerjaan itu, murni dengan skema business to business.
Namun saat itu nasib proposal Cina dan Jepang masih abu-abu. Kejelasan baru datang hampir tengah malam.
Jam menunjukkan pukul 21.00 ketika pintu lift di Kementerian Koordinator Perekonomian yang membawa Darmin turun terbuka. Sesampai dia di lobi, puluhan wartawan menghadangnya. "Lho, itu (proyek kereta cepat) Presiden yang akan mengumumkan," ujarnya. Tapi, karena didesak, Darmin akhirnya kembali naik ke ruangannya untuk menelepon Presiden.
Beberapa puluh menit kemudian, Darmin turun lagi dan menyampaikan sikap Jokowi: membatalkan rencana pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Alasannya, jarak trase yang hanya 150 kilometer dianggap tak layak ditempuh dengan kereta cepat. Jakarta-Bandung, kata Darmin, cukup dilayani dengan kereta berlaju 200-250 kilometer per jam.
Biaya proyek juga bisa dipangkas 30-40 persen. Jokowi, kata Darmin, meminta pembentukan tim khusus menyusun kerangka acuan tersebut. "Setelah itu, baik Jepang maupun Cina dipersilakan menyusun proposal baru."
Tapi, lagi-lagi, Jokowi justru membuat keputusannya kembali abu-abu. Saat meresmikan dimulainya proyek kereta ringan pada Rabu pekan lalu, Presiden menegaskan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tetap berjalan. Dia berharap kereta cepat itu bisa terintegrasi dengan kereta ringan.
Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia mengaku belum tahu soal kelanjutan proyek HST Jakarta-Bandung. Mereka mengakui pernyataan terbaru Jokowi itu cukup mengejutkan. "Jepang akan bereaksi dan menghormati panduan dari pemerintah Indonesia," kata Kijima lewat pesan pendek.
Sebaliknya, Cina kadung ragu. Ditemui pada Kamis pekan lalu, Wang Liping tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Pemerintah Indonesia mengandaikan negara ini sebagai gadis cantik. Cina dan Jepang adalah lelaki yang akan meminangnya. Tapi akhirnya orang tua si gadis bilang 'tidak' karena anak gadisnya dianggap belum cukup umur."
Khairul Anam, Ali Akhmad Noor Hidayat, Tri Artining Putri, Efri Ritonga
2011
November
Prastudi kelayakan kereta cepat Jakarta-Bandung dimulai dengan dana hibah dari Jepang senilai US$ 500 ribu.
2012
Februari
Prastudi kelayakan lanjutan dengan dana hibah US$ 500 ribu.
2014
Januari
Studi kelayakan tahap I mulai dilakukan dengan dana hibah dari Japan International Cooperation Agency (JICA) senilai US$ 3,5 juta.
2015
27 Maret
Menteri BUMN Rini Soemarno serta Menteri Pembangunan dan Reformasi Cina Xu Shaosi menandatangani nota kesepahaman kerja sama proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung di Beijing. Studi kelayakan Cina langsung dimulai dengan biaya US$ 5 juta.
April
JICA menyampaikan hasil studi kelayakan kepada Kementerian Koordinator Perekonomian.
Agustus
Xu Shaosi menyerahkan hasil studi kelayakan kepada Presiden Joko Widodo.
Juli-Agustus
Hiroto Izumi, penasihat khusus Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, menemui Presiden Joko Widodo.
26 Agustus
Izumi menyodorkan revisi proposal Jepang. Jaminan pendapatan minimal pemerintah diturunkan dari 100 persen menjadi 50 persen.
3 September
Presiden Joko Widodo menolak proposal kedua negara. Proyek boleh dilanjutkan asalkan tidak menggunakan dana APBN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo