SEMENTARA di Poso, Sulawesi Tengah, kelompok Islam dan Kristen yang sedang bertikai sepakat duduk di meja perundingan, di Ambon mereka justru kembali berseteru. Rabu pekan lalu, sekitar pukul 06.20 WIT, sebuah speed boat yang sedang melaju di perairan Teluk Ambon diserang kelompok tidak dikenal. Sembilan dari 11 penumpangnya tewas.
Oya Manuputty, salah satu penumpang yang selamat, hingga kini masih dirawat di Rumah Sakit TNI Hallong. Diharapkan, dari keterangan korban, aparat bisa menemukan titik terang siapa pelaku tindak keji itu.
Menyusul insiden itu, ribuan warga—terutama pegawai negeri, mahasiswa, dan dosen—yang selama ini menggunakan lalu-lintas laut terpaksa menghentikan aktivitasnya. Sampai Jumat pekan lalu, lalu-lintas di perairan Teluk Ambon praktis lumpuh. Masyarakat masih mengalami trauma dan takut terjadi penembakan lagi.
Guna mencegah meluasnya konflik, rencananya akan didatangkan 120 pasukan TNI tambahan. Selain jumlah itu, menurut Pangdam XVI Pattimura, Brigjen Mustopo, pihaknya juga sudah menyiapkan pasukan pemukul untuk ditempatkan di daerah rawan pertikaian seperti kawasan Kapaha, Tantui, dan Ruko Batu Merah. ”Kami akan menempatkan pasukan terbaik,” ujar Mustopo.
Persoalannya, apakah penempatan pasukan terbaik akan menghentikan pertikaian. Tidak ada jaminan. Soal aparat keamanan, sebenarnya ada pos terapung milik TNI AL di perairan tersebut. Nyatanya, pos yang dijaga oleh puluhan marinir itu seperti tidak banyak membantu. Soal ini, ”Kami tidak bisa berbuat banyak karena sarana yang kami punya terbatas, sementara daerah konflik sangat luas,” kata Kapten M. Tahir, Perwira Seksi Intel Lanal Ambon.
Dalam sebulan terakhir, situasi Ambon cenderung memanas. Akhir November silam, tragedi serupa juga terjadi di perairan yang sama. Empat dari sepuluh penumpang kapal kecil bermesin itu tewas tertembus peluru. Pelaku aksi keji ini juga masih gelap hingga kini.
I G.G.M. Adi, Johan Budi, Mustafa Ismail, dan Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini