Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUU Perbankan yang hampir rampung digodok ternyata tidak hanya ditunggu para bankir, tapi juga didambakan oleh pengusaha yang mengelola lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Soalnya, hanya melalui undang-undang itulah, sebuah LKBB dapat "berganti kulit" menjadi bank. Dan salah satu LKBB yang kini siap-siap menjadi bank adalah PT Usaha Pembiayaan Pembangunan Indonesia (Uppindo). Jika RUU Perbankan dapat disahkan sesuai dengan jadwal (akhir Februari 1992), Maret depan Uppindo akan berganti status menjadi bank. "Ini merupakan cita-cita lama kami," kata Presiden Direktur Uppindo, Sarwono Wishnuwardhana. Sarwono berharap "rencana besarnya" dapat berjalan lancar. Karena, jika UU Perbankan tidak rampung sesuai jadwal, mungkin status bank yang menjadi impiannya selama ini baru terwujud setelah Sidang Umum MPR 1993. Kalau itu yang terjadi, berarti memperpanjang beban penderitaan yang dirasakan oleh LKBB-LKBB. Terutama, lembaga keuangan yang secara sengaja didirikan untuk "menangguk" di pasar modal. "Begitu bursa anjlok, mereka tak lagi mempunyai bisnis," kata Sarwono. Sebenarnya, Uppindo tidak terlalu mengandalkan usahanya pada pasar modal. Namun, jika proses menjadi bank tertunda, lembaga ini diperkirakan tidak akan dapat berkembang. Maklum, sejak Pemerintah mengetatkan rupiah, yang kemudian disusul dengan pembatasan pinjaman luar negeri, praktis lembaga keuangan kehilangan banyak sumber dana. "Ketika Pemerintah mencanangkan pembatasan pinjaman asing, kami sedang sibuk-sibuknya melakukan negosiasi kredit yang cukup besar," ujar Sarwono. Akibatnya, rencana kredit luar negeri Uppindo harus ikut antre untuk jangka waktu yang tidak jelas. Dan itu pula yang mendorong direksi dan komisaris untuk secepat mungkin mengubah status Uppindo menjadi bank. Dengan status bank, mereka berharap laba Uppindo dapat lebih tinggi daripada tahun lalu yang mencapai Rp 13,5 milyar. Sekarang, dengan sumber dana yang terbatas, pertumbuhan Uppindo tersendat-sendat. Pada tahun 1990, aset LKBB ini masih mampu berkembang hingga angka 40%, tapi tahun lalu asetnya hanya tumbuh 20%. Tahun ini, kendati tercatat sebagai LKBB terbesar dengan aset lebih dari Rp 1 trilyun, "Saya ragu bisa mencapai pertumbuhan 15%," Sarwono mengakui. Masalahnya kini, mampukah Uppindo menjadi bank yang "lincah" di tengah persaingan ketat yang "berkecamuk". Itulah satu hal besar yang masih harus dibuktikan. Yang jelas, LKBB yang sahamnya dimiliki oleh lima lembaga keuangan ini (BI 54%, ADB 9%, Rabobank, Belanda 9%, Aspac Bank 9%, dan Nederlands Financierings Maatschappij voor Ontwikkelingslanden 19%) sudah lama dipersiapkan untuk menjadi sebuah bank. Saat didirikan, 1972, Uppindo memakai nama Development Bank for Indonesia, yang beroperasi di Belanda. LKBB tertua di Indonesia ini pernah dipercaya Pemerintah untuk "menolong" Bank Perkembangan Asia, yang ketika itu hampir terjungkal. Tahun lalu, sebelum ada pembatasan pinjaman luar negeri, Uppindo berhasil meraih komitmen kredit senilai Rp 200 milyar dari Bank Dunia, ADB, Bank Exim Jepang, dan bank internasional lainnya. Hal ini membuktikan, aktivitas Uppindo sudah sulit dibedakan dengan gerakan yang dilakukan sebuah bank yang besar. Budi Kusumah, Bambang Aji, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo