Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menjelaskan penunjukan Thaksin Shinawatra sebagai anggota dewan penasihat di struktur kepengurusan Danantara. Menurut Prabowo, mantan Perdana Menteri Thailand itu memiliki jaringan dan pengalaman yang besar dalam bidang ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Dia punya jaringan besar dan pengalaman besar. Dia bersedia tanpa dibayar. Berkali-kali banyak tokoh yang mau membantu kita (Indonesia), mereka tak mau dibayar,” kata Prabowo, dikutip dari YouTube Narasi TV, Rabu, 9 April 2025. Najwa Shihab selaku pendiri kanal tersebut, sudah mengizinkan Tempo mengutipnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Prabowo menyadari bahwa nama Thaksin Shinawatra menjadi perbincangan hangat setelah muncul dalam kepengurusan Danantara. Namun Ketua Umum Partai Gerindra ini terkesan tak ambil pusing terhadap polemik yang menyasar nama Thaksin.
“Thaksin adalah tokoh politik yang dikudeta. Dia menang mandat berkali-kali dikudeta. Jadi berarti ada faktor, saya tidak mau terlibat dalam domestik politik itu,” ucap Prabowo.
Bahkan Prabowo menyebut Thaksin Shinawatra sama dengan dirinya. Sebab Prabowo sebelumnya sempat dituduh macam-macam, mulai dari ingin membunuh Presiden Soeharto, Presiden Habibie, hingga Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Banyak kasus seperti (Thaksin), ya termasuk diri saya, saya dituduh mengkudeta (dulu),” ujar Prabowo.
Prabowo juga menyebutkan struktur kepengurusan Danantara dibentuk tanpa campur tangan dirinya. Ia memastikan tidak menitipkan seorang tokoh pun untuk bergabung dan mengurus badan pengelola investasi tersebut. Semua nama yang masuk daftar pengurusnya merupakan rekomendasi dari Chief Executive Officer Danantara, Rosan Perkasa Roeslani.
Adapun Rosan telah mengumumkan secara resmi struktur kepengurusan Danantara itu pada Senin, 24 Maret lalu. Thaksin masuk dalam jajaran dewan penasihat bersama Raymond Thomas Dalio atau Ray Dalio, Helman Sitohang, Jeffrey Sachs, dan F. Chapman Taylor.
Thaksin Shinawatra lahir di Chiang Mai, Thailand pada 26 Juli 1949. Dia merupakan politikus sekaligus pengusaha yang menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand sejak 2001 hingga 2006. Thaksin dikenal karena kebijakan populisnya dan berdampak pada modernisasi ekonomi Thailand.
Selama Thaksin menjabat, pertumbuhan ekonomi serta peningkatan dalam fasilitas kesehatan dan pendidikan terjadi, tetapi dia juga tersangkut tuduhan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Berikut deretan kasus hukum yang pernah menyeret Thaksin Shinawatra.
1. Kasus Saham Shin Corp
Menurut laporan Bangkok Post, Thaksin Shinawatra pernah terjerat kasus kepemilikan saham di perusahaan keluarganya, Shin Corp. Ia dituduh mengizinkan calon pihak lain untuk memegang saham di Shin Corporation guna memperoleh keuntungan dari perusahaan yang menerima konsesi dari badan negara.
Namun, Thaksin melarikan diri saat proses persidangan berlangsung, menyebabkan kasusnya sempat ditunda. Setelah undang-undang organik mengenai prosedur pidana bagi pejabat politik disahkan—yang memungkinkan persidangan tetap berlanjut meskipun terdakwa tidak hadir—proses hukum terhadapnya kembali berjalan. Dalam kasus ini, Thaksin dinyatakan bersalah atas dua dakwaan dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara.
2. Kasus Pinjaman Exim Bank
Mahkamah Agung Thailand menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara secara in absentia kepada Thaksin Shinawatra atas kasus konflik kepentingan terkait pinjaman Bank Exim. Kasus ini melibatkan pemberian pinjaman sebesar 4 miliar baht kepada pemerintah Myanmar pada tahun 2004.
Dalam putusannya, pengadilan menyatakan bahwa Thaksin memiliki konflik kepentingan karena menginstruksikan Bank Exim untuk memberikan pinjaman dengan suku bunga di bawah biaya kepada pemerintah Myanmar. Dana tersebut kemudian digunakan pemerintah Myanmar untuk membeli produk dari Shin Satellite Plc, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh keluarganya.
Tuduhan ini pertama kali diajukan pada tahun 2008 oleh Komite Pengawasan Aset (ASC), sebuah badan yang dibentuk setelah kudeta militer tahun 2006 untuk menyelidiki berbagai kasus terkait pemerintahan Thaksin. ASC menuduh dana pinjaman tersebut kemudian digunakan oleh pemerintah Myanmar untuk membeli produk senilai 400 juta baht dari Shin Satellite.
3. Kasus Skema Lotere
Thaksin divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung Thailand karena secara ilegal meluncurkan skema lotere dua dan tiga digit antara tahun 2003 dan 2006. Ia dinyatakan bersalah oleh Divisi Kriminal untuk Pemegang Jabatan Politik karena melanggar Pasal 157 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan dalam kaitannya dengan kasus tersebut.
Skema ini berlangsung dari 1 Agustus 2003 hingga 16 September 2006 saat Thaksin menjabat sebagai perdana menteri. Ia termasuk di antara 47 terdakwa dalam kasus tersebut, yang mencakup menteri kabinet dan eksekutif Kantor Lotere Pemerintah (GLO) saat itu. Kasus ini menyebabkan kerugian negara sebesar 1,6 miliar bath.
4. Kasus Penyalahgunaan Kekuasaan
Pada Oktober 2008, Thaksin dijatuhi hukuman dua tahun penjara akibat konflik kepentingan terkait pembelian tanah oleh istrinya saat itu, Khunying Potjaman na Pombejra. Istrinya memenangkan lelang untuk membeli tanah milik negara yang terletak di pusat kota Bangkok pada tahun 2003, saat Thaksin masih menjabat sebagai perdana menteri. Meskipun telah divonis, Thaksin tidak menjalani hukumannya karena ia melarikan diri ke luar negeri dan menghindari hukuman selama lebih dari satu dekade.
5. Kasus Penghinaan Terhadap Raja Thailand
Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, menghadapi tuduhan penghinaan terhadap Kerajaan Thailand. Di negara tersebut, kritik terhadap kerajaan sangat dilarang berdasarkan hukum lese-majeste.
Thaksin diduga mencemarkan nama baik monarki dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Korea Selatan pada 21 Mei 2015. Dalam wawancara itu, ia menyatakan bahwa anggota dewan rahasia mendukung kudeta tahun 2014 yang menggulingkan pemerintahan adiknya, Yingluck Shinawatra.
Pihak kepolisian menilai pernyataan Thaksin dalam wawancara tersebut melanggar Pasal 112 KUHP, yang dikenal sebagai undang-undang lese-majeste, serta Undang-Undang Kejahatan Komputer.
Melynda Dwi Puspita, dan Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.