Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERSIAPLAH, menginjak kuartal IV-2017, ekonomi Indonesia akan kembali masuk siklus melambat. Pola ini sudah lama menjadi tradisi. Pada kuartal keempat, setiap tahun pertumbuhan ekonomi Indonesia per kuartal selalu negatif. Masalahnya, tahun ini situasinya bisa lebih buruk jika melihat angka penerimaan pajak hingga September 2017.
Setidaknya, begitulah kecemasan di kalangan pengusaha. Penerimaan pajak pemerintah per September 2017 baru mencapai 60 persen dari anggaran. Tentu akan ada upaya kian agresif untuk mengejar setoran sekuat tenaga pada kuartal terakhir 2017. Jika pemerintah agresif menyedot pembayaran pajak, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, dana pelumas pertumbuhan ekonomi akan menyusut, ekonomi melesu. Atau, alternatif kedua, jika pemerintah dengan cepat dan efisien bisa membelanjakan kembali uang itu, ekonomi bisa tetap bergerak.
Sayangnya, jika melihat pola pertumbuhan per kuartal yang selalu negatif pada akhir tahun, sepertinya kemungkinan pertamalah yang berlaku selama ini. Sedotan pajak justru menjadi rem pelamban ekonomi. Sedangkan belanja pemerintah yang umumnya mengalir jauh lebih kencang menjelang akhir tahun tetap tak mampu mempercepat putaran roda ekonomi.
Dan masih ada satu lagi masalah. Sejak 2015, perlambatan ekonomi malah muncul lagi pada kuartal pertama setiap tahun. Itu terjadi pada 2015, 2016, hingga 2017 ini. Karena itu, laju ekonomi selama kuartal II dan III menjadi sangat krusial. Ibaratnya, pertumbuhan pada kuartal II dan III menjadi modal untuk mengkompensasi perlambatan yang terjadi pada kuartal I dan kuartal IV.
Sekadar catatan, selama kuartal II-2017, ekonomi Indonesia tumbuh 4 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2017 baru akan keluar datanya awal November mendatang. Jika pertumbuhan kuartal II dan III cukup kencang, walhasil secara tahunan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,1 persen sesuai dengan target meski pada kuartal IV-2017 kembali ada pertumbuhan negatif.
Persoalannya, pemerintah tak punya pilihan selain berusaha sekeras-kerasnya menggenjot pajak. Jika ada kekurangan penerimaan pajak yang signifikan, kredibilitas anggaran bisa terancam. Defisit melonjak. Investor di pasar sebetulnya dengan saksama sedang mengamati soal ini untuk mencari kesempatan. Lonjakan defisit akan membuat harga obligasi pemerintah di pasar melorot.
Harga obligasi pemerintah turun berarti imbal hasil atau yield-nya naik. Rentetan kenaikan yield bisa panjang dan menambah beban pada ekonomi secara keseluruhan. Pemerintah Indonesia harus menanggung ongkos berutang yang lebih besar yang pada gilirannya akan pula membebani korporasi milik negara ataupun swasta.
Ini memang pekerjaan yang berat: bagaimana menyedot pembayaran pajak agar tidak defisit, tapi pada saat yang sama pemerintah harus meminimalkan dampaknya pada pertumbuhan. Akan lebih baik lagi jika pemerintah menyiapkan serangkaian aksi agar masalah baru yang berjangkit sejak 2015-ekonomi mengerut pada setiap kuartal pertama-tidak muncul lagi pada 2018.
Yang mencemaskan, persoalan yang tak ringan ini datang bersamaan dengan situasi pasar global yang kian mencemaskan. Dampak kebijakan The Federal Reserve yang akan memangkas aset dan menaikkan bunga sudah terasa menekan rupiah. Celakanya, agenda politik belakangan ini justru semakin dominan menguasai wacana dan agenda pemerintahan. Pejabat dan politikus sudah terlalu sibuk memikirkan Pemilihan Umum 2019 ketimbang menangani persoalan ekonomi yang sekarang ada di depan mata.
Yopie Hidayat
Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo