Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sst, Ada Hadiah buat Debitor Kakap

Melalui keputusan yang diambil Komite Kebijakan Sektor Keuangan, pemerintah menghadiahkan perpanjangan masa pembayaran dan keringanan bunga utang bagi para pemilik bank. Inikah cermin keluguan, ketidakmampuan, atau ada sesuatu di balik semua itu?

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang tidak cemburu kepada konglomerat? Belum lagi tahun 2001 berakhir, mereka sudah diiming-imingi hadiah menggiurkan dari pemerintah. Padahal dulu mereka pula yang dengan mudah menangguk utang berlimpah. Lalu, ketika usahanya digulung krisis, pemerintah pun datang bagaikan juru selamat, mengambil alih utang itu seraya mengucurkan pinjaman baru. Kini, ketika mereka tak mampu mem-bayar kewajibannya, buru-buru pemerintah memperpanjang masa pembayarannya. Bahkan bunganya diringankan. Kebijakan yang terakhir inilah yang diputuskan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Selasa dua pekan silam. Para pengusaha papan atas yang juga debitor kakap itu bak mendapatkan durian runtuh: masa pembayaran utangnya diperpanjang dari 4 tahun menjadi 10 tahun, sedangkan bunganya diturunkan dari mengikuti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi minimal 9 persen. Selain itu, mereka yang membayar tunai 25 persen akan mendapatkan diskon pokok 25 persen. Kebijakan ini berlaku untuk semua pemilik bank yang ditutup ataupun diambil alih pemerintah, termasuk mereka yang meneken master of settlement and acquisition agreement (MSAA) pada 1998 lalu. "Waktu mereka tinggal setahun dari empat tahun untuk membayar utang. Jelas mereka tidak akan sanggup. Kita realistis sajalah," kata Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I P.G. Ary Suta. Ary Suta memang benar. Dari sembilan pemilik bank yang meneken MSAA ataupun master of refinancing agreement (MRA), hanya Grup Salim yang sudah membayar dalam jumlah lumayan. Sampai akhir tahun lalu, Salim sudah menyetor Rp 16,25 triliun atau sekitar sepertiga dari kewajibannya. Lalu menyusul Danamon, yang baru membayar Rp 900 miliar dari total utang Rp 12,5 triliun. Yang lain praktis masih nol besar (selengkapnya lihat tabel). Pemilik bank yang dibekukan sama saja. Dari 39 bank yang ditutup, cuma 12 bank yang beres. Yang lainnya default (gagal bayar). "Ada Rp 14 triliun yang tersangkut di 39 bank ini," kata Ary Suta lagi. Dia tidak yakin, jika tidak ada terobosan, mereka akan sanggup membayar utangnya. Masalahnya tentu saja beban rakyat tak ikut berkurang gara-gara kebijakan itu. Setiap tahun rakyat diharuskan berpartisipasi menanggung beban bank-bank yang dihancurkan para konglomerat itu. Tahun ini, bunga obligasi rekap yang mesti dipikul rakyat berjumlah Rp 61 triliun dan tahun depan Rp 59 triliun. Pada saat yang sama, sang konglomerat malah menikmati keringanan yang luar biasa. Dengan memperhitungkan bunga SBI 17,6 persen, Sjamsul Nursalim, misalnya, memperoleh keringanan bunga sampai Rp 2,5 triliun per tahun, sementara Usman Admadjaja memetik diskon bunga Rp 1 triliun per tahun. Begitu pula konglomerat lain, tanpa kecuali, menikmati kemudahan yang dikucurkan oleh KKSK tersebut. Memang, seperti dikatakan Ary Suta, BPPN tahun depan bakal dikejar target untuk mengumpulkan dana setoran Rp 42,8 triliun sebagaimana yang dipatok dalam RAPBN 2002. Dengan kondisi aset yang ada, BPPN akan sulit menghimpun dana sebesar itu. Dalam program penjualan tahun depan, BPPN banyak mengandalkan penerimaan dari penjualan aset properti. Mengingat bisnis properti sekarang dilanda lesu berat, tidak gampang buat BPPN untuk meraup dana dalam jumlah besar. Selain itu, kondisi aset konglomerat—di luar aset Grup Salim—juga payah. Perusahaan-perusahaan yang diagunkan Sjamsul Nursalim, misalnya, masih merugi tahun ini, meski tak sebesar tahun lalu. Menurut Ary Suta, dengan iming-iming diskon sampai 25 persen, BPPN berharap para konglomerat ini bisa membayar tunai ke-wajibannya. "Jika tidak melakukan terobosan ini, pemerintah bisa tidak mendapatkan apa-apa," kata Ary Suta. Sekretaris KKSK, Syafruddin Temenggung, menambahkan bahwa pemberian fasilitas itu tidaklah gratis. Katanya, konglomerat itu harus meneguhkan komitmennya untuk membayar utang sampai 31 Maret nanti. "Jika mereka tidak mau memberikan komitmennya, kita akan mengajukan mereka ke Kejaksaan Agung." Namun, pernyataan segagah itu bukanlah yang pertama keluar dari mulut pejabat pemerintah. Sudah berkali-kali para konglomerat melanggar kesepakatan, tapi pemerintah tak kunjung hilang kesabarannya. Luar biasa, memang. Buktinya, ketika para konglomerat tidak membayar 27 persen cicilan utangnya pada tahun pertama, nah, pemerintah terkesan sangat bisa memaklumi kenakalan itu. Padahal, dengan wanprestasi itu, BPPN berpeluang membatalkan MSAA yang nyata-nyata merugikan negara dan rakyat. Seharusnya pemerintah menagih aset tambahan untuk mereka yang nilai asetnya turun dan juga menghilangkan pasal release and discharge yang membuat para konglomerat itu tenang-tenang saja. Ekonom Dradjad H. Wibowo dari Institute for Development, Economics and Finance (Indef) sangat menyesalkan keputusan KKSK itu. Menurut dia, ada sejumlah soal yang patut dipertanyakan. Pertama, apakah KKSK dan BPPN punya kewenangan untuk mengubah MSAA. Jika mereka tidak punya kewenangan, perpanjangan pelunasan utang itu jelas merupakan pelanggaran yang tidak ringan. Setidaknya DPR mesti mengetahui masalah ini mengingat usia BPPN sudah ditetapkan empat tahun. Itu berarti perpanjangan pelunasan utang hanya akan membuat pemerintah tidak bisa tuntas menyelesaikan masalah mega-utang yang jelas-jelas membebani negara itu. Dalam hal ini, para ahli hukum mungkin bisa diberi wewenang melakukan uji materiil untuk menetapkan apakah kebijakan KKSK itu tidak melanggar peraturan lain yang lebih tinggi. Selain itu, Dradjad menilai, dalam urusan utang pemilik bank, BPPN selalu memosisikan diri sebagai pihak yang lemah. Dalam MSAA, misalnya, dia melihat dua kelemahan men-colok, yakni tidak adanya perhitungan utang dolar dibayar dengan dolar dan tidak ada fasilitas lindung nilai (hedging) ketika melakukan pertukaran aset dengan utang. "Semua ini harus dilakukan untuk mengurangi risiko kurs dan kemungkinan terjadinya penurunan nilai aset," katanya. Di luar itu, ada kelemahan lain yang fatal, termasuk pasal mengenai release and discharge, sehingga mereka yang melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK) bisa melenggang aman. "Hasilnya apa? Kalaupun mereka menyerahkan aset bodong kepada pemerintah, tidak akan ada sanksi apa-apa," katanya. Dradjad terang-terangan mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan masalah utang yang diwariskan konglomerat jebolan Orde Baru itu. Soalnya, pemerintah ditipu berkali-kali, tapi tetap setia memberikan keringanan kepada mereka. "Apa ada jaminan bahwa setelah 10 tahun soal ini bakal selesai?" katanya. Jangan-jangan, ketika 10 tahun hampir lewat dan para pemilik bank belum juga melunasi utangnya, pemerintah akan mem-berikan keringanan dalam bentuk yang lain. Pendeknya, Dradjad tidak bisa menerima kebijakan itu. Dia bahkan menduga, jangan-jangan ada agenda lain di balik kemudahan dan keringanan ini. Harus diakui, pemerintah memang berkali-kali mencetak blunder, baik ketika membuat berbagai perjanjian maupun ketika perjanjian itu diterapkan. Dalam soal penurunan nilai aset, misalnya, BPPN sama sekali tidak berdaya. Dalam hitungan para analis, nilai aset yang diserahkan Grup Salim turun sampai Rp 20 triliun-25 triliun dan ini dibenarkan oleh Ketua BPPN yang dulu, Cacuk Sudarijanto. Begitu pula dengan aset Sjamsul Nursalim, yang menurut bekas Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie, tinggal Rp 2 triliun. Pemerintah sebetulnya sudah minta mereka menyerahkan aset tambahan dan MSAA akan diamandemen. Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli pada pertengahan November 2000 dengan bangga menyatakan bahwa sejumlah konglomerat sudah menyerahkan aset tambahan. Faktanya? Sampai kini tak jelas bagaimana nasib amandemen MSAA itu. Tak bisa lain, pemerintah mesti bertindak tegas dan, kalau perlu, menggiring para konglomerat ke meja hijau. "Ini memang aneh. Yang berutang kok malah lebih galak," kata Ketua Oversight Committee (Komite Pengawas) BPPN, Mar'ie Muhammad. Untuk itulah BPPN harus membuat kriteria mana konglomerat yang kooperatif dan mana yang tidak. Mereka yang tidak bisa bekerja sama harus diserahkan ke Kejaksaan Agung. Anggota Komisi IX, Rizal Jalil, pun sepakat bahwa kebijakan KKSK tidak bisa diterapkan untuk semua konglomerat. Dan Mar'ie pun mewanti-wanti, "Kita tidak bisa dipermainkan lagi oleh yang bandel." Dengan atau tanpa kriteria, ternyata hasilnya sama saja: nol besar. Dengan perpanjangan utang dan peringanan bunga seperti yang ditetapkan KKSK, hasilnya bisa lebih mengecewakan. Kecuali tentu bila BPPN di bawah Ary Suta mampu membuktikan lain. M. Taufiqurohman, Purwani Diyah Prabandari, Dewi Rina Cahyani, Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus