Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tidak untuk Kejar Setoran?

BPPN menjual Indomobil kepada Trimegah seharga Rp 625 miliar. Jual murah ini dilakukan konon karena BPPN mengejar setoran. Tapi, menurut Mar'ie Muhammad, berhubung kejar setoran tak perlu dilakukan, seharusnya Indomobil tidak dijual.

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Pepatah inilah yang mungkin dijadikan pedoman oleh Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), I Putu Gde Ary Suta, ketika menandatangani penjualan 72,63 persen saham pemerintah di PT Indomobil Sukses Internasional Tbk. kepada konsorsium Trimegah. Penjualan yang kontroversial itu sempat dipersoalkan oleh Ketua Oversight Committee BPPN, Mar'ie Muhammad. Mar'ie bahkan meminta agar Putu mengaudit proses tender Indomobil tersebut. Menurut Mar'ie, ada indikasi penyimpangan dalam transaksi itu. Indikasi ini didapatnya dari pers dan para profesional seperti Lin Che Wei, Direktur Riset SG Securities. "Apa yang disampaikan Che Wei saya kira tidak ngawur. Ia profesional," kata mantan Menteri Keuangan itu. Putu sendiri menanggapi masukan itu dengan jengkel. "Tidak disuruh Pak Mar'ie pun, saya punya SKAI (satuan kerja audit internal—Red.), yang tugasnya mengaudit setiap transaksi," ujarnya gusar. Besar kemungkinan, penjualan Indomobil terkait dengan semacam contingency plan (rencana darurat). Berarti, bila penjualan BCA atau aset lainnya mundur, target setoran BPPN Rp 27 triliun tetap harus terpenuhi, walaupun Indomobil terpaksa dijual murah. Dasa Sutantio, Deputi Ketua Assets Management Investment BPPN, mengungkapkan bahwa permintaan agar penjualan Indomobil dipercepat datang dari pemerintah sendiri. Tapi keterangan ini dibantah oleh Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi. Di pihak lain, Mar'ie Muhammad menyayangkan penjualan itu, karena sebelum transaksi terjadi, toh BPPN sudah menyetor Rp 27 triliun ke kas negara. Mar'ie pun menegaskan, "Jika BPPN menjual Indomobil untuk mengejar setoran, itu tidak benar." Pernyataan senada datang dari anggota Komisi IX DPR, Rizal Djalil. "Bohong besar jika Indomobil dijual untuk memenuhi target BPPN," ujarnya ketus. Bagi Rizal, kasus Indomobil membuktikan betapa kuatnya pengaruh Grup Salim terhadap BPPN. Bahkan ada kelakar yang menyebut bahwa kantor BPPN sudah seperti kantor Anthony Salim. Rizal pun menambahkan, "Jika tak ada apa-apa, mengapa justru Grup Salim yang mendapat banyak kemudahan? Benar ada beberapa kejanggalan, tapi yang paling mencolok adalah cepatnya proses penjualan. Dalam seminggu, misalnya, BPPN menjual tujuh aset Salim senilai Rp 4 triliun. Menurut Lin Che Wei, proses penawaran yang sesingkat itu tidak memberi cukup waktu bagi investor yang serius. "Bayangkan, orang beli mobil saja butuh waktu beberapa hari. Masa, mau beli pabrik mobil sebesar Indomobil, waktunya sama," ujarnya mempersoalkan. Anehnya lagi, proses due diligence baru dilakukan setelah pemenang tender diumumkan. Hal ini jelas menguntungkan pemilik lama (baca: Grup Salim), karena investor baru tak punya akses informasi seperti yang dimiliki Salim. Harga jual Indomobil yang Rp 625 miliar, menurut Che Wei, juga terlalu rendah. Indo-mobil sendiri dihargai sekitar Rp 1,809 triliun, dengan surat utang senilai Rp 622 miliar. Selain itu, pasar mobil tahun ini jauh lebih baik daripada tahun 1998, saat Salim menyerahkan Indomobil ke pemerintah. Namun Che Wei juga sulit memastikan perihal masuknya Salim ke Indomobil. Tiadanya pergantian manajemen di Indomobil dinilainya sebagai indikasi kuat masuknya Salim ke sana. "Jika investor baru masuk tetapi manajemennya masih orang lama, besar kemungkinan Salim come back," demikian Che Wei. Keterlibatan Salim juga bisa ditelusuri dari nama-nama yang tergabung dalam konsorsium Trimegah. Menurut Dasa Sutantio, ia hanya ingat satu nama, yakni PT Cipta Sarana Duta Perkasa. Dari sumber TEMPO di BPPN, diperoleh nama: Pranata Harjadi. "Selain Indomobil, ia telah beberapa kali ikut membeli aset Salim," ungkap Dasa. Ternyata Pranata Harjadi saat ini menjabat Vice President PT Lautan Luas, sebuah perusahaan bahan kimia. Seperti diketahui, pada tahun 2000 PT Lautan Luas bersama-sama Wings, Djarum, dan Bhakti Investama memenangkan tender Salim Oleochemical senilai Rp 1,23 triliun. Menurut seorang mantan pejabat BPPN, Pranata dikenal piawai membenahi kondisi keuangan perusahaan yang ia beli, untuk kemudian dijual kembali dengan harga tinggi. "Ya, semacam broker, sih," ujarnya. Lalu, benarkah Pranata "dipakai" Salim untuk membeli kembali asetnya di BPPN? Pranata langsung membantah. "Nggak benar saya brokernya Salim," sergahnya. "Saya nggak bisa wawancara sebelum ada koordinasi dengan Trimegah. Anda tanya saja ke sana," ujarnya berkilah. Ketika hal itu ditanyakan kepada bos Trimegah, Avi Dwipayana menjawab, "Ya, kami kenal Pak Harjadi. Tetapi maaf, kami tidak bisa menjawabnya." Avi juga membantah bahwa Salim berada di belakang Trimegah. Kini urusannya terpulang kepada Putu Ary Suta. Andaikata terbukti Salim berada di belakang pembelian Indomobil, apakah Putu akan menepati janji dengan membatalkan transaksi, lalu BBPN memprosesnya secara hukum? Jawabnya, lihat dan tunggu saja. Iwan Setiawan, P.D. Prabandari, Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus