Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tidak Semua Orang Berteriak

Peraturan impor dengan SKB 3 menteri memberi proteksi produksi dalam negeri. Tuntutan ketua textile chib, berhasil. Menurut H.A. Djunaid, bila kalkulasi wajar perusahaan tekstil tak perlu mengeluh. (eb)

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUHAN dari dunia tekstil santer kembali. Kali ini yang berteriak bertenaga raksasa, sehingga suaranya pun jadi lebih lantang. Nadanya juga menuntut lebih keras: stop impor! Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Lima tahun lalu, pabrik tekstil yang lazim disebut penghasil tekstil lokal walaupun parau masih mampu berteriak: minta dilindungi kelangsungan usahanya. Di kota tradisionil tekstil, seperti di Pekalongan atau Majalaya, pengusaha sudah kehabisan nafas. Tekstil impor membanjir. Benang susah dikejar. Semua itu dianggap menjadi batu perintang di jalan usaha mereka. Tapi saingan produksi lokal itu bertambah. Tak usah jauh-jauh didatangkan: pabrik-pabrik baru muncul dilengkapi dengan peraturan dan fasilitas penanaman modal asing (PMA). Segera mereka bertongkrongan, umumnya di Jawa Barat. Lalu apa kabar yang dulu disebut pengusaha lokal? Masih ada, cuma sudah tak berkutik. Untuk berteriak minta proteksi, leher rasanya sudah tercekik. Tapi ternyata kini suara minta proteksi datang dari perusahaan-perusahaan yang mirip raksasa modern itu yang praktis telah menggantikan si pengusaha lokal. Dan tahun 1977 ini - karena teriakan itu - agaknya akan menjadi tahun yang membawa keberuntungan bagi yang berteriak. Baik yang 3/4 modal asing, « asing, maupun yang berkapital domestik. Lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, yang diberlakukan tepat pada hari pertama tahun ini penanam modal bidang industri itu meletakkan seluruh harapan baiknya pada pemerintah. Menteri Perindustrian, berturut-turut, akan menetapkan barang apa saja yang sudah mampu dibikin dan mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dengan ketetapan itu, barang yang dimaksud harus berada di pasaran dalam negeri secara nyaman, tanpa diganggu barang dagangan asing. Itu gampang. Sebab, sebagai penandatangan SKB, Menteri Keuangan akan mencoba menghambat masuknya komoditi impor. Untuk ini, Menteri Ali Wardhana, diminta membangun tanggul yang tinggi: bea masuk & pajak, serta berbagai syarat impor lain yang berat, dikenakan. Tujuannya: melemahkan daya saing terhadap produksi dalam negeri. Andaikata ada importir yang nekad, berani membayar berbagai syarat dengan mahal dengan mengandalkan merek luar negeri, dengan harapan mungkin masih ada peminat berani bayar mahal - itu tak usah membuat produsen dalam negeri kecil hati. Giliran pertama yang memperoleh pengayoman, 1 Januari itu juga, sederet daftar nama 33 jenis tekstil. Antara lain: kain sarung serta tenunan sutera kain sarung atau tekstil katun bermotif batik tiruan (atau cap), karpet, tikar wol, tekstil dari bulu binatang dan sebagainya. Berikutnya pengusaha besi beton dan karung goni tarik nafas lega (lihat: Goni Dan Beton: Proteksi Langgeng?). Juga 3 pabrik serat polyester sejak 28 Januari lalu mendapat perlindungan. Belum lagi selesai pemerintah menunjuk siapa saja yang dapat giliran dilindungl, mereka sudah mengancam hendak meniru ulah pabrik besi beton: mogok produksi. Suaranya yang keras itu dibawakan oleh Musa, Ketua Textile Club, di kuping para anggota Komisi VI DPR. Dari kesibukan ketiga departemen menyusun daftar barang yang harus diproteksi, Menteri Radius Prawiro buru-buru menyatakan: Bentuk proteksi yang seperti sekarang ini tidak dimaksudkan sebagai 'stop impor total'. Alasan Radius: "Setiap larangan impor itu selalu mengandung unsur negatif, yang justru lebih banyak ketimbang positifnya". Namun bagi Musa cs, apapun komentar Radius atas kebijaksanaan pemerintah mengenai pembinaan industri dalam negeri, sudah lebih dari cukup menggembirakan. Selesai sidang bersama Komisi VI DPR, dalam kesempatan dengar pendapat umum bulan lalu, Musa berkata kepada TEMPO "Pada hakekatnya proteksi yang seperti sekarang ini, sudah berarti stop impor". Betul juga. Bea masuk akan "disesuaikan". Artinya, dinaikkan tarifnya. Syarat impor jadi berat: bea harus dibayar kontan di muka, harus ada uang jaminan 100%, dan semuanya harus dibayar dari kantong importir sendiri. Total jenderal, itu semua memang sudah cukup mengganjel pintu impor. Namun, seperti tujuan SKB sendiri yang kelihatan cuma ingin membina industri, lagi-lagi hanya kaum industriawanlah yang paling bisa menikmati. Mereka itu adalah 485 pabrik tekstil besar. (420 PMDN dan 65 proyek PMA). "Apakah peraturan baru itu dapat menjamin kelancaran distribusi di dalam negeri secara terus-menerus, dengan harga yang baik dan kwalitas yang memenuhi kebutuhan konsumen?", begitulah pertanyaan Zahri Achmad, ketu organisasi importir (GINSI). Sebab diketahui, industri tekstil umumnya hanya berpusat di Jawa saja. Dan mereka memang tak pernah berkewajiban menjanmin kelancaran distribusinya. Seperti kata Musa kepada para anggota DPR: "Soal distribusi bukan urusan kami. Ada aparat negara yang mengaturnya. Di jalur distribusi itu ada manipulator dan spekulator. Itu bukan tugas kami untuk menertibkannya". Nah. Ini mengingatkan orang pada urusan pabrik baterai. Seahdainya ada larangan impor total -- dan semua penyelundupan batu baterai diberantas mungkin penduduk Indonesia di Kepulauan Riau, sebelah utara Sulawesi atau Irian Jaya, tak bisa ikut mendengarkan siaran RRI. Sebab distribusi batu baterai dalam negeri ternyata belum sampai terjangkau konsumen di daerah terpencil. Bagaimana kalau mereka harus pula tak berbaju? Belum lagi soal harga. Begitu SKB terbit, pasar tekstil yang sebenarnya masih menyimpan stok impor lama, sudah mulai tegang. Kain shantung eks RRC, yang biasanya dijual di Pasar Tanah Abang dengan Rp 8.000 per pis, sekarang pengusaha batik harus membayarnya Rp 8.600. Shantung buatan Muriatex Kudus, yang tadinya cuma Rp 6.200 per pis, naik dari Rp 7.500 hingga Rp 8.000. Begitu juga kain paris impor. Sebelum Januari per yard Rp 330, sekarang Rp 370. Sementara kain paris lokal, yang kwalitasnya menjemukan, dari harga Rp 200 per yard terus meningkat mendekati harga impor. Juga harga tekstil lain handuk, kain kasur, taplak dan sebagainya - untuk masa awal SKB sudah meningkat harganya 10% sampai 40%. Konsumen, ambil contoh pengusaha batik, tentu kalang kabut. Kenaikan harga blacu lokal (sampai 56%) tentu tak mungkin diikuti harga jual batik jadi. Kenaikan kain batik paling cuma 10%. "Apalagi suasana pasar sepi begini", kata seorang pengusaha di Tanah Abang. Orang dagang bukannya tak punya jalan keluar untuk mengatasi keadaan. Caranya, apa boleh buat: terpaksa potongan panjang kain dikorting dan mutu obat batikpun dipilih yang 'memadai'. Kekecewaan berikutnya, karena harga dan mutu yang tak menentu, tentu akan dirasakan oleh konsumen yang lebih luas. Itu suasana awal SKB. Bagaimana keadaannya jika stok lama mulai menipis dan habis? "Ah, tenang saja", kata seorang pemilik toko tekstil. Sambil mengerling ke arah teman dagangnya ia berkata: "Ada saja nanti jalannya. . . misalnya penyelundupan yang biasa". Namun begitu Musa, Ketua TC dari Daya Manunggal Group yang bekerjasama dengan Kuraray dari Jepang, mencoba menyangkal kenyataan ini. Di muka para anggota DPR ia menegaskan: "Kami akan mempertaruhkan nama baik dan merek kami untuk menjaga mutu". Perkara harga? Itu soal lain. Dari permulaan ia sudah mengeluh: "Harga jual selalu lebih rendah dari kalkulasi". Dari banyak industriawan yang mengharap proteksi, memang pengusaha tekstillah yang paling keras suaranya. Ini pernah mengundang rombongan penting ke 'lapangan'. Satu rombongan Fraksi Karya Pembangunan, dipimpin Ketua Komisi VI Jakob Tobing, pertengahan Nopember lalu meninjau pabrik tekstil di Cibinong dan Ciawi. Hasilnya tentu saja: menampung sebakul keluhan. PT Daralon, di Cibinong, suatu usaha orang sini dengan Amerika, mengaku telah mulai menutup pintu pabriknya sejak beberapa bulan lalu. Di Ciawi, PT Ratna mengeluh kreditnya dari Bank Bumi Daya sebanyak Rp 2 milyar macet. Dua pabrik ini punya alasan yang sama: tak bisa menjual barangnya. Padahal, seperti dikemukakan PT Ratna, mereka telah berusaha menjualnya 40O di bawah harga semestinya. Untuk mendukung dan melengkapi keluhan, dari Majalaya dikabarkan ada 4.100 alat tenun masinal yang dicutikan oleh pemiliknya, karena tak menguntungkan. Kabar yang sama datang juga dari Bandung. Berbagai keluhan pengusaha tekstil, rupanya didengar baik oleh - tak kurang dari - Wakil Kepala Bakin, Letjen Ali Murtopo. Pejabat ini bersemangat ikut menyerukan perlunya proteksi industri tekstil untuk waktu tertentu. Tapi ada juga fikiran lain. Pengusaha industri sebenarnya sudah cukup diperlengkapi untuk terjun ke pasar dengan leluasa. Mereka memperoleh fasilitas liburan pajak selama 5 tahun, dibebaskan dari bea mengimpor peralatan pabrik dan bahan baku, mendapat kemurahan kredit dari bank pemerintah, juga boleh mendatangkan tenaga ahli asing. Maka timbul pertanyaan: "Kalau yang memperoleh- fasilitas itu mengeluhkan kalkulasi yang tinggi dibandingkan harga jualnya, bagaimana dengar yang kecil?" kata TD Pardede, tokoh Pardedetex dari Medan. Padahal, "pabrik mereka, mestinya, memiliki efisiensi yang tinggi dan dapat untung". Itulah sebabnya Pardede secara terus terang minta kepada Musa cs, agar memberikan bahan tertulis mengenai struktur komponen harga. Anggota DPR yang lain, malah memberondong Musa dengan berbagai pertanyaan: Siapa konsultan pabrik polyester itu? Bagaimana feasibility-study yang dibuat sebelum pabrik berdiri? Apakah ada faktor lain di luar yang diperhittmgkan oleh konsultan? Tak semua pertanyaan dijawab para tamu DPR yang dipimpin Musa itu. Namun di luar acara ini ada pengusaha lain yang menjawab. Ia adalah H.A. Djunaid, pengusaha asal Pekalongan, bekas Ketua Umum GKBI. Ia menjawab sebagai Presiden Direktur PT Primatexo lndonesia - suatu usaha patungan GKBI dengan modal Jepang dan bank di Amerika. "Dalam rencana pendirian pabrik semua tentu sudah diperhitungkan. Juga faktor yang menghambat, misalnya adanya tekstil impor di pasaran baik yang legal maupun ilegl". Jadi? "Bagaimanapun, karena faktor itu sudah diperhitungkan, pabrik berjalan seperti yang diinginkan: untung!" Faktor penting yang menguntungkan, kata Djunaid, "pemerintah sudah cukup memberi fasilitas, tinggal kewajiban kita untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita terima, yaitu jangan mengeluh!" Pabriknya di uesa Sambong, dekat Pekalongan, menurut Djunaid, "untungnya sudah lebih dari memuaskan". Sebagai bukti, disodorkannya rencana perluasan pabriknya dua kali lipat dari yang diresmikan oleh Presiden Soeharto 5 tahun silam. Perluasan itu mungkin, kata Djunaid karena segala fasilitas yang telah diterima dari pemerintah seharusnya menghasilkan pabrik yang baik. Misalnya soal permesinan yang didatangkan ke mari tanpa pungutan impor. Seandainya memang betul yang didatangkan ke mari itu mesin baru - sebab kenyataannya banyak juga yang mendatangkan mesin lama - tentu peralatan itu akan menguntungkan. Kerjanya sangat efisien. Suasana di Primatexo misalnya, yang kedengaran cuma gemuruhnya suara mesin, tanpa kelihatan kesibukan operatornya. Sebab, di sana, untuk menjalankan 40 mesin sekaligus cuma perlu seorang karyawan. Menurut Presdir Primatexo ini, "efisiensi pabrik baru harus di atas 95%". Dengan keadaan pabrik yang demikian itu, "sebenarnya kalau mau bisa saja saya turunkan harga jual produksi prima yang ada - jika memang ada persaingan keras". Tapi persaingan itu dianggap belum begitu rupa hingga perlu menurunkan harga yang fantastis. Di pasar mori, prima milik Primatexo memang tidak sendirian. Di samping prima hasil pabrik sebawahan kalibernya, juga ada dari "textex" besar lainnya. "Tapi, seperti saya katakan", kata Djunaid, yang juga menjabat sebagai salah seorang Ketua TC, "bagaimanapun persaingan dengan tekstil impor sekalipun - dengan fasilitas yang diberikan pemerintah, saya yakin seharusnya masih menguntungkan". Lalu bagaimana dengan keluhan Musa cs? "Saya sebagai salah seorang Ketua TC belum pernah diajak berunding oleh Musa, mengenai semua keluhan dan tuntutannya itu". Tapi, "kalau toh saya diajak bicara, saya juga tidak akan ikut-ikutan menuntut ini dan itu". Sebab, kata haji yang masih memimpin beberapa pabrik tekstil milik koperasi batik PPI di Pekalongan ini, "saya meragukan keluh kesah itu". Bagaimanapun tipisnya kentungan dari bisnis tekstil, "asal menghitung kalkulasinya menurut ukuran yang wajar, tak perlu mengeluh" Menurut berbagai orang dari kalangan tekstil, sebenarnya masih ada beberapa pos dari komponen harga yang bisa ditekan -- agar kalkulasi tidak tampak begitu meninggi. Seorang akuntan, yang banyak memegang buku perusahaan tekstil di Jakarta, membenarkan hal itu. Salah satu yang mungkin bisa ditekan, misalnya, biaya yang terlampau banyak untuk membayar gaji pegawai asing yang didatangkan kemari sebagai ahli. "Entah mereka itu ahli betul atau cuma siluman", kata akuntan yang enggan disebut namanya ini. "Yang terang mereka makan gaji beberapa kali lipat lebih besar dari karyawan pribumi". Rata-rata mereka bergaji 2000 dolar sebulan, ditambah jumlah yang sama untuk apa yang disebut "tunjangan jauh dari keluarga". Belum lagi biaya untuk perumahan, mobil dan fasilitas yang 'layak'. Pendapat akuntan itu dibenarkan oleh Djunaid. Itulah sebabnya ia berusaha keras, berkelahi dengan partner asingnya, agar kalkulasi dari pos ini ditekan terus. Di pabriknya dulu pernah ada 40 tenaga ahli bangsa Jepang di antara 700 karyawan anak negeri. Tapi sekarang jumlah orang asing yang ada di sana tinggal lagi 6 orang (3 di antaranya direktur) di antara hampir 1.200 karyawan. Maunya sih orang asing mau tinggal lama-lama di sini, tapi buat apa kita mesti menyenangkan orang asing - yang gaji di negaranya sendiri mungkin jauh dari yang mereka terima di sini?" ujar Djunaid. Di samping itu, ada soal kalkulasi yang berhubungan dengan mesin. Dalam keadaan yang wajar saja sebenarnya mesin yang sekarang ada - yang dimaksud: milik perusahaan raksasa yang baru berdiri -- banyak menguntungkan. Namun pada kebanyakan pabrik, terutama yang PMA, cenderung untuk menilai terlalu tinggi harga mesin dalam membebankan penyusutannya ke dalam kalkulasi. Mending kalau mesinnya betul-betul baru gres. Kadang-kadang, seperti yang diketahui akuntan di atas, "saya pernah melihat sendiri ada 1.200 unit mesin bekas eks-Belgia, yang dalam pembukuannya dihitung sebagai mesin baru". Dalam kasus semacam ini, begitu menurut akuntan tadi, "orang asing jelas bermaksud bukannya hendak menjual tekstil sebagai barang jadi, tapi lebih kentara mau jual kapital: mesin, bahan baku dan sekalian mengekspor tenaga mereka ke luar negeri". Itu sama sekali bukan mustahil. Seperti kata Djunaid: "Sebelum pabrik berdiri dan beroperasi, mereka sebenarnya sudah banyak menarik keuntungan dari harga penjualan mesinnya saja". Itulah sebabnya fihak Indonesia dalam PT Primatexo Indonesia, dalam hal ini CKBI yang punya saham cuma sekitar 26%, tidak tertarik untuk sedikit demi sedikit berusaha memiliki perusahaan sampai 100%. "Sepintas lalu, memang, idealnya perusahaan itu lama-lama harus jadi milik kita". Tapi agaknya Djunaid memang hendak berfikir lain. "Pengalaman sudah cukup memberi contoh: begitu kita selesai bersusah payah menguasai modal, ternyata yang kita terima cuma suatu pabrik atau hotel yang sudah usang". Dan yang usang itu, walaupun masih ada harganya, tentu sudah mulai kehabisan potensi ekonomisnya. Apalagi bicara pabrik tekstil selalu berarti harus bicara soal teknologi baru. Begitu pabrik mulai 100% jadi milik orang sini, orang asing juga sudah mulai siap dengan mesin model mutakhir yang hendak ditanamkan. Jadi, "buat apa kita harus membeli mesin tua yang sudah ada di Indonesia?" kata Djunaid. "Lebih baik keuntungan yang kita peroleh, dari saham sekian persen itu, kita gunakan untuk memperluas pabrik secara lebih modern atau membeli saja mesin baru". Maksudnya, lebih jelas, "lebih baik kita hanya mempunyai andil 25% di empat pabrik baru atau di sebuah pabrik yang tems diperluas secara modern, dari pada memiliki sepenuhnya pabrik tua". Memburu-buru modal asing agar cepat diambil oper, "tak lebih cuma memburu-buru agar orang. asing itu mengambil keuntungan di sini". Dan untuk itu hanya ada satu jalan saja: menaikkan setinggi mungkin angka kalkulasi. Dan untuk menjual hasil produksinya, "giliran pemerintah lagi - yang sudah cukup memberi fasilitas itu - dituntut harus melindungi harga jual mereka yang payah bersaing", ujar Djunaid keras. "Dan fihak kita, yang harus memperjuangkan proteksi, berteriaknya lebih keras dari Jepang atau Hongkongnya sendiri!" Namun teriakan industriawan tekstil belakangan ini menurut seorang pejabat Departemen Perdagangan, sebenarnya tak begitu sulit untuk diuji ke mana arahnya. Asal "pemerintah lebih dulu mempunyai norma untuk menilai: apakah kalkulasi yang disodorkan pengusaha itu wajar", kata pejabat itu. Misalnya, salah satu cara: pemerintah lebih dulu dapat membuat kalkulasi untuk blacu atau tekstil dari serat sintetis. Dengan mengukur melalui kalkulasi yang dibuat pemerintah, yang mesti betul karena pemerintah mempunyai alat penghitung yang baik -- tentu bisa dicek, sejauh mana kewajaran kalkulasi yang dibuat produsen. Itu soal kalkulasi. Namun kalkulasi saja memang tak menjamin kelancaran pemasaran. Di bursa tekstil Pasar Klewer -- Sala, orang tidak lagi menanyakan pembukuan pabrik untuk menawar barang. Dan itu membuat suasana pasar penuh dengan pelototan mata -- saling mengincar. Itulah kenyataannya: di bursa orang gampang mencari baran, mori prima atau blacu, yang harganya di bawah harga buku pabrik. Sebabnya tak sulit diketahui. "Kami selalu membutuhkan uang kontan untuk sesuatu keperluan", kata Bakri, fabrikan Patex Batari, terus terang. Kalau tidak Bakri, juga ada orang lain -- bukan dari kalangan pabrik yang tiba-tiba menjual barang dengan banting harga Padahal blacu itu dibelinya juga dari Bakri dengan harga pabrik. Rugi? Ternyata, setelah dihitung-hitung, tidak. Sebab ia membeli dari pabriknya Bakri, tidak kontan, dengan tempo pembayaran 2 atau 3 bulan. Untuk memperoleh uang kontan, orang ini bersedia menjualnya rugi. Kalau dihitung, untuk memperoleh uang kontan sekian dari bank dengan jangka waktu 2 atau 3 bulan, bunganya masih lebih tinggi daripada bersikap merugi di bursa tekstil. Kali ini tekstil menjadi alat spekulasi. Ini mungkin, "karena bursa sudah jenuh", kata Bakri. Baik di Sala maupun di Pekalongan, bursa tekstil memang sudah kelebihan suplai. Berbagai merek pabrik dalam negeri hingga eks penyelundupan ada di sana. "Untuk mengatasi kejenuhan ini, harus ada proteksi lagi", ujar Haji Mirza, dari PPIP Pekalongan. Proteksi lagi? "Tapi ini lebih sehat dari stop impor", kata Mirza sembari tertawa. Begini: "Pemerintah harus menentukan atau mengatur, jenis-jenis tekstil yang harus diproduksi setiap pabrik". Jangan seperti sekarang: "Ramai prima, bikin prima, laku blacu, bikin blacu musim sintetis, semua main sintetis". Mirza usul, "agar hanya pabrik milik koperasi batik saja yang diizinkan membuat mori". Tentu jika produksinya memang cukup tersedia memenuhi kebutuhan konsumen. "Untuk membuat palekat, biarlah pengusaha kecil yang mengerjakannya dengan alat tenun bukan mesinnya (ATBM), agar yang kecil juga bisa bernafas", katanya. Tapi pabrik yang berkaliber raksasa seperti PMA dan PMDN tentu lebih cerdik memilih barang apa yang laku dijual. Bukankah mereka lebih mampu membuat banyak variasi: dari mulai kain pel, serbet, kelambu hingga bahan tetoron? Dalam hal itu, pemerintah perlu memberikan batas. Untuk membagi-bagi kerja. Yang artinya: rejeki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus