Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengadilan menetapkan Hengky Setiawan, bos Tiphone Mobile Indonesia, dalam status pailit.
Telkom berpotensi merugi atas pembelian saham Tiphone pada 2014 yang sarat masalah.
Penyelidikan KPK mengendus aliran dana mencurigakan ke sejumlah perusahaan cangkang.
SEORANG pria berkaus cokelat bertulisan “Brimob” sedang menyirami taman di luar pagar tembok salah satu rumah megah di kompleks Pantai Mutiara, Jakarta Utara. Celananya dilipat selutut. “Kasih suratnya ke satpam,” ujarnya, Selasa, 6 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria lain keluar dari balik gerbang besi tempa bergaya klasik setinggi 2 meter. Sama-sama berkelir cokelat, t-shirt yang dikenakan pria itu disablon dengan tulisan sedikit berbeda: “Air Brimob”. “Nanti saya sampaikan,” kata Budi—begitu pria itu menyebutkan namanya ketika menerima amplop putih dari Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amplop itu berisi surat permohonan klarifikasi untuk pemilik rumah, Hengky Setiawan. Pendiri sekaligus Komisaris Utama PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk ini baru saja dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 9 Juli lalu.
Acara penandatanganan kerja sama pemanfaatan produk dan layanan mobile banking antara PT Bank Sinarmas Tbk dan PT Tiphone Mobile Indonesia di Jakarta, 11 November 2011. ANTARA/Febrianto Wibowo
Status pailit disematkan kepada Hengky dan istrinya, Lim Wan Hong, menyusul tak tercapainya upaya damai dalam proses gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan PT Bank Ganesha Tbk sejak 10 September 2020. Hengky terseret karena menjadi penjamin pribadi (personal guarantor) atas utang macet PT Prima Langgeng Towerindo senilai Rp 100,6 miliar, berupa pokok kredit dan bunganya, kepada Bank Ganesha.
Putusan pengadilan itu menambah tumpukan masalah yang tengah dihadapi “Si Raja Voucher”, julukan Hengky selama ini. Sebulan sebelumnya, 2 Juni lalu, Bursa Efek Indonesia juga mengumumkan kepada publik potensi penghapusan pencatatan saham (delisting) Tiphone. Sudah setahun lebih otoritas bursa menghentikan perdagangan TELE—kode saham Tiphone—yang juga terbelit utang gagal bayar senilai Rp 3,2 triliun.
Dua kabar tak sedap itu kini menyeret PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. Raksasa telekomunikasi milik negara itu masih menggenggam 24 persen saham TELE yang tujuh tahun lalu diborong lewat anak usahanya, PT PINS Indonesia, senilai Rp 1,39 triliun. Transaksi yang beberapa tahun terakhir membikin gaduh, karena dianggap sarat keganjilan, ini kembali menjadi bahan pergunjingan di kalangan investor telekomunikasi, termasuk pemegang surat utang Tiphone.
•••
DIRILIS pada 29 April lalu, laporan keuangan tahunan 2020 PT Telkom Indonesia menggambarkan hasil akhir investasi jumbo yang dimulai tujuh tahun lalu. Saldo penyertaan jangka panjang Telkom di Tiphone kini kosong. Laporan itu menyebutkan manajemen Telkom telah memutuskan untuk membukukan penyisihan penuh terhadap investasi di Tiphone per 31 Desember 2020 lantaran ragu akan kelangsungan bisnis yang dibangun Hengky Setiawan tersebut.
Nilai penyertaan jangka panjang Telkom di Tiphone sebenarnya sudah merosot tajam pada akhir 2019, tersisa Rp 526 miliar dari saldo akhir tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1,6 triliun. Penurunan nilai investasi senilai Rp 1,17 triliun ini dicatat sebagai kerugian yang mengurangi angka laba usaha. Begitu pula dalam pembukuan tahun lalu, laba usaha Telkom kembali berkurang, di antaranya berasal dari kerugian penurunan nilai investasi di Tiphone yang kini menjadi nol rupiah.
Kerugian Telkom akibat penurunan nilai investasi di Tiphone itu seakan-akan menjadi jawaban terbaru atas kasak-kusuk yang beredar seusai kemunculan Slamet Riyadi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pada 1 Oktober 2020. Kala itu, tak cukup jelas dalam kasus apa KPK memanggil Slamet, Direktur Utama PT PINS Indonesia periode Mei 2013-April 2014.
Mantan Direktur Utama PT PINS Indonesia Slamet Riyadi usai dimintai keterangan tim penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung Merah Putih, Jakarta, 1 Oktober 2020. TribunNews/Ilham Rian Pratama
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, saat itu hanya mengkonfirmasi pemanggilan Slamet untuk kasus yang baru masuk tahap penyelidikan. “(Terkait dengan) Telkom,” ujar Ali. Sedangkan Slamet tak banyak berbicara, hanya menyebutkan bahwa ia baru pertama kali dipanggil KPK.
Informasi tentang kasus itu justru datang dari seorang pengusaha bisnis telekomunikasi. Kepada Tempo, dua pekan setelah pemanggilan Slamet, pengusaha itu mengungkapkan bahwa penyelidikan KPK adalah buah dari laporan koleganya, Hengky Setiawan. Menurut dia, Hengky melaporkan dugaan transaksi ganjil di balik pembelian saham Tiphone oleh Telkom melalui anak usahanya, PT PINS Indonesia. “Bukan hanya nyanyi, tapi sudah konser si Hengky,” kata pengusaha itu.
Dalam kesempatan terpisah, seorang pejabat di lingkaran badan usaha milik negara dan seorang penegak hukum memberikan informasi yang sama. Keduanya mengungkapkan bahwa dugaan transaksi ganjil itu ditengarai melibatkan sejumlah pensiunan dan pejabat Telkom, juga Indra Widjaja, Presiden Komisaris PT Sinar Mas Multiartha Tbk, yang memegang kemudi bisnis Grup Sinar Mas di sektor keuangan.
Keputusan Telkom memborong saham Tiphone pada medio September 2014 menjadi titik tolak kasus ini. Pembelian saham senilai Rp 1,39 triliun itu ditengarai mengabaikan temuan sejumlah kantor hukum dan akuntan publik yang menunjukkan besarnya risiko dalam rencana pembelian Tiphone.
Pada 22 April 2014, misalnya, Hanafiah Ponggawa & Partners Law Firm (HPP) mencatat sejumlah persoalan di tubuh Tiphone. Kantor hukum yang menjadi konsultan transaksi Telkom ini tak menemukan laporan keuangan tahunan Tiphone kepada Kementerian Perdagangan. Laporan keuangan terakhir yang teraudit juga nihil. Sedangkan Tiphone disinyalir menjamin banyak utang pihak lain—persoalan yang sekarang membuat Hengky dan kerajaan bisnisnya berstatus pailit.
Namun, kurang dari sebulan kemudian, pada 12 Mei 2014, PINS tetap menandatangani berita acara perjanjian pengikatan jual-beli dan perjanjian pemegang saham (CSPA) dengan PT Upaya Cipta Sejahtera dan PT Esa Utama Inti Persada, dua entitas milik Hengky Setiawan yang menguasai saham Tiphone. Kesepakatan ini juga melibatkan PT Sinarmas Sekuritas, arranger transaksi.
Dua bulan selanjutnya, pada 22 Juli 2014, rapat direksi Telkom menyetujui rencana pembelian saham Tiphone oleh PINS senilai maksimal Rp 1,58 triliun. Dana ini disiapkan langsung dari kantong Telkom untuk PINS. Surat persetujuan tersebut diparaf oleh Arief Yahya, Direktur Utama Telkom saat itu, yang selanjutnya akan meminta restu kepada dewan komisaris dan rapat umum pemegang saham.
Pada 7 Agustus 2014, giliran Vice President Strategic Business Development Telkom saat itu, Setyanto Hantoro, mengirimkan nota dinas kepada Direktur Keuangan Telkom, meminta modal transaksi disiapkan. Atasan langsung Setyanto saat itu adalah Indra Utoyo, Direktur Innovation and Strategic Portfolio Telkom yang kini menjabat Direktur Digital dan Teknologi Informasi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
Sebelum transaksi dieksekusi, pada 8 September 2014, kantor akuntan publik RSM AAJ sebenarnya juga menyampaikan hasil uji tuntas terhadap Tiphone. Dalam catatan ini, selama proses uji tuntas, mereka hanya bisa membaca laporan keuangan teraudit TELE di tempat, tak diperbolehkan menyalinnya. Dalam estimasi RSM AAJ, yang sejak 2015 berganti nama menjadi RSM Indonesia, data yang mereka peroleh cuma 50-60 persen.
RSM juga tidak bisa menghitung persediaan barang dagangan dan aset Tiphone (stock opname) yang lazimnya dilakukan untuk mengecek kesesuaian standar akuntansi. Kantor akuntan publik itu juga tidak beroleh data beberapa perusahaan afiliasi Tiphone, terutama informasi material. “Total ada 18 reserve matters dalam uji tuntas itu,” tutur seorang pejabat badan usaha milik negara yang mengetahui detail transaksi Telkom tujuh tahun lalu tersebut.
Seperti halnya hasil uji tuntas HPP, catatan RSM tidak berhasil menghadang laju transaksi. Pada medio September itu, Telkom melalui PINS Indonesia akhirnya memborong saham Tiphone senilai total Rp 1,39 triliun dalam dua tahap.
Pembelian saham tahap pertama dilaksanakan pada 11 September 2014. PINS menggelontorkan dana Rp 876,7 miliar untuk membeli 1,11 miliar lembar saham TELE. Saham itu dibeli dari empat pemegang saham lama, yaitu PT Sinarmas Asset Management, Interventures Capital Pte Ltd, Boquete Group SA, dan Top Dollar Investment Ltd.
Sebagai pemegang 15 persen saham Tiphone, PINS selanjutnya menambah kepemilikannya dengan menyerap saham baru yang diterbitkan TELE dalam penambahan modal tanpa hak memesan efek lebih dulu pada 18 September 2014. Nilai transaksinya mencapai Rp 518,2 miliar untuk 638 juta lembar saham baru Tiphone. Kepemilikan PINS terhadap saham TELE bertambah menjadi 25 persen.
Keputusan Telkom memborong saham Tiphone, di tengah segudang persoalan yang ditemukan dalam proses uji tuntas, itulah yang memantik syak wasangka. Seorang penegak hukum mengungkapkan, dalam penyelidikan, KPK mendapati petunjuk awal berupa dugaan transaksi lain yang juga mengalir hampir bersamaan dengan jual-beli saham Tiphone.
Informasi tentang aliran dana itu bersumber dari surat elektronik dari seseorang bernama Ai Jun Tjioe kepada Suherli—saat itu Direktur PT Sinarmas Sekuritas. “Seperti yang sudah kita diskusikan, dan atas perintah Pak Indra, tolong transfer dana ke sini,” kata Tjioe dalam surat elektronik yang juga bertuliskan nama sebuah perusahaan, Phoenix Castle Investment Ltd, berikut nomor akun banknya.
Dalam surat elektronik tersebut juga tertulis permintaan agar detail akun perusahaan diinformasikan kepada seseorang bernama “Pak Kokar”. Kokar yang dimaksud ditengarai adalah Kokarjadi Chandra—saat itu Direktur Utama Sinarmas Sekuritas. Adapun Indra diduga adalah Indra Widjaja.
Penyelidik juga mendapat petunjuk selanjutnya berupa perintah pemindahan dana ke rekening Golden Hill Prime Investment Pte Ltd di Bank DBS Singapura. Nilainya mencapai US$ 1,4 juta. Tak seperti Phoenix Castle yang jejaknya masih gelap, informasi tentang Golden Hill Prime Investment pernah terekam dalam Offshore Leak, bocoran perusahaan cangkang di bawah keagenan Portcullis TrustNet dan Commonwealth Trust Limited yang dipublikasikan Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) pada 2013. Database Offshore Leak mencatat Golden Hill berdiri pada 2004. Beberapa nama orang Indonesia pernah terhubung dengan perusahaan ini sebagai pengurus.
Transfer dana senilai US$ 1,4 juta ke perusahaan cangkang di Singapura itulah yang menarik perhatian penyelidik karena disiapkan hanya berselang beberapa hari menjelang rampungnya semua proses pembelian saham Tiphone oleh PINS Indonesia. Di sisi lain, penyelidik mensinyalir ada kepentingan Sinar Mas dalam pembelian tersebut.
Untuk membeli saham Tiphone yang sebelumnya dikuasai PT Sinarmas Asset Management, Telkom menggelontorkan dana US$ 102 miliar. Sedangkan perusahaan cangkang yang ikut menjual saham Tiphone kepada PINS Indonesia diduga juga terhubung dengan Sinar Mas. Boquete Group SA, yang meraup dana Rp 356,2 miliar dari penjualan saham Tiphone, misalnya, tercatat pernah menjadi pemegang obligasi wajib konversi II dan III PT Smartfren Telecom Tbk, emiten telekomunikasi bagian dari Grup Sinar Mas lewat PT Dian Swastatika Sentosa Tbk.
Pada September tahun lalu, Boquete, perusahaan berbendera Panama, menukar sebagian dari obligasi wajib konversi itu dengan saham baru seri C Smartfren. Dalam transaksi tersebut, manajemen Smartfren menyatakan Boquete tak terafiliasi dengan Sinar Mas.
Tempo berupaya meminta klarifikasi kepada Indra Widjaja sejak dua pekan lalu. Surat permohonan wawancara, lengkap dengan daftar pertanyaan untuk meminta klarifikasi atas beberapa informasi tersebut, telah dikirimkan ke rumah pribadi Indra di Jalan Salatiga Nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 6 Juli lalu. Kala itu, penjaga rumah bernama Bambang menyebutkan bosnya sedang berada di kantor.
Surat klarifikasi juga dikirimkan ke kantor Sinarmas Multi Artha. Seorang pegawai turun dari lantai 9 Sinarmas Land Plaza untuk menerima surat itu.
Tempo juga menghubungi Ferita Tanudjaja, Direktur Sinarmas Sekuritas. Pada Kamis, 8 Juli lalu, Ferita meminta surat yang ditujukan kepada bosnya dikirimkan lewat dia. Ferita berjanji memberikan klarifikasi sebelum 15 Juli 2021, Kamis pekan lalu. Namun, pada hari yang dijanjikan, Ferita mengabarkan bahwa Sinar Mas memutuskan tidak menjawab pertanyaan. “Pesan beliau (Indra Widjaja), mohon agar memberitakan sesuai dengan bukti, bukan berdasarkan keterangan sepihak,” tulis Ferita lewat pesan WhatsApp.
Dihubungi sejak Rabu, 14 Juli lalu, Arief Yahya tidak merespons upaya klarifikasi Tempo tentang keputusannya melanjutkan transaksi pembelian saham Tiphone. Arief juga tidak menjawab pertanyaan yang dikirimkan Tempo lewat pesan WhatsApp. Tujuh tahun lalu, sebulan setelah pembelian Tiphone oleh PINS, Arief dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pariwisata.
Setyanto Hantoro meminta semua pertanyaan tentang transaksi itu diajukan kepada Telkom. “Saya sudah enggak berhak ngomong. Ditanyakan ke Telkom saja,” ucap Anto—begitu Setyanto biasa dipanggil—lewat pesan WhatsApp, Selasa, 6 Juli lalu. Anto baru saja dicopot dari posisi Direktur Utama Telkomsel pada 28 Mei 2021.
Adapun Indra Utoyo menegaskan bahwa akuisisi tujuh tahun lalu itu telah melewati proses panjang dan ketat yang dilakukan oleh satuan tugas khusus. “Saat itu Tiphone merupakan salah satu distributor utama Telkomsel. Tiphone juga distributor beberapa merek telepon seluler ternama,” kata Indra pada Jumat, 16 Juli lalu. “Akuisisi ini sejalan dengan strategi Telkom yang ingin masuk ke ekosistem device, network, dan apps.”
Senior Vice President Corporate Communication & Investor Relations Telkom Ahmad Reza membenarkan adanya sejumlah catatan dari konsultan dalam proses akuisisi Tiphone pada 2014. Tapi dia memastikan kajian dari setiap konsultan telah diperhitungkan dalam nilai valuasi saham. “Hasil tersebut pada akhirnya diputuskan oleh manajemen dengan pertimbangan utama bahwa potensi benefit diprediksi melampaui nilai investasi dan risikonya,” ujar Reza dalam jawaban tertulis, Jumat, 16 Juli lalu.
•••
SEPANJANG sepuluh bulan setelah pemeriksaan Slamet Riyadi, mantan Direktur Utama PINS Indonesia, praktis tak ada kabar lagi dari Gedung Merah Putih—markas Komisi Pemberantasan Korupsi—tentang kelanjutan penyelidikan kasus yang diduga menyeret Telkom. Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, tak merespons pertanyaan yang dilayangkan Tempo, Kamis, 15 Juli lalu.
Yang sudah pasti saat ini: pengadilan menetapkan Hengky Setiawan berstatus pailit. Status ini bisa mengancam kelangsungan kerajaan bisnis penunjang layanan seluler yang ai bangun tiga dekade terakhir. Apalagi masalah Tiphone bukan sekadar ancaman delisting dari bursa saham. Laporan keuangan TELE per 30 September 2020 menggambarkan krisis yang sedang dihadapi Tiphone. Utang jangka pendek perseroan menggelembung, sementara ekuitasnya terus anjlok ke level minus Rp 2,28 triliun.
Masalah utang pula sebenarnya yang sempat membuat hubungan Hengky dan Grup Sinar Mas merenggang pada awal tahun lalu. Keduanya saling gugat di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas masalah tunggakan utang di PT Bank Sinarmas Tbk. Di masa-masa inilah, kata seorang pengusaha yang dekat dengan Hengky, ada kolega yang menggelar “konser” tentang transaksi ganjil tujuh tahun lalu kepada penegak hukum.
Belakangan, di tengah nasib penyelidikan KPK yang tanpa kabar kelanjutan, perseteruan Hengky dengan Sinar Mas mereda. Kedua kubu secara bergantian mencabut gugatan.
Seorang pejabat di lingkungan badan usaha milik negara yang mengetahui persoalan ini mengungkapkan, negosiasi perdamaian yang dimulai pada pertengahan 2020 itu tak hanya melibatkan Hengky dan Sinar Mas, tapi juga Telkom. Kesepakatan segitiga tercapai. Sinar Mas setuju melonggarkan kewajiban utang Hengky dan perusahaan afiliasinya. Grup Telkom berkomitmen memberikan kuota distribusi voucher pulsa kepada Tiphone dengan syarat bisa membayar di muka. “Tiphone akan mencari investor baru untuk mendanai kerja mereka,” tutur pejabat itu.
Karyawan di Gerai Telkom Indonesia, Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto
Ditanyai soal negosiasi itu, Ahmad Reza tak membantah ataupun mengiyakan. “Saat kinerja TELE tidak lagi prospektif tentunya Telkom berupaya menjajaki berbagai alternatif solusi yang terbaik,” kata Reza. “Untuk itu, tidak tertutup kemungkinan adanya pertemuan dengan pihak-pihak eksternal yang berkepentingan, seperti calon pembeli saham, pemegang saham existing, ataupun pihak lain.”
Reza hanya menjamin pertemuan-pertemuan tersebut beriktikad baik, berintegritas, dan memenuhi prinsip good corporate governance. Meski telah menyisihkan investasi perusahaan di Tiphone, menurut Reza, Telkom menilai sinergi yang selama ini terbangun dengan TELE telah memberikan keuntungan lebih besar dibanding nilai pembelian saham pada 2014.
Dia mengatakan laba Telkom telah melompat, di antaranya berkat kenaikan angka penjualan pulsa prabayar Telkomsel ke Tiphone. “Nilai benefit tersebut sudah diverifikasi oleh salah satu eksternal expert yang berkompeten,” ucap Reza dalam jawaban tertulis, Jumat, 16 Juli lalu. Reza tidak menyebutkan pakar-pakar yang dimaksud.
Di tengah ramainya pergunjingan tentang nasib bisnisnya, Hengky bak lenyap ditelan bumi. Pada Oktober tahun lalu, setelah KPK meminta keterangan Slamet Riyadi, Hengky sempat mengangkat panggilan telepon dari Tempo. Tapi pria 52 tahun itu langsung menutup sambungan telepon begitu Tempo memperkenalkan diri.
Kini, lebih dari sepekan ditunggu, Hengky tak kunjung merespons surat permintaan klarifikasi. Andi Simangunsong, pengacaranya dalam gugatan pailit Bank Sinarmas dan Bank Ganesha, berjanji mengingatkan kliennya tentang permohonan wawancara Tempo. “Sudah disampaikan,” ujar Andi, Jumat, 16 Juli lalu. “Enggak ada respons.”
Pada Selasa siang, 6 Juli lalu, Tempo juga mengirim surat permintaan klarifikasi ke Telesindo Tower, kantor Hengky di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Telesindo adalah nama kendaraan bisnis Hengky yang belakangan dinaungi Tiphone. Seorang penjaga yang menerima surat itu mengungkapkan bahwa gedung tersebut telah bersalin nama menjadi Lawu Tower tiga bulan lalu.
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo