Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SANG pemungut iuran televisi, PT Mekatama Raya, beroperasi bagaikan jaring comping-camping. Iuran pesawat televisi yang begitu banyak bertebaran di seantero Nusantara ternyata belum semua terjaring. Bahkan perusahaan ini belakangan terancam bangkrut. Bagaimana memecahkan soalnya? Syahdan, terhitung Februari 1992, semua pemilik pesawat televisi diharuskan membayar iuran dua kali lipat dari tarif sebelumnya. Seperti dituangkan Menteri Penerangan Harmoko dalam Surat Keputusan 27 Januari 1992, iuran televisi hitam putih ukuran di bawah 16 inci naik dari Rp 500 menjadi Rp 1.000. Untuk ukuran 17 inci ke atas dikenakan Rp 3.000. Dan pesawat televisi warna dibagi dalam tiga jenis. Pemilik televisi sampai 16 inci diharuskan membayar iuran Rp 4.000. Televisi ukuran 16-19 inci, iurannya Rp 5.000. Televisi berukuran 20 inci ke atas dikenai iuran Rp 6.000. Alasan kenaikan itu sederhana saja, yakni tarif iuran televisi sudah 11 tahun tak pernah dinaikkan. "Dibanding dengan anggaran tahun 1981, ketika iuran lama ditetapkan, sekarang anggaran TVRI sudah naik lebih dari 100%," ujar Direktur Jenderal Radio Televisi dan Film, Alex Leo. Namun, keterangan Alex Leo itu tidak dapat menghilangkan kesan bahwa perubahan tarif iuran TV lebih ditujukan untuk menolong PT Mekatama Raya ketimbang membantu anggaran TVRI. Tampaknya, memang Mekatama yang pertama-tama harus diselamatkan. Padahal, sebagaimana diinformasikan kepada masyarakat, para pendiri Mekatama adalah pengusaha-pengusaha besar. Presiden Komisaris Mekatama adalah Sudwikatmono dan komisarisnya adalah Henry Pribadi. Kedua pengusaha ini termasuk dalam daftar pembayar pajak penghasilan terbesar tahun 1989 dan 1990. "Kami diminta menangani pemungutan iuran televisi untuk misi suci membantu TVRI," kata Haji Sudwikatmono kepada TEMPO, pekan lalu. Maka, menurut Henry Pribadi, para pemegang saham telah mengeluarkan biaya investasi dan modal kerja tak kurang dari Rp 40 milyar. Mengapa investasinya begitu besar, sama dengan mendirikan bank umum? "Silakan Anda melihat peralatan komputer yang kami pasang di lantai III Mangga Dua. Belum lagi sewa ruang perkantoran (setengah lantai di Gedung Antara dan Mangga Dua)," ujar Henry. Menurut perkiraan di atas kertas, PT Mekatama mestinya untung. Ketika ia ditunjuk sebagai pengumpul iuran televisi, TVRI meminta setoran Mekatama Raya tak kurang dari Rp 90 milyar setahun dan harus dibayarkan per tiga bulan. Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan Direktur Televisi Ishadi, yang merasa yakin bahwa jumlah pesawat televisi di Indonesia tak kurang dari 12 juta buah. Mereka yang rajin membayar televisi melalui Perum Pos dan Giro (perusahaan pengumpul iuran televisi sampai tahun 1990) saja tak kurang dari enam juta dan menghasilkan sekitar Rp 70 milyar. Setelah dipotong komisi 10%, Perum Pos & Giro menyetor sekitar Rp 63 milyar ke TVRI. Ketika Mekatama tampil, perusahaan itu berani memastikan dapat meraup iuran TV tak kurang dari Rp 180 milyar setahun. Mekatama tampak yakin, dan banyak pihak terpengaruh oleh optimisme itu. Mereka lalu menawarkan diri menjadi pemburu iuran televisi. Ada pengusaha, ada organisasi pemuda, ada putra pejabat daerah, dan lain-lain. Mekatama kemudian membagi Sumatera dalam lima wilayah perburuan iuran. Wilayah Sumatera diberikan kepada PT Cerya Zico Utama, yang berani menyetor Rp 2,5 milyar per bulan. Wilayah Jakarta diserahkan kepada pengusaha keturunan Minang, Naldi Nazar, yang sanggup membayar Rp 3,5 milyar sebulan. Untuk wilayah Jawa Barat dan Kalimantan dipercayakan kepada Dani S. Memet, putra Gubernur Jawa Barat Yogi S. Memet. Setorannya Rp 3 milyar. Dwi Setya Wahyudi, pengusaha dari Jawa Tengah, ternyata mendapat wilayah Jawa Tengah termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta, berikut Sulawesi. Putra Gubernur Jawa Tengah Ismail, yang lebih dikenal dengan nama Ganang ini, diwajibkan menyetor Rp 2,75 milyar sebulan. Adapun "penguasa" wilayah perburuan Jawa Timur hingga Irian Jaya diharuskan membayar Rp 3 milyar per bulan. Dari kelima wilayah itu, setiap bulan Mekatama seharusnya menerima bersih hampir Rp 15 milyar sebulan atau hampir Rp 180 milyar per tahun. Ternyata, jauh panggang dari api. Setelah berjalan setahun, perusahaan itu malah rugi. Apakah ruginya sampai Rp 10 milyar? "Oh, jauh di atas angka itu," ujar Direktur Utama Mekatama Raya, Sidarto Danusubroto. Kerugian Mekatama ternyata meruyak di manamana. Mulai dari tingkat manajemen di pusat sampai ke tenaga kolektor. Dari kalangan kolektor, kabarnya ada yang menggelapkan bukti pembayaran, dan ada pula yang menggelapkan setoran. Akibatnya, kontraktor tekor dan menunggak kepada Mekatama, yang pada gilirannya juga menunggak pada TVRI. Kekisruhan itu sudah diendus sejak penggantian Dirut Mekatama pada bulan Agustus 1991 sampai dengan ribut-ribut di pengadilan dan DPR. Direktur utama yang lama, Wahyu Sukotjo, sudah diganti ketika Mekatama baru beroperasi lima bulan (sejak April 1991). Wahyu kabarnya kurang berwibawa menghadapi para kontraktor. Penggantinya adalah teman sekolah Sudwikatmono, yakni Sidarto Danusubroto. Mantan Kapolda Jawa Barat ini segera melancarkan gebrakan-gebrakan. Mula-mula kontraktor DKI dijatuhi pemutusan hubungan kerja. Lalu pengumpulan iuran televisi di DKI ditangani langsung PT Mekatama. Namun, sebagian besar pemilik televisi di DKI rupanya sudah membayar lunas sampai akhir 1991 kepada kontraktor lama sehingga sisa yang dapat dikumpulkan Mekatama hanya sekitar Rp 5 milyar. Menyusul kemudian pemutusan hubungan kerja Mekatama dengan kontraktor wilayah Sumatera, yang hebohnya "meledak" di meja hijau. Seperti diungkapkan Sidarto Danusubroto di pengadilan, PT Cerya Zico Utama sebagai pemburu iuran televisi di seluruh wilayah Sumatera telah menunggak setoran sampai dengan September 1991 sebanyak Rp 15 milyar. Januari lalu, giliran kontraktor Dwi Setya Wahyudi yang terkena pemutusan hubungan kerja. Putra Gubernur Jawa Tengah itu sempat berteriak hendak menuntut ke pengadilan, tapi kemudian surut. Jumat pekan lalu, Ganang terlihat menjemput Sudwikatmono, Henry Pribadi, dan Sidarto di bandar udara Semarang untuk mengantar pucuk Mekatama Raya itu ke kantor ayahnya, Gubernur Ismail. Ternyata, perusahaan milik Pemerintah Daerah Jawa Tengah, PD Aneka Jasa dan Niaga, kini yang ditunjuk sebagai pemungut iuran televisi untuk wilayah Jawa Tengah. Ganang, yang juga pengusaha real estate di Semarang, kini menjadi karyawan PT Mekatama Raya Pusat yang ditempatkan di Semarang. PT Mekatama rupanya kini hendak mengubah strategi. Wilayah perburuan hendak dibagi menurut wilayah yang lebih kecil, mendekati luas wilayah provinsi. Jawa Tengah dipilih sebagai wilayah percontohan. Sebelumnya, kontraktor dibiarkan berjalan sendiri, sedangkan kini Mekatama Raya berusaha sedapat mungkin terlibat langsung dalam perusahaan-perusahaan yang ditunjuk, baik di segi permodalan sampai dengan manajemen. Bentuk kerja sama ini diharapkan nantinya 50%-50%. Namun, sementara ini pihak Pemda JaTeng rupanya belum sanggup ikut menyetor modal. Toh PD Aneka Jasa dan Niaga akan berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan iuran. Maka, ia akan mendapat komisi 2,5%. Hal serupa, kata Sidarto, juga akan segera diterapkan di wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Wilayah lainnya, DKI, Bali, NTT, dan Irian Jaya, akan ditangani langsung oleh PT Mekatama. Untuk wilayah DKI, sistem yang diterapkan Mekatama yakni dengan menunjuk koordinator di lima wilayah wali kota. Di bawahnya ada koordinator kelurahan (korkel). Korkel inilah yang mengoperasikan para kolektor, sekitar 10 orang setiap kelurahan. Para kolektor itu, selain diberi uang makan Rp 2.500 sehari, diwajibkan menghimpun iuran minimal 360 pesawat televisi per bulan (15 per hari). Lebih dari itu, mereka akan mendapat bonus prestasi bertingkat 3%-6%. "Sementara itu, kita belum mempunyai target, karena belum ada data yang akurat," kata Sidarto. Dengan peralatan 150 komputer di pusat pertokoan Mangga Dua, kini Mekatama tengah menyusun data berapa jumlah pesawat televisi di seluruh Indonesia sesuai dengan kategori warna dan ukurannya. "Jika data kami sudah lengkap, kami bisa membuat analisa berapa dana yang bisa dihimpun, berapa kemampuan seorang kolektor, berapa bonus prestasi seorang kolektor. Pokoknya, macam-macam yang bisa dianalisa nanti," kata Hans Moniaga, manajer Electronic Data Processing Mekatama Raya di Mangga Dua. Namun, ada masalah lain yang timbul gara-gara sebagian data sebenarnya sudah kabur. Soalnya, banyak data sudah digelapkan mulai dari kolektor sampai para kontraktor. Untuk melengkapi data yang ada, Mekatama kini untuk sementara mengundang pembayar pesawat untuk menyetor iurannya lewat empat bank, yaitu BBD, Lippo, Danamon, dan BII, serta Kantor Pos & Giro. Agar masyarakat sudi membayar melalui bank, Mekatama memberikan umpan lima hadiah sebesar Rp 200 juta, yang dibagi dalam 1 hadiah pertama Rp 75 juta, 1 hadiah kedua Rp 50 juta, 5 hadiah Rp 10 juta, dan 25 hadiah Rp 1 juta. "Biaya ini cukup besar. Hadiahnya sudah Rp 1 milyar. Ongkos promosinya sekitar Rp 700 juta. Belum lagi komisi untuk bank-bank pelaksana," tutur Sidarto. Apakah Mekatama hendak kembali ke sistem lama (Pos & Giro)? "Tidak. Nanti, kalau pemilik televisi sudah melaporkan, kami bisa mengirim kolektor ke rumahnya," kata Sidarto. Menurut Dirjen Alex Leo, sistem pembayaran melalui bank dan pos giro ini untuk sementara. "Selama Mekatama belum siap ke rumahrumah," kata Alex Leo, tanpa kejelasan mengenai batas waktu yang pasti. Max Wangkar, Nanik Ismiani, dan Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo