Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terlalu Lama Menunggu di Tanjung Priok

Bea-Cukai dan pengelola pelabuhan saling tuding soal waktu tunggu kontainer impor yang makin panjang. Pengusaha menjerit karena ongkos logistik ikut membengkak.

14 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGGILAN telepon protes dari pelanggan pada Senin siang pekan lalu itu membuat kegelisahan Maryoto (bukan nama sebenarnya) memuncak. Sudah sepekan lebih importir dan distributor bahan baku keramik di Tangerang, Banten, ini kehabisan barang di gudangnya. Pasokan tersendat karena beberapa kontainer yang memuat bubuk alumina dari Prancis itu tertahan lebih lama dari biasanya di Pelabuhan Tanjung Priok.

"Pelanggan tak mau tahu masalah itu. Barang tak ada, produksi terpaksa terhenti, dan mereka pasti rugi. Sekarang kemarahannya dilempar ke kami," katanya mengeluh. "Padahal kami juga rugi karena tak bisa jualan dan forwarder minta tambahan biaya pengurusan barang serta sewa penampungan di pelabuhan."

Seperti halnya Maryoto, beberapa importir lain yang ditanya umumnya mengaku tak keberatan jika harus menambah ongkos untuk mempercepat keluarnya kontainer dari pelabuhan. "Dalam kondisi normal saja kami harus memberi tam­bahan ke petugas, apalagi kalau barang masuk jalur merah," ujar salah seorang karyawan perusahaan jasa forwarder. "Biaya itu sudah termasuk dalam tarif jasa yang kami tagihkan ke importir. Tapi, kalau situasinya seperti sekarang, setoran normal itu tak cukup lagi. Kami terpaksa minta tambah ongkos."

Situasi tak normal itu sudah berlangsung dalam beberapa pekan terakhir dan makin menjadi-jadi saat mendekati bulan puasa. Waktu tunggu sejak kontainer diturunkan dari kapal sampai bisa keluar dari pelabuhan atau yang biasa disebut dwelling time molor hingga 9 hari lebih, bahkan bisa 2 pekan, dari biasanya hanya 4-7 hari. "Sekarang rata-rata 8,7 hari," kata Ketua Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia Iskandar Zulkarnain.

"Jumlah impor meningkat dan biasa terjadi menjelang Ramadan," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi. Masalahnya, ia melanjutkan, peningkatan volume peti kemas yang masuk itu tak diimbangi dengan kecepatan proses di pelabuhan. "Urusan birokrasi yang lama membuat barang menumpuk dan tak kunjung bisa disalurkan."

Menanggapi keluhan para pengusaha itu, Komisi Ombudsman melakukan inspeksi mendadak ke Pelabuhan Tanjung Priok pada Jumat pekan lalu. Hasilnya mengecewakan. Selain tak efisien, Komisioner Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan Petrus Beda Peduli menyimpulkan ada praktek pungutan liar yang masih terjadi pada proses izin keluar-masuk peti kemas di pos-pos Bea dan Cukai.

"Di loket red line saja sudah semrawut dan tidak ada kepastian layanan," ucapnya. Tarif tidak dipampang di loket pelayanan, hanya disebut resminya Rp 100 ribu. Tapi pemohon (importir) bisa bayar Rp 300-400 ribu untuk mempercepat prosesnya. "Nomor antrean tidak menjamin untuk masuk ke loket. Siapa yang kasih duit, dia bisa mendahului."

Selain menemukan pungutan liar oleh sejumlah petugas, Ombudsman menemukan proses pemeriksaan fisik barang juga rawan pelanggaran. Petrus mempertanyakan pemeriksaan yang masih dilakukan dengan cara manual. Padahal, dari informasi yang didapatkan Petrus dari pihak PT Pelindo II, Bea-Cukai sudah memiliki alat pemindai untuk mempercepat proses pemeriksaan. Tapi, kata Petrus, pihak Bea dan Cukai berdalih penggunaan alat itu masih dalam tahap uji coba. "Apakah sengaja dibuat manual, kami tidak tahu. Mungkin didesain seperti itu agar ada pos-pos yang menghasilkan uang," ujarnya.

Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino mengakui dwelling time di Tanjung Priok secara keseluruhan bisa mencapai 9 hari. "Proses di Bea-Cukai saja rata-rata bisa 4,8 hari. Tahun lalu rata-rata 6 hari," katanya Rabu pekan lalu. Akibatnya, biaya logistik pasti meningkat dan beban ekonomi secara nasional akan makin tinggi. "Karena 65 persen ekspor-impor barang di luar tambang dan minyak/gas Indonesia melalui Tanjung Priok."

Biang keladi penyebab lamanya waktu tunggu itu antara lain karena besarnya jumlah kontainer yang dimasukkan ke jalur merah alias red line. "Ada 25 persen dari total peti kemas yang datang atau lima kali lebih banyak dibanding rata-rata yang ada di pelabuhan lain di dunia," Lino menjelaskan. Ia membantah anggapan bahwa panjangnya waktu tunggu itu akibat keterbatasan jumlah crane yang beroperasi di dermaga. "Tidak ada hubungannya, karena dwelling time dihitung sejak kontainer dibongkar dari kapal pengangkutnya."

Setiap peti kemas yang masuk ke pelabuhan dan dokumennya sesuai dengan isi kontainer akan masuk ke jalur hijau. Artinya, tak perlu dilakukan pengecekan ulang secara fisik. Sedangkan barang-barang dalam kontainer yang dokumentasinya diragukan atau dianggap masuk kategori barang yang memerlukan perlakuan khusus, seperti bahan kimia tertentu, akan masuk jalur merah. Dalam penampungan di jalur ini, kontainer akan diperiksa ulang dan baru dilepas jika tak ada temuan yang dianggap mencurigakan. Waktu rata-rata untuk satu kontainer bisa lolos dari jalur merah di Tanjung Priok bisa mencapai 17 hari.

Lino memberi contoh, pada 2012, Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok menerima dokumen pemberitahuan impor barang sebanyak 526.275 dokumen dengan nilai US$ 66,4 miliar. Jumlah kontainernya 1,69 juta unit, atau sekitar 141 ribu kontainer per bulan. Jika 25 persennya harus masuk jalur merah, sebanyak 35 ribu kontainer harus diperiksa satu per satu tiap bulan. "Kalau ini dikurangi, pasti pengaruhnya akan besar juga pada lamanya dwelling time."

Untuk memangkasnya, Lino menilai Bea dan Cukai semestinya tak perlu memeriksa satu per satu kontainer yang masuk jalur merah. "Katakanlah satu perusahaan punya 300 kontainer, semuanya di-scan, tapi pemeriksaan fisiknya cukup dengan sampling acak."

Namun, selain oleh masalah di Bea-Cukai, Lino mengatakan penumpukan kontainer di terminal pelabuhan turut diperparah oleh bandelnya pengusaha yang tak cepat mengambil barang mereka. Pada saat bersamaan, kapal dari luar terus menurunkan kontainer impor ke pelabuhan. "Ada 700 kontainer di Jakarta International Container Terminal dan 400 di Tempat Penampungan Kontainer Koja yang sudah lebih 30 hari tak diambil," ujarnya.

Akibatnya, rasio keterpakaian terminal impor sudah melebihi kapasitasnya, sehingga harus memakan jatah lapangan bagi terminal ekspor. Kalau tak cepat di­atasi, dalam waktu dekat pelabuhan tak akan bisa lagi melayani kapal yang masuk untuk bongkar-muat kontainer ekspor-impor.

Ketika mengunjungi Pelabuhan Tanjung Priok, Senin malam pekan lalu, Menteri Keuangan M. Chatib Basri melihat sendiri banyaknya kontainer yang terlalu lama menginap di terminal itu. Ia menyebutkan biaya mangkal yang kelewat murah mungkin memberi motivasi bagi para importir untuk menahan barang lebih lama di pelabuhan. "Bayangkan, bayar parkir mobil sekarang Rp 4.000 per jam, dikali 24 jam itu. Masak, biaya menginap kontainer di sini lebih murah? Akibatnya di sini jadi gudang. Sebab, ongkos sewa gudang di luar sana lebih mahal."

Chatib tak menyangkal kabar bahwa buruknya koordinasi otoritas pelabuhan dengan tempat pemeriksaan fisik terpadu yang dikelola masing-masing pihak ikut menghambat pergerakan barang. "Tidak bisa begini terus. Mau sampai kapan? Harus ada upaya menyelesaikan ini," ujarnya.

Dia mengatakan telah menugasi Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar berkantor di Kantor Pelayanan Utama Bea-Cukai Tanjung Priok selama dua kali dalam sepekan. "Ini akan coba kami selesaikan. Pak Mahendra seminggu dua kali akan stay di sini untuk mencari solusi. Intinya, yang kami mau bikin itu manajemen risiko dan pengawasan diperbaiki."

Di tengah macam-macam tudingan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono menegaskan tak ada lagi pungutan langsung yang dilakukan instansinya di pela­buhan. "Dulu memang ada penerimaan negara bukan pajak Bea-Cukai, tapi atas usulan pengguna jasa, sekarang sudah dihapus," katanya di Tanjung Priok, Senin pekan lalu. "Kami hanya pungut bea masuk dan pajak impor. Itu pun bayarnya tidak lewat Bea-Cukai."

Agung membantah jika anak buahnya disebut menarik pungutan liar seperti banyak diberitakan. "Mungkin, kalau ada yang membayar lebih, itu untuk hal lain. Di dalam pelabuhan ada banyak petugas, misalnya jasa forklift untuk memindahkan kontainer," Agung berkilah.

Saat ini di Tanjung Priok, ia melanjutkan, ada 21 operator terminal dan 39 perusahaan penyedia jasa tempat penyimpanan sementara yang memiliki 70 lokasi. "Dalam satu kawasan pabean ini ada banyak TPS (tempat penyimpanan sementara) dengan manajemen yang berbeda-beda. Idealnya memang satu pengelola saja."

Ia juga tak terima dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas macetnya arus barang impor dari pelabuh­an. "Sorotan beberapa waktu terakhir ini kami jadikan masukan untuk perbaikan. Tapi Bea-Cukai hanya satu dari 18 entitas yang ada di dalam pelabuhan," ujarnya.

Bea dan Cukai, menurut Agung, telah memperpanjang waktu operasional tempat pemeriksaan fisik hingga pukul 23.00 mulai Senin pekan lalu. Tapi, untuk itu, Bea-Cukai memerlukan dukungan, seperti operator forklift dan para importir pemilik barang, pada saat pemeriksaan.

"Sekarang kami sudah melayani sampai pukul 23.00. Pertanyaannya, importirnya siap apa tidak? Tadi saja pukul 19.00 lampu di Tempat Pemeriksaan Fisik Terpadu Graha Segara sudah tidak dinyalakan," katanya setelah mendampingi Chatib Basri menginspeksi pelabuhan.

Kepala Kantor Pelayanan Umum Bea dan Cukai Tanjung Priok B. Wijayanta menambahkan, masalah penumpukan kontainer kerap kali bertambah ruwet lantaran lamanya izin larangan atau pembatasan yang diterbitkan instansi lain. "Misalnya kemarin impor bahan kimia milik Unilever yang lama keluar karena harus mengurus izin dari Badan POM. Itu makan waktu 11-12 hari sendiri."

Melihat saling tuding itu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan meminta R.J. Lino tak surut menghadapi pihak-pihak yang menghambat kecepatan arus barang di pelabuhan dan menyebabkan nama Pelindo rusak. "Harus berotak. Kerasnya harus seperti Jonan (Ignasius Jonan, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia) itu."

Dahlan juga mengapresiasi langkah Kementerian Keuangan yang menempatkan Mahendra Siregar untuk mengawal upaya itu di Tanjung Priok dua kali sepekan. "Wakil Menteri Keuangan sudah obrak-abrik di sana. Itu bagus. Tapi kalau setiap hari lebih bagus," ujarnya. Ia juga berharap Bea dan Cukai tak hanya beroperasi sampai pukul 23.00, tapi 24 jam sehari dan 7 hari sepekan. "Ini zaman sudah modern. Sabtu-Minggu kantor bukalah. Libur kan bisa digilir."

Y. Tomi Aryanto, Pingit Aria, Arief Hari W., Ramadhani, Bernadette C.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus