Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT bulan silam, ada bankir pemerintah yang tiba-tiba bicara tentang mata uang rupiah. Aneh? Mendadak, pekan lalu, Pemerintah mengeluarkan pecahan uang baru, yakni Rp 20.000 dan Rp 5.000. Jelaslah kini bahwa rencana pembuatan uang baru itu sudah disiapkan sejak empat bulan yang lalu. Ini merupakan pecahan uang terbesar yang dikeluarkan Bank Indonesia, tapi ukurannya malah lebih ringkas daripada pecahan Rp 10.000. Pecahan uang Rp 20.000 berukuran 152 mm x 72 mm, sedangkan yang Rp 10.000 berukuran 158 mm x 80 mm. Dibanding pecahan Rp 5.000 bergambar Teuku Umar yang berukuran 152 mm x 76 mm, pecahan Rp 20.000 yang bergambar cenderawasih dan cengkeh masih sedikit lebih ringkas. Jadi, uang baru ini lebih praktis untuk dibawa-bawa. Dan barangkali juga lebih aman. Namun, dibandingkan dolar Amerika yang sampai US$ 100 (nilainya sama dengan Rp 200.000), rupiah bergambar cenderawasih dan cengkeh itu memang masih kalah ringkas. Begitu pula jika dibandingkan dengan pecahan terbesar di negara ASEAN lainnya. Dolar Singapura, misalnya, sudah ada yang dalam pecahan Sin.$ 1.000. Korea Selatan juga mempunyai pecahan 100.000 won. Negara industri maju ini, dengan tingkat pendapatan masyarakat rata-rata US$ 5.500 -- sepuluh kali lipat tingkat penghasilan rata-rata penduduk Indonesia -- tentu saja merasa biasa berbelanja ratusan ribu won. Lain halnya masyarakat Indonesia. Dengan mata uang Rp 20.000, dikhawatirkan orang cenderung belanja lebih banyak hingga merangsang inflasi. Namun ahli moneter Anwar Nasution menganggap kekhawatiran itu tidak beralasan. "Kita justru harus berpikir sebaliknya. Daripada membawa uang segepok, kan lebih efisien membawa pecahan Rp 20.000," ujar Anwar Nasution. Menurut ekonom ini, dengan ongkos pembuatan uang itu, Pemerintah akan mendapatkan keuntungan. Untuk mencetak Rp 20.000, ongkosnya pasti lebih murah daripada mencetak dua lembar 10.000-an. Kalau masyarakat selama ini biasa membeli 40 kg beras dengan Rp 20.000 dan tahun depan hanya dapat membeli 30 kg, itu berarti uang baru ini akan menimbulkan semacam pajak inflasi alias pengurangan daya beli. "Nah, kalau Pemerintah atau BI menerima keuntungan itu, saya kira bisa terjadi inflasi dan devaluasi," kata Anwar. Keluarnya angka 20.000, menurut juru bicara BI, Dahlan Sutalaksana, hanya untuk keperluan praktis saja. Tapi diluar sempat beredar isu, kelak harga cengkeh dapat mencapai Rp 20.000 per kg. Ada pula yang bercanda, kalau selama ini dengan Rp 10.000 inflasi ditekan di bawah angka 10%, dengan uang Rp 20.000, inflasi akan ditekan di bawah 20% setahun. Pihak BI menjamin bahwa pengeluaran uang baru ini tidak akan diumbar. "Uang Rp 20.000-an hanya akan dikeluarkan jika ada permintaan masyarakat yang ingin menukar uangnya yang kecil. Artinya, ada uang yang akan ditarik dari peredaran dan ditahan," kata seorang Direktur BI, Hasudungan Tampubolon. Namun, jumlah uang beredar akan bertambah. Itu bukan karena pecahan uang besar, tapi karena kebutuhan masyarakat. Tambahan uang beredar akan ditentukan oleh keadaan perekonomian, inflasi, dan suku bunga perbankan. "Kalau jumlah uang beredar kita tahan, perekonomian akan macet," ujar Hasudungan. Hal lain yang sempat dikhawatirkan adalah uang palsu. Tapi, Perum Peruri, yang mencetak uang ini, tampaknya merancang pengamanan yang canggih. Pecahan Rp 20.000 ini mempunyai ciri-ciri yang kasat mata, yang sukar ditiru seluk-beluknya. Benang pengamannya dibuat dari plastik tembus pandang bertulisan mikro "Bank Indonesia". Selain itu, uang baru ini juga diberi tandatanda lain yang tidak kelihatan dengan mata telanjang. MW, Bambang Aji, dan A. Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo