Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pangeran Slebor di Rumah Phaedra

Saturday Acting Club mementaskan Cinta Phaedra karya Sarah Kane. Lebih banal dan penuh kekerasan.

14 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hipolitus: Kapan terakhir kali kau berhubungan seks?
Phaedra: Itu bukan pertanyaan yang pantas kau lontarkan kepada ibu tirimu.
Hipolitus: Oh. Jadi bukan Theseus. Jangan mengira dia tidak melakukannya.
Phaedra: Aku harap kau memanggilnya ayah.

Hipolitus (diperankan Jamal Abdul Nasir) melempar komentar-komentar itu sambil tetap duduk santai di kursi malasnya dan menonton televisi. Dia adalah pangeran, putra Raja Theseus (Rukman Rosadi), dan serba santai adalah gaya hidupnya. Saban hari dia hanya duduk sambil menonton televisi dan bermain mobil-mobilan atau bercinta dengan pengagumnya atau melakukan masturbasi di depan TV.

Phaedra (Lita Pauh Indrajaya), ibu tiri Hipolitus, jatuh cinta kepada pemuda kurus dan kecil itu. Perempuan yang tampil anggun dalam gaun malam putih dan sepatu putih berhak tinggi ini sudah telanjur "terbakar" berahinya oleh pemuda yang 20 tahun lebih muda darinya itu. Dia juga mengabaikan peringatan putrinya, Stropi (Eka Nusa Pertiwi), agar mencegah hubungan itu.

Cinta "terlarang" antara ibu dan anak tiri itu ditampilkan kelompok teater Saturday Acting Club dalam pentas Cinta Phaedra di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, ­Jumat-Sabtu dua pekan lalu. Kelompok teater dari Yogyakarta itu membawakan naskah terjemahan dari Phaedra's Love karya Sarah Kane, dramawan Inggris.

Lakon itu merupakan adaptasi modern atas Phaedra, drama klasik karya Seneca yang diangkat dari mitologi Yunani. Kane memindahkan setting cerita ke dunia masa kini dan menempatkan skandal rumah tangga bangsawan itu ke semacam dunia selebritas, yang dapat kita jumpai di berbagai sinetron atau opera sabun impor.

Phaedra mendesakkan cintanya kepada Hipolitus, tapi ditampik sang pangeran, sehingga dia bunuh diri dan meninggalkan surat yang menyatakan Hipolitus memerkosanya. Theseus, yang pergi meninggalkan Phaedra setelah malam pertama, baru saja pulang dan mendapati kenyataan yang membuatnya berang. Theseus pun membunuh Hipolitus, serta bahkan memerkosa dan membunuh Stropi, yang sedang menyamar dan hendak menyampaikan bahwa Hipolitus tidak memerkosa Phaedra.

Karya Seneca lebih halus dan menempatkan berbagai kekerasan yang terjadi di luar panggung (hanya muncul dalam dialog). Sedangkan karya Kane lebih banal dan banyak memasukkan kekerasan fisik. Ada adegan, misalnya, Phaedra melakukan fellatio terhadap Hipolitus, yang tampak ogah-ogahan sambil menonton televisi. Di lain adegan, kita menyaksikan Theseus memerkosa dan membunuh putrinya di tengah kerumunan orang yang marah terhadap Hipolitus.

Saturday Acting Club adalah kelompok teater yang sering mengangkat naskah realis, seperti The Queen and the Rebels dan Lithuania. Kali ini mereka memilih memperhalus lakon Kane. Berbagai adegan seks dan kekerasan mereka ubah jadi gerakan simbolis atau gerak pantomim, meski masih tertangkap jelas adegan apa yang mereka maksud. Tokoh polisi dan masyarakat hanya diwakili lewat suara-suara, sehingga ketika pembantaian terhadap Hipolitus terjadi, kita hanya melihat Theseus sendirian di panggung. Theseus bergerak seperti pemain pantomim yang berinteraksi dengan sejumlah orang yang tak tampak. Dalam gerak seperti pantomim pula Theseus menusuk dan memenggal kepala Hipolitus.

Pilihan strategi ini tampaknya sebagai kompromi terhadap penonton Indonesia. Namun, akibatnya, lakon Kane jadi kurang mengguncang. Adegan puncak drama ini sangatlah brutal: orang-orang menelanjangi Hipolitus dan memotong kelaminnya. Lalu potongan itu dibuang ke api unggun, yang kemudian dimainkan anak-anak. Setelah itu, barulah Theseus mencincang tubuh putranya tersebut. Tapi kita tak akan menyaksikan kebrutalan itu di sini.

Drama Kane sebetulnya lebih menekan pada penokohan, emosi, dan setting ketimbang plot. Jadi peran terbesar berada di tangan aktor. Dalam hal ini, Jamal Abdul Nasir cukup meyakinkan dalam mengembangkan karakter Hipolitus yang slebor. Sayangnya, pemain lain terkesan kurang kuat dan tampak tegang dalam membawakan dialognya. Hal ini berbeda dari pertunjukan mereka sebelumnya, seperti Lithuania, yang akting pemainnya tampak kuat dan merata.

Selain itu, set panggung mereka tampak terlalu sederhana, sehingga kurang mewakili seluruh ruang yang dibutuhkan di setiap adegan. Satu-satunya ruang yang jelas adalah ruang tempat Hipolitus menonton televisi. Sedangkan untuk ruang-ruang lain, penonton harus menebak-nebak sendiri.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus