Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saur Manuk Saham Daerah

Maluku dan Nusa Tenggara Timur sama-sama mengklaim berhak kebagian jatah dari 10 persen saham Blok Masela. Kedua daerah mengincar tambahan pendapatan dan efek berlipat dari megaproyek lapangan Abadi.

16 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pertemuan Bupati Tanimbar Petrus Fatlolon dengan Presiden Inpex Masela di Jakarta./Humas Pemkab Kepulauan Tanimbar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU topik selalu menyelip dalam setiap pembahasan proyek Blok Masela: hak partisipasi. Terakhir, Senin, 4 November lalu, masalah ini kembali dibicarakan ketika Gubernur Maluku Murad Ismail bertemu empat mata dengan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto.

Dwi ogah menjelaskan isi pertemuan tertutup di kantor Murad pagi itu. Sedangkan sahibulbait mengatakan telah mengutarakan sejumlah harapannya kepada Dwi mengenai Masela. “Kalau bisa, jauhi provinsi lain yang mengklaim bahwa mereka juga berhak atas participating interest 5 persen. Ini sangat sensitif,” kata Murad.

Provinsi yang dimaksud tak lain Nusa Tenggara Timur. Belakangan ini, pejabat daerah dan tokoh masyarakat di Maluku dan NTT kembali beradu klaim berhak mendapat alokasi dari pembagian saham sebesar 10 persen yang wajib dilepaskan kontraktor Blok Masela, yakni Inpex Masela Limited dan Shell Upstream Overseas Services Ltd.

Pernyataan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, Jumat, 25 Oktober lalu, kembali membakar kabar perebutan hak partisipasi, yang mencuat sejak tiga tahun lalu. Mantan Ketua Bidang Pertanian dan Maritim Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem tersebut mengklaim telah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kala itu, Ignasius Jonan, bahwa 10 persen yang akan diberikan kepada Maluku bakal dibagi dua dengan NTT. “Mulai 2025,” ucap Viktor seperti dikutip Kantor Berita Antara.

Viktor bahkan menyebutkan keuntungan yang akan diterima daerahnya dari proyek Masela diprediksi mencapai Rp 30 triliun. Dia menilai dana jumbo itu bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah infrastruktur di NTT. “Jalan, air, dan lainnya pasti akan beres karena kita memiliki lebih dari Rp 30 triliun di luar sumber pendapatan lain,” ujarnya ketika itu.

Mendadak sontak, adu klaim memuncak sebulan terakhir. Lokakarya yang digelar SKK Migas wilayah Papua dan Maluku di Hotel Santika Ambon, 31 Oktober lalu, bahkan nyaris tak membicarakan berbagai topik yang diagendakan. Acara itu dihadiri Wakil Gubernur Maluku Barnabas N. Orno dan sejumlah bupati di wilayah Maluku. Para pejabat daerah menghujani lokakarya dengan desakan mempertegas hak Maluku dan kabupaten di sekitar proyek Masela mendapat jatah kepemilikan 10 persen. “Kita harus tegaskan, participating interest tidak bisa dibagikan ke daerah lain. Kita akan melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat,” tutur Barnabas setelah membuka acara tersebut. “Boleh mereka meminta 5 persen, tapi jangan diambil miliknya Maluku.”

Bupati Kepulauan Tanimbar Petrus Fatlolon, yang juga menghadiri lokakarya tersebut, mengatakan Gubernur Murad telah mengagendakan pertemuan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada pertengahan November ini. Dia berharap Kepulauan Tanimbar ditetapkan sebagai daerah penghasil gas Masela. “Kalau sudah jadi, ada dua manfaatnya: dana bagi hasil dan participating interest,” kata Petrus kepada Tempo.

Adapun Viktor ogah menjelaskan klaim hak partisipasi 5 persen NTT ketika dicegat Tempo di Kupang, Kamis, 14 November lalu. “Itu urusan pemerintah pusat,” ucapnya.

 


 

“Kalau bisa, jauhi provinsi lain yang mengklaim bahwa mereka juga berhak atas participating interest 5 persen. Ini sangat sensitif,” kata Murad.

 


 

KABUPATEN Kepulauan Tanimbar di Maluku memang menjadi tuan rumah bagi proyek gas Masela. Kilang pengolah gas alam cair (LNG) hasil produksi lapangan Abadi akan dibangun di Saumlaki, ibu kota kabupaten, yang terletak di Pulau Yamdena. Fasilitas itu bakal terhubung dengan lapangan Abadi—sekitar 147 kilometer arah barat daya—lewat pipa bawah laut. Setidaknya 1.500 hektare lahan dibutuhkan untuk proyek ini.

Proyek ini makin populer di Saumlaki. “Blok Masela, Inpex!” Ben, warga Desa Latdalam, memekik ketika berpapasan dengan rombongan SKK Migas. Pria separuh baya itu berjalan beriringan dengan sejumlah warga yang baru pulang meladang. “Pokoknya kami dukung.”

Latdalam satu dari sejumlah desa yang digadang-gadang menjadi lokasi kilang darat Masela. Petrus Fatlolon, yang mendampingi tim SKK Migas dalam peninjauan lokasi tersebut, mengklaim masyarakatnya makin paham akan keuntungan dari proyek ini buat daerah, termasuk mengenai dana bagi hasil dan hak partisipasi.

Gubernur Viktor Laiskodat, yang baru terpilih dalam pemilihan kepala daerah 2018, bukan pencetus pembagian hak partisipasi Masela untuk NTT. Frans Lebu Raya, Gubernur NTT periode 2008-2018, telah mengkampanyekan hak 5 persen itu sejak era Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro. Saat itu, Frans juga sempat mengirimkan surat ke Istana Negara. “Tapi mandek,” kata Frans di Kupang, Sabtu, 16 November lalu. 

Dia menjelaskan, jarak antara Blok Masela dan pusat pemerintahan Maluku di Ambon hanya sekitar 600 kilometer, lebih pendek dibanding Kupang, yang terpaut 800 kilometer. Namun dia mengingatkan, lapangan Abadi di Laut Arafura berada di luar 12 mil laut wilayah kedua provinsi. “Jadi seharusnya dibagi ke dua wilayah ini,” ucapnya. “Ini menjadi kewenangan pemerintah pusat.”

Pasal 2 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Hak Partisipasi pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi mengatur kewajiban kontraktor menawarkan hak 10 persen kepada badan usaha milik daerah. Khusus untuk wilayah kerja yang pertama kali berproduksi dan berada di perairan lepas pantai di atas 12 mil laut, Kementerian Energi dapat menetapkan penawaran hak partisipasi tersebut kepada BUMD atau badan usaha milik negara.

Jatah 10 persen saham ini sebenarnya tak cuma-cuma. Pemerintah daerah lewat BUMD—atau perusahaan daerah hasil modal patungan provinsi dan kabupaten—harus menyetorkan modal senilai saham yang diraupnya. Pembayaran akan ditalangi kontraktor proyek, yang wajib dilunasi secara bertahap lewat pemangkasan bagi hasil.

Dengan skema itu, Petrus tetap berkeyakinan daerah akan meraup keuntungan besar. Dalam hitungannya, daerah penerima 10 persen hak partisipasi Blok Masela akan menerima tambahan pendapatan US$ 3,7 miliar atau senilai Rp 52 triliun selama masa produksi 2027-2055. Lebih dari itu, Petrus berharap keikutsertaan daerahnya dalam proyek Masela bisa sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di Tanimbar agar bisa memenuhi kebutuhan proyek tersebut. “Jangan sampai mereka nganggur,” ujarnya.   

Putri Adityowati, Retno Sulistyowati,

Johanes Seo (Kupang)

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus