Dalam rakernas Hippi, Iman Taufik mengibarkan panji-panji pribumi. Katanya, perlu ada UU Antimonopoli & UU Perlindungan Pengusaha Kecil. Kerja sama antara pengusaha dan anak pejabat dianggap berbahaya. APA yang baru atau dibungkus kemasan baru, akhir-akhir ini? Untuk itu tersedia seikat jawaban. Di bidang poiitik masalah cekal diperdebatkan lagi -- tanpa hasil. Heboh cekal belum reda, tiba-tiba serombongan purnawirawan menyeberang ke PDI. Ini pun dianggap kejutan, padahal penyeberangan semacam itu dahulu pernah dilakukan oleh purnawirawan ke PPP. Dalam hal kebebasan pers, isu pencabutan SIUPP diungkit-ungkit lagi -dahulu oleh Menko Polkan Sudomo, kali ini oleh Wakil Ketua DPR Soekardi. Imbauan yang disuarakan Selasa pekan lalu ini didukung oleh Soerjadi, yang juga Wakil Ketua DPR. Namun, seperti biasa, segera dibantah oleh Menpen Harmoko. "Jika ada yang mengatakan lembaga SIUPP ini membatasi kebebasan pers, jalan pikiran itu tidak benar," tangkis Menpen. Sebelum isu SIUPP diramaikan oleh DPR, pengusaha Iman Taufik tiba-tiba mengibarkan isu pri dan nonpri. Ini dikemukakannya pada rapat kerja nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Pengusaha Putera Indonesia (Hippi), Senin pekan silam. Pada pembukaan rakernas yang dihadiri Mendagri Rudini itu, Ketua Umum Hippi Iman Taufik mengusulkan agar istilah "putera" pada Hippi diganti menjadi "pribumi". Ada apa? Apakah karena arus dana masih tersendat, hingga usaha anak pribumi yang serba lemah itu terancam gulung tikar, lalu nasib mereka harus segera diperjuangkan melalui panjipanji pribumi? Dalam pidatonya itu Iman Taufik, yang tokoh Kadin, juga mengatakan bahwa pengusaha nonpri tidak mau berbaur, bahwa pemerataan masih jauh dari kenyataan. Banyak pihak terperangah. Bukankah ini kemasan baru untuk cerita lama? Paling tidak, sejak pertengahan 1980-an, perkara pri dan nonpri tidak pernah disebut-sebut lagi dalam berbagai dialog ekonomi. Mendagri Rudini malah mengatakan, tidak akan mempermasalahkan nama himpunan -apakah pribumi atau putera Indonesia. "Yang penting melaksanakan program nyata," ucapnya. Tapi, isu yang mau diangkat Hippi itu tidaklah hanya soal kemasan. Tidak cuma sekadar ganti nama. Salah satu program nyata sudah diusulkan agar rakernas pertama ini membentuk tim penyusun RUU Perlindungan Usahawan Pribumi. Tanpa adanya proteksi di tengah meluasnya persaingan bebas dalam perekonomian nasional, pengusaha pribumi akan kian terdesak dan kolaps. Adapun Hippi ketika dibentuk pada 17 Agustus 1976 memang menyandang nama "Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia". Tapi pada musyawarah ke-2 Hippi, September 1984 di Medan, nama itu diganti menjadi "Himpunan Pengusaha Putera Indonesia". Sebelum ganti nama, dalam temu wicara Kadin di Jakarta, Maret 1984, Pangab (waktu itu Jenderal L.B. Moerdani) menegaskan, seyogianya tidak lagi menggunakan istilah pri dan nonpri karena merupakan "wujud sikap eksklusivisme dan memberi makna diskriminatif". Apa pun alasannya, kembali ke "pribumi" menurut Probosutedjo belum bisa diputuskan dalam rakernas Hippi. Alasannya: hal itu harus dibicarakan dalam satu musyawarah nasional. Probo juga menjelaskan bahwa penggunaan kata "putera" untuk menggantikan "pribumi" lebih ditujukan untuk menghapus kekhawatiran para pejabat akan perbedaan yang ada antara pribumi dan keturunan asing. Kini, kenyataan obyektif menunjukkan -semestinya disurvei -perbedaan itu semakin mencolok. Dan tidak sedikit usaha pribumi gulung tikar karena terdesak nonpri. Sedangkan, kalau dikutip ucapan Probo, dari dana perbankan yang beredar sebanyak Rp 90 trilyun, hanya Rp 5 trilyun yang diterima pengusaha pribumi. Namun tak jelas, dari mana angka itu diperoleh. Sementara itu, Iman Taufik melihat pula adanya kesenjangan sosial antara pengusaha nonpri dan pribumi. Katanya, mereka tidak mau berkumpul dengan pengusaha pribumi yang tergabung dalam Kadin. "Mereka berkumpul dalam kelompoknya sendiri, misalnya dalam Prasetiya Mulya. Dan mereka pun tidak pernah mengajak pengusaha pribumi untuk bekerja sama, kecuali pribumi yang memiliki power, misalnya anak pejabat. Ini berbahaya." Yang diharapkan Hippi, menurut Iman Taufik, adalah kerja sama murni antara pengusaha dan pengusaha. Hippi, sebagai organisasi yang berjasa besar menumbuhkan pengusaha lokal di banyak daerah (sekarang ada 27 DPD dan 250-an DPC), rupanya sudah lama berhasrat mengajak Pemerintah menata perekonomian secara lebih baik. Iman Taufik mengatakan, yang diharapkan Hippi sebenarnya sederhana saja. "Pertama, undang-undang antimonopoli. Untuk mengatur agar tidak ada pengusaha yang memonopoli suatu produk. Kedua, undang-undang yang melindungi pengusaha kecil." Kedua hal itu sangat penting dan mendesak sehingga, menurut Iman, perlu didukung oleh langkah-langkah kongkret dari Pemerintah, terutama di lingkungan pejabat perbankan dan pejabat lain yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. "Mereka jangan memikirkan diri sendiri, " kata Iman, "kendati kerja sama dengan keturunan Cina lebih aman." Pernyataan Hippi itu rupanya terdengar bagaikan ingar-bingar tak menentu di telinga sebagian orang. Tapi, "Teriakan itu bersumber dari hati nurani masyarakat luas," ujar pengusaha tekstil Aminuddin dengan tandas. Aminuddin menghendaki agar Pemerintah turun tangan untuk membuat perencanaan lebih baik, untuk mengurangi kesenjangan itu. Kalau perlu, tugas perencanaan diserahkan ke Bappenas. "Tugas Bappenas harus lebih luas dari sekadar menyusun DIP," katanya. Ketika ditanya tentang kesenjangan antara pri dan nonpri, Kwik Kian Gie mencetuskan jawaban telak. "Kesenjangan bisa diatasi dengan menegakkan demokrasi ekonomi," katanya. Menurut Kwik, untuk itu perlu penjabaran, misalnya upaya menegakkan keadilan dalam praktek-praktek usaha yang baik dan wajar, bukannya membentuk kartel atau menggencet yang lain. Sebagai contoh, UU Antitrust di AS. Sejauh yang menyangkut pembauran, dari Hippi menurut Iman Taufik, sudah ada pendekatan dengan pengusaha nonpri. Hasilnya, Hero dan Group Asia Permai sudah bisa diajak bekerja sama. Bahkan, beberapa pengusaha nonpri, seperti Kedaung Group, sudah bergabung dengan Hippi. Tapi diakui juga olehnya bahwa sulit meluaskan kerja sama antara pribumi dan nonpri. Penyebabnya juga terletak di pihak pribumi, yang antara lain sulit dipercaya dan belum profesional. Di luar itu, yang menentukan sebuah hubungan adalah kesamaan atau kaitan jenis usaha. Vice President Director PT Astra International, Edwin Soeryadjaya, mengatakan kepada TEMPO, "Dalam bisnis, kami sama sekali tidak membedakan apakah seseorang pri atau nonpri. Tapi tergantung jenis bisnisnya, volume usahanya." Bagi Edwin, perbedaan pribumi dan nonpri tidak perlu dipersoalkan. Lalu? Yang penting, "Bagaimana meningkatkan ekonomi semua warga secara bersama, tanpa memandang asal-usulnya." Sebagian pengusaha menganggap, pernyataan Hippi tersebut lebih banyak bau politisnya. Lalu ada yang berkomentar, "Teriakan itu bagaikan orang yang tidak bisa baca dan tulis, tapi hanya teriak saja, tanpa mau belajar baca dan tulis." Komentator yang tak mau disebutkan namanya itu menduduki jabatan tinggi di kelompok bisnis milik keturunan Cina. Apa pun pendapat orang, yang pasti isu pri dan nonpri telah bergaung cukup nyaring -setelah sekian lama senyap. Sedangkan bagi Hippi, langkah menegaskan sosok dan kepentingan pribumi itu dinyatakan sebagai gebrakan 1991. "Ini perlu untuk conditioning," kata Iman Taufik tanpa merinci lebih jauh. Aries Margono dan Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini