Deregulasi macam apa yang cocok bagi industri otomotif di Indonesia? Strategi apa? Mengapa Gaikindo memilih komponen saja? KETUA baru Gaikindo Herman Z. Latief, tampaknya, benar-benar menginginkan iklim baru dalam industri otomotif Indonesia. Maka, ia mulai dengan sebuah seminar yang Rabu pekan lalu diselenggarakan oleh Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) bersama anak perusahaan Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC). Dari seminar dua hari di Hotel Hilton, Jakarta, itu tersimpul bahwa industri otomotif Indonesia bagaikan katak di bawah tempurung. "Kita selama ini cuma mengutak-atik di dalam sini saja," kata Latief. Akibatnya, industri otomotif kita tercecer di belakang. Gaikindo juga berpendapat bahwa kebijaksanaan Pemerintah perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang. Dasar kebijaksanaan itu adalah serangkaian SK mulai dari SK 307, SK 37, sampai SK 111. Tujuannya: memindahkan industri kemari. "Dulu kita hanya terpukau pada impor substitusi. Sekarang kan harus berorientasi ekspor, berarti semua kebijaksanaan itu harus ditinjau lagi," Ketua Gaikindo itu membeberkan. Untuk beberapa komponen Indonesia sudah mampu berbicara di luar, tapi masih banyak yang belum kita garap. Tentu diprioritaskan komponen yang pasarnya luas, seperti ban, batere, jok, kabel, semua yang tidak bergantung pada merek dan model. Dan perlu dicari komponen yang tidak membutuhkan teknologi rumit, padat karya, tapi pasti kompetitif. PT Krama Yudha Tiga Berlian, misalnya, sudah mengekspor 100 dice (cetakan) ke Mistubishi Motor di Jepang. Juga break drum (tromol rem) sudah diekspor ke Filipina. Chassis untuk Fuso diekspor ke Jepang sejak 1989, rata-rata 1.000-1.500 unit per tahun. Nyatanya, mutu produksi Indonesia diakui, dan harganya pun lebih murah. Dari kelompok Astra, daya saingnya di pasar internasional semakin tampak. Menurut William Soeryadjaya, ekspor mobil dan komponen pada tahun 1990 menghasilkan US$ 2,38 juta, tahun ini ditargetkan US$ 5,95 juta. "Tahun 1992 kami harapkan akan mencapai US$ 26,4 juta," katanya, bersemangat. Benarkah Indonesia berpeluang di pasar internasional? Faktanya, pasar mobil dunia kini berkisar 46 juta-50 juta tiap tahunnya. Dan sebelum akhir tahun 2000, banyak merek akan tenggelam. Mitsubishi, misalnya, sudah melancarkan strategi global bersama Chrysler di Amerika, Samsung di Korea Selatan, dan Proton Saga di Malaysia. General Motor dengan Toyota. Fiat dengan grup Alfanya. "Bahkan polarisasi akan terus menyusut hingga tinggal lima merek yang akan menguasai pasar dunia," tutur Latief, persis seperti yang sering diucapkan para pakar Jepang di negeri mereka. Latief akhirnya memastikan, peluang bagi industri otomotif Indonesia adalah di industri komponen. Apalagi berdasarkan data dari Asian Automotive Review (majalah yang terbit di Jepang), pada 1992 industri mobil di Jepang sudah akan mengimpor komponen sebesar US$ 7 milyar. Untuk menyongsong peluang ini, perlu deregulasi di industri komponen. Inilah strategi yang juga sukses diterapkan Meksiko. Dalam rapat koordinasi Gaikindo beberapa waktu lalu, secara kongkret deregulasi itu sudah diusulkan pada Pemerintah. Soalnya, dalam daftar negatif BKPM ada larangan investasi baru dalam industri komponen. "Kalau memang ada yang sanggup membikin komponen dengan biaya lebih murah dan mutu lebih tinggi, mengapa harus ditutup peluangnya?" Latief bertanya gusar. Gaikindo mengendus, kendati dilarang, pada prakteknya ada izin baru yang dianugerahkan bagi mereka yang mampu melobi ke sana ke sini. Ia tidak menyebutkan contoh. Dia hanya ingin, kesempatan itu dibuka untuk semua pihak. Pakar ekonomi dari IFC, Karmokolis, malah menyimpulkan bahwa deregulasi di bidang otomotif jauh ketinggalan dibanding deregulasi di sektor lain. Katanya, Pemerintah juga terlalu banyak campur tangan, misalnya dalam bea masuk, pajak yang tinggi, keharusan lokalisasi komponen. "Apakah semua kebijaksanaan itu untuk kepentingan produsen ataukah konsumen?" tanya Karmokolis lagi. Kritik itu dianggap tidak relevan oleh Pemerintah, setidaknya dari Departemen Perindustrian. Menurut Dirjen Industri Mesin dan Logam Dasar Departemen Perindustrian, Ir. Soeparno, industri otomotif Indonesia sudah memasuki era industrialisasi, jadi tidak bisa dibiarkan tercebur dalam mekanisme pasar. "Karena itu, proteksi terhadap pelakunya masih diperlukan," ujarnya tegas. Tapi tentang deregulasi, Gaikindo juga perlu hati-hati. Kalau policy itu mengharuskan permobilan kita diliberalkan, itu tidak bisa diterima. "Itu kan berarti semua merek kendaraan jadi bebas bersaing di sini. Industri kita yang sedang dibina bisa hancur," kata Latief. Tapi diakui juga oleh Latief bahwa proteksi sudah tidak zamannya lagi karena terbukti menimbulkan biaya tinggi. Kalau begitu, mana strategi yang akan dipilih? Meniru Taiwan yang tiga tahun lalu membebaskan impor kendaraan built up ke negaranya? Atau deregulasi terbatas, yang cocok dengan kondisi Indonesia? Sayangnya, biarpun komponen lokal sudah digunakan 80%, belum menggambarkan nilai tambah yang sebenarnya. Soalnya, semua komponen lokal itu masih ada kandungan impornya. Akan halnya sedan, jenis ini memang belum masuk dalam jajaran industri karena sepenuhnya masih diimpor. Maka, wajarlah kalau harga sedan buatan Indonesia lebih mahal 3-4 kali dari harga jual di negara produsennya. Herman Latief akhirnya menyimpulkan, pasar otomotif di sini terbagi atas jalur dagang dan jalur industri. Tapi selama ini kita belum mempertegas mana jalur dagang mana jalur industri, apa kewajibannya dan apa kemudahan-kemudahan antara dua jalur itu. "Kalau tidak diatur, mereka bisa saling makan," ia mengingatkan. "Kalau cuma mau dagang, mengapa tidak impor saja." Max Wangkar, Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini