Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersodok Proposal dari Tual

Megaproyek Blok Masela memasuki babak baru. Di tengah penyiapan tahap penyusunan desain dan rekayasa teknik proyek senilai Rp 280 triliun itu, kontraktor kedatangan pengusaha Tomy Winata, yang menawarkan pelabuhannya di Tual dijadikan fasilitas logistik. Disokong pejabat daerah, rencana baru ini dianggap berpotensi membuat biaya membengkak.

16 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tersodok Proposal dari Tual/Tempo/kendra paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MURAD Ismail mengubah agendanya pada Selasa, 5 November lalu. Gubernur Maluku itu meninggalkan Kota Ambon, terbang sekitar 617 kilometer ke arah tenggara menuju Kota Tual. Murad memilih menemani Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang hendak menengok pelabuhan perikanan PT Samudera Indo Sejahtera.

Hari mulai gelap ketika pesawat Murad dan Dwi tiba di Bandar Udara Karel Sadsuitubun, Langgur, Kabupaten Maluku Tenggara. Perlu waktu hampir satu jam perjalanan darat ke arah utara untuk menuju PT Samudera. Namun kunjungan Rabu petang itu sebentar saja, tak sampai 30 menit. “Sudah gelap, enggak kelihatan,” kata Dwi.

Iring-iringan kendaraan pengangkut rombongan—sekitar setengah kilometer panjangnya—kembali esok harinya. Tim SKK Migas langsung meninjau satu per satu fasilitas PT Samudera, dari dermaga hingga area di sekitar pelabuhan, juga kedalaman laut. Pangkalan milik Grup Artha Graha, kelompok usaha yang dibangun taipan Tomy Winata, tersebut sedang disiapkan sebagai calon lokasi basis logistik proyek gas Blok Masela.

Keberadaan basis logistik lazim dalam pekerjaan konstruksi. Kontraktor membutuhkannya sebagai tempat untuk menampung berbagai material hingga kru proyek. Namun munculnya opsi menjadikan dermaga Samudera Indo Sejahtera sebagai basis logistik pengembangan Masela ini membikin gaduh di lingkaran petinggi Inpex Masela Ltd, perusahaan minyak dan gas kontraktor Blok Masela.

Sumber Tempo yang mengikuti detail persiapan proyek Masela menganggap opsi itu tak masuk akal. Pelabuhan Samudera Indo Sejahtera terpisah hampir 500 kilometer dari lapangan Abadi, Blok Masela, di sebelah selatan. Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar, yang berjarak kurang dari 150 kilometer dari ladang gas Masela, dinilai lebih rasional. Selain lokasinya lebih dekat, Inpex tak perlu menyewa lahan lantaran di Saumlaki pula kilang gas alam cair (LNG) darat proye k gas Masela akan dibangun. “Opsi baru ini juga muncul tiba-tiba. Jadi tidak tahu apakah akan mempengaruhi work of scope dalam front-end engineering design (FEED) nanti,” ujarnya.

Inpex memang sedang bersiap menyusun desain dan rekayasa teknik (FEED) proyek Masela tahun depan. Tahap ini merupakan tindak lanjut pemerintah terhadap rencana pengembangan (POD) dengan skema darat (onshore) pada Juli lalu. Dengan skema baru, pengembangan ladang gas raksasa ini diperkirakan menelan investasi US$ 18-20 miliar atau sekitar Rp 280 triliun. FEED akan menentukan keputusan final investasi (FID) sebelum konstruksi dimulai pada 2022. “Inefisiensi akan menambah beban pemerintah karena itu akan masuk ke cost recovery,” tutur sumber Tempo tadi.

Kantor PT Samudera Indo Sejahtera milik Tomy Winata di Tual./Tempo/Retno Sulistyowati

PERTEMUAN dadakan digelar di kantor Inpex, Jalan KH Mas Mansyur, Jakarta Pusat, Sabtu siang, 14 September lalu. Pada akhir pekan itu, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto datang bersama anggota staf khusus yang juga mantan Wakil Kepala SKK Migas, Sukandar. Hadir pula Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Rapat di kantor Inpex itu membetot perhatian karena kehadiran Tomy Winata. Bos Grup Artha Graha tersebut datang bersama putranya, Adithya Prakarsa Winata. Dalam persamuhan akhir pekan itulah fasilitas di kompleks pelabuhan PT Samudera Indo Sejahtera dipresentasikan. “Agenda awalnya audiensi dengan Gubernur Maluku dan Gubernur NTT,” ucap sumber Tempo.

Gubernur Maluku Murad Ismail memang semestinya juga bergabung dalam rapat tersebut. Namun dia tak datang lantaran harus menghadiri rapat paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Maluku yang akan mengesahkan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2019.

Sejak awal 2018, pejabat dan tokoh masyarakat di kedua provinsi terus berpolemik di media mengenai hak partisipasi (participating interest) sebesar 10 persen dari Blok Masela. NTT merasa pantas mendapat jatah 5 persen. Adu klaim belakangan berlanjut pada era Gubernur Viktor.

Tempo menghubungi nomor pribadi Tomy Winata pada Sabtu, 16 November lalu. Seorang perempuan yang mengaku sebagai anggota staf Tomy bernama Vivi menjawab panggilan itu dan mengatakan bosnya sedang berkunjung ke hutan konservasi Tambling di Lampung. Ia menyatakan permintaan konfirmasi Tempo sudah disampaikan kepada Tomy melalui saluran komunikasi radio. “Namun sebaiknya pertanyaan soal Blok Masela langsung dicek saja ke pemerintah pusat,” kata Vivi.

Ditemui di sela kunjungan tim SKK Migas ke Tual, Adithya Prakarsa Winata membenarkan kabar kehadirannya dalam pertemuan di kantor Inpex yang juga diikuti- sang ayah. “Kami dipanggil, bagaimana bisa mendukung gubernur-gubernur (provinsi) di sekitarnya,” ujarnya.

Adithya dan timnya mengintil rombongan dalam kunjungan tim SKK Migas ke Maluku. Dia terbang dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menuju Ambon dengan pesawat sama. Agenda makan siang di kediaman Gubernur Murad, juga makan malam di restoran Apong, Ambon, tak luput dari kehadirannya.

Pria 31 tahun itu juga tampak paling sibuk menjelaskan berbagai fasilitas dermaga PT Samudera Indo Sejahtera di Tual kepada tamunya dari Jakarta dan Ambon. Ia menunjukkan kondisi beberapa kapal penangkap ikan, juga tanker pengangkut bahan bakar minyak, yang penuh karat. “Sudah beberapa tahun tidak beroperasi,” katanya.

Menempati lahan seluas 160 hektare, Samudera Indo Sejahtera dulu bernama PT Maritim Timur Jaya. Viktor Laiskodat pernah menjadi komisaris perusahaan tersebut. Dibangun Tomy dengan konsep kawasan industri perikanan terintegrasi, pangkalan ini dilengkapi fasilitas pengolahan ikan, pabrik es, juga pembangkit listrik. Semuanya masih berdiri, tapi kosong melompong bak mati suri.

Sedekade lalu, armada Maritim Timur Jaya menempatkan nama Tomy sebagai satu dari empat penguasa bisnis perikanan di Laut Arafura. Tiga lainnya adalah mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Husni Manggabarani, dengan Grup Mabiru yang bermarkas di Ambon; pengusaha Tex Suryawijaya lewat PT Pusaka Benjina Resources di Benjina, Maluku; dan pendiri Djajanti Group sekaligus obligor kakap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Burhan Urai, di Wanam, Papua. Pelaku usaha perikanan di wilayah timur Indonesia menyebut mereka “Raja Ampat”.

Seperti Maritim Timur Jaya, bisnis perikanan mereka meredup. Kerja sama dengan pengusaha perikanan asal Thailand dan Cina berantakan setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan menyetop dan mencabut perizinan untuk kapal asing pada 2015. Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Susi Pudjiastuti, hakulyakin ribuan kapal buatan luar negeri adalah biang masifnya praktik pencurian ikan di wilayah perairan timur dan barat Indonesia lantaran masih dikendalikan pemilik asli di negara asal kendati beroperasi di bawah badan usaha dalam negeri (majalah Tempo edisi 23-29 Juni 2014 dan 23 Februari-1 Maret 2015, “Kapal Siluman di Laut Nusantara” dan “Empat Raja Kapal Siluman”).

Gubernur Murad Ismail mengaku pernah menyarankan pelabuhan Samudera Indo Sejahtera di Tual ditinjau. “Kira-kira bisa enggak menjadi tempat transit,” ucapnya. Walau begitu, dia menolak jika saran tersebut dianggap sebagai usul agar dermaga milik Grup Artha Graha itu dijadikan basis logistik Blok Masela. “Ini tuh, kalau dipakai, saya enggak ada untung apa-apa.”

Adapun Gubernur Viktor bergegas masuk ke mobil dinasnya ketika dicegat Tempo seusai acara peresmian Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Provinsi NTT di gedung Museum Daerah Kupang, Kamis, 14 November lalu. “Saya no comment,” ujar Viktor menjawab singkat ketika disinggung soal Blok Masela.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto (depan, ketiga dari kiri), Gubernur Maluku Murad Ismail (berbaju batik merah, bertopi) di dermaga Tual/skkmigas.go.id

TUAL bukan satu-satunya opsi bagi rencana penyiapan basis logistik proyek Blok Masela. Sehari sebelum berkunjung ke dermaga PT Samudera Indo Sejahtera, tim SKK Migas juga mensurvei sejumlah lokasi di Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Ada dua fasilitas yang berdekatan di sana, yakni pelabuhan yang digunakan PT Pertamina (Persero) sebagai lokasi terminal penampung bahan bakar minyak dan Pelabuhan Saumlaki.

Sumber Tempo di Inpex mengungkapkan, konsep pengembangan Blok Masela memang pernah diisi rencana pengadaan basis logistik. Kala itu, megaproyek ini masih menggunakan skema LNG laut (off-shore). Keberadaan fasilitas penampung material proyek dan kru di darat diperlukan lantaran seluruh aktivitas proyek berfokus di fasilitas terapung di atas struktur sumur lapangan Abadi. Lahan di antara terminal bahan bakar minyak Pertamina dan Pelabuhan Saumlaki yang menghadap Teluk Saumlaki sempat diupayakan untuk dibeli.

Namun perubahan skema pengembangan Blok Masela menjadi LNG darat membatalkan rencana tersebut. Pengadaan lahan, apalagi penyewaan dermaga sebagai basis logistik, kata sumber tersebut, dinilai tak diperlukan lantaran area yang disiapkan untuk pembangunan kilang LNG darat dapat digunakan. “Untuk apa menyewa, apalagi jauh di Tual,” ujarnya.

Vice President Corporate Services Inpex Masela Nico Muhyiddin menyatakan perusahaannya sedang mempelajari lebih lanjut semua opsi fasilitas basis logistik sesuai dengan kebutuhan proyek LNG lapangan Abadi. Saat ini, dia menerangkan, Inpex sedang berfokus menyiapkan pekerjaan FEED.

Mendampingi tim SKK Migas, Bupati Kepulauan Tanimbar Petrus Fatlolon menyatakan harapannya pengembangan Blok Masela mengutamakan fasilitas yang tersedia di wilayahnya. Dia mengingatkan, kabupaten yang dipimpinnya merupakan daerah terdekat dengan sumur lapangan Abadi sehingga paling efisien dari segi biaya proyek.

Menurut Petrus, pemerintah daerah telah menyiapkan lahan sekitar 1.500 hektare- yang diminta SKK Migas untuk kebutuhan fasilitas darat Blok Masela. Pada akhir Oktober lalu, dia mengirimkan surat kepada para kepala desa dan camat agar memastikan tidak ada lagi jual-beli tanah di lokasi tersebut. Langkah ini diambil setelah Presiden Joko Widodo, dalam lawatannya mengunjungi korban gempa Ambon, berpesan kepada pemerintah daerah supaya memastikan tak ada masalah yang menghambat kegiatan Blok Masela. “Baik menyangkut lahan maupun masalah sosial, Presiden minta dipastikan tidak ada masalah,” kata Petrus. 

Masalah pembebasan lahan memang sempat menjadi isu utama proyek Masela. Setiap kali Inpex turun ke lapangan untuk mensurvei tanah, spekulan selalu menyusul memborong lahan di lokasi yang sama. Pada 2011, misalnya, Inpex mensurvei desa di Pulau Selaru. Tak lama kemudian, tanah di desa itu beralih ke sebuah perusahaan. Hal serupa terjadi ketika tim Inpex mensurvei beberapa lokasi di Saumlaki.

Dwi Soetjipto menegaskan, SKK Migas belum memutuskan opsi basis logistik Blok Masela. Termasuk soal adanya tawaran lokasi baru di Tual. Semua alternatif, dia menjelaskan, perlu dikaji tim SKK Migas dan kontraktor Blok Masela. “Kalau banyak pilihan, ya, harus tender,” tuturnya. SKK Migas, Dwi menambahkan, bersikap terbuka bagi siapa pun yang mempunyai kapabilitas untuk terlibat mendukung proyek ini. “Sepanjang dilakukan secara transparan.”

Dwi mengatakan survei ke sejumlah fasilitas yang potensial menopang proyek Masela perlu dilakukan. Dengan begitu, seluruh infrastruktur penunjang telah siap ketika proyek ini masuk tahap konstruksi. “Kalau enggak, nanti dadakan nyari-nyari,” ucap mantan Direktur Utama PT Pertamina ini.

Menurut dia, kecepatan penyelesaian proyek menjadi faktor krusial dalam pengembangan gas laut dalam Blok Masela. Makin cepat proyek rampung, biaya makin turun. Dwi menggambarkan, bila rampung setahun lebih cepat, proyek Masela akan berhemat US$ 300-400 juta. Begitu pula sebaliknya, jika pengerjaan molor. Pembengkakan dan penghematan biaya proyek inilah yang akan sangat menentukan bagi hasil (split) antara pemerintah dan kontraktor, yang kini dipatok 50 : 50.

Dalam kunjungan ke Saumlaki, Dwi dan timnya juga bertandang ke Desa Bomaki, Lermatang, serta Latdalam. Mereka menyusuri hutan dan lahan penuh tanaman liar yang kering untuk menjangkau bibir pantai. Kawasan itu direncanakan sebagai lokasi pembangunan kilang gas alam cair berkapasitas 9,5 juta ton. Salah satu area disiapkan sebagai lokasi penghubung kilang LNG darat tersebut dengan fasilitas produksi gas Blok Masela, 145 kilometer ke arah barat daya di tengah Laut Arafura.

Retno Sulistyowati, raymundus rikang,Johanes Seo (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus