Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH tahun silam, ketika Astra direnggut darinya, William Soeryadjaya cuma pasrah menunjuk ke atas, berserah diri kepada Tuhan. Tapi tidak untuk kali ini. Kakek berusia 80 tahun itu kini datang mengadu ke polisi. Melalui kuasa hukumnya, sebulan lalu, ia melaporkan Theodore Permadi Rachmat, Presiden Direktur Astra sekaligus keponakannya sendiri, atas sebuah tuduhan gawat: menggelapkan uang keluarga Soeryadjaya senilai US$ 4 juta atau sekitar Rp 40 miliar.
Kisruh berawal dari utang Astra Holland BV kepada NV Indonesische Overzeese Bank (Indover) di Belanda. Pada 1984, Astra International mengeluarkan jaminan atas kewajiban itu untuk nilai kredit sebesar-besarnya 12 juta gulden. Saat jatuh tempo, utang pun ditagih Indover. Karena terkait dengan keluarga Soeryadjaya, Edwin Soeryadjaya, putra kedua William dan kini salah satu komisaris Astra, sebagai garansi pelunasannya, meneken surat jaminan pribadi kepada Astra senilai US$ 4 juta. Pendek kata, dari duit hasil melego saham keluarga Soeryadjaya di Multico Singapura, pada 1996, Edwin lantas menyetorkannya ke manajemen Astra.
Beres? Sengketa justru dimulai. Tahu-tahu William malah dicekal di Belanda. Dituduh mengemplang utang, pendiri kerajaan Astra ini juga digugat perdata oleh Indover. Selidik punya selidik, baru ke-tahuan bahwa setoran US$ 4 juta itu ternyata bukan hanya tak pernah diserahkan ke Indover, tapi bahkan raib tak berbekas. Keluarga Soeryadjaya terang meradang. Berkali-kali William dan Edwin berkirim surat ke Teddy—panggilan Theodore Rachmat—minta supaya uang mereka dikembalikan. Tapi berkali-kali itu pula surat tak digubris. Enam tahun terkatung-katung, akhirnya kesabaran William habis. Dan meluncurlah peng-aduan itu.
Soal itu dikonfirmasikan Wakil Kepala Humas Kepolisian RI Brigjen Edward Aritonang. Diakuinya, pada 6 Maret lalu William telah mengadukan Teddy atas tuduhan penggelapan uang. ”Tapi sudah dicabut kembali. Saya tidak tahu persis tanggalnya,” kata Edward kepada Retno Sulistyowati dari Tempo News Room. Polisi tak lagi menindaklanjutinya karena menganggapnya ”persoalan internal yang akan diselesaikan sendiri.”
Rupanya, langkah keras si Om, begitu William biasa disapa, berbuah. Berdasarkan dokumen yang diperoleh TEMPO, pada 12 April lalu akhirnya Astra mentransfer US$ 15 juta (US$ 3 juta ke Edwin dan US$ 12 juta ke Indover) untuk mengakhiri sengketa ini.
Jadi beres? Jelas tidak. Pertanyaan pokok belum terjawab: ke mana larinya duit itu? Dalam laporan keuangan Astra 1997, 1998, dan 1999, setoran itu tak pernah dibukukan. Ihwal dana US$ 4 juta baru muncul dalam laporan 2000. Itu pun cuma ditulis sebagai utang Astra terhadap Edwin.
Tapi bagaimana hal-ihwalnya tetap gelap. Menurut penjelasan William kepada TEMPO, pada Desember 1996 itu juga dana Edwin ditransfer ke kas PT Suryaraya Gatratama, salah satu anak perusahaan Astra (lihat Misteri Empat Juta Dolar). Tapi, setelah itu, ihwal ke mana larinya dana sama sekali gelap.
Cuma, ada yang menarik. Di akta pendirian Suryaraya tahun 1990, Edwin tercatat sebagai presiden komisaris. Adapun komisarisnya adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi, yang ketika itu juga menjabat sebagai Direktur Keuangan Astra. Setelah keluarga Soeryadjaya tersingkir dari Astra pada akhir 1992 (empat tahun sebelum duit US$ 4 juta ditransfer), Edwin praktis tak lagi berpengaruh di Suryaraya, yang penuh dikontrol manajemen Astra yang baru, sampai akhirnya pada Januari 2000 Suryaraya dilikuidasi.
Ini jelas bukan perkara sepele. Astra, pabrik mobil terbesar di negeri ini yang kerap dipuja-puji sebagai salah satu perusahaan terbaik di Asia, bisa terjerat tuduhan genting: menyembunyikan isi perutnya untuk mengelabui publik. Kasus ini pun tengah mempertaruhkan nama besar Teddy sebagai seorang eksekutif jempolan. Lebih dari itu, banyak telunjuk kini juga diarahkan ke Menteri Rini Soewandi, salah satu pilar di tim ekonomi pemerintahan sekarang yang amat diandalkan Presiden Megawati. Saat patgulipat ini berlangsung, Rini—pernah disebut Edwin di Far Eastern Economic Review ”telah mengkhianati” keluarga Soeryadjaya dalam pengambilalihan Astra—duduk di pos yang paling berkaitan dengan urusan ini: Direktur Keuangan Astra.
Lebih celaka lagi, di baliknya ternyata ada soal lain yang lebih gawat. Penelusuran mingguan ini terhadap sejumlah dokumen autentik menunjukkan kasus Indover itu juga terkait dengan kejanggalan jual-beli 12 persen saham milik Edwin senilai US$ 110 juta atau Rp 1 triliun lebih di PT Astra Agro Lestari (AAL), salah satu anak perusahaan Astra yang paling cemerlang.
Cerita bermula pada akhir 1993, saat manajemen Astra berniat menguasai saham mayoritas di AAL untuk menjadikannya anak perusahaan terkonsolidasi. Tujuannya jelas: injeksi keuntungan AAL akan membuat buku Astra berkilat dan pada gilirannya mendongkrak harga saham Astra.
Edwin pun didesak agar melepas sahamnya. Kebetulan, pada 1995, Edwin lagi membutuhkan duit untuk mendanai proyek Kerja Sama Operasi Ariawest di Jawa Barat. Edwin dan Astra lantas bersepakat melakukan jual-beli sebagian saham, senilai US$ 50 juta, berdasarkan skema put-call option. Tapi ada syaratnya. Edwin mesti menyetor dulu US$ 4 juta untuk melunasi utang di Indover itu. Saham inilah yang lalu dijaminkan Edwin untuk mendapatkan kucuran kredit dari Citibank bagi proyek KSO-nya.
Ternyata, belakangan baru diketahui transaksi itu tak pernah dibukukan. Edwin dan Citibank kelabakan. Mereka lantas mendesak supaya jual-beli itu dicatatkan di laporan Astra. Tapi, karena hal itu telanjur disembunyikan di kolong meja dan jika dibukukan secara telanjang akan meletupkan masalah, manajemen Astra memolesnya dengan sebuah transaksi yang diduga sebagai rekaan.
Ditulis Asian Wall Street Journal Maret kemarin, jual-beli saham Edwin itu baru muncul dalam laporan keuangan 1999. Pembelinya adalah pihak ketiga, yakni Giraffe International Ltd., yang cuma dijelaskan dimiliki pengusaha Singapura. Dalam dua suratnya kepada Teddy Rachmat yang didapat TEMPO, Edwin jelas-jelas menyatakan, ”Selama 1998-1999 manajemen Astra ternyata tak pernah membuka transaksi itu.” Edwin juga menyebut Giraffe sebagai ”sebuah transaksi fiktif yang diciptakan pada akhir 1999.” Jika terbukti, patgulipat yang terjadi saat Teddy dan Rini memimpin Astra ini jelas masuk kategori pelanggaran berat yang bisa diganjar belasan tahun kurungan.
Sayang, penjelasan gamblang hanya bisa didapat dari sisi keluarga Soeryadjaya. Kepada TEMPO, William menjelaskan ihwal pengaduannya (lihat wawancara dengan William). Tapi pihak-pihak yang kena tuduhan memilih bungkam. Menteri Rini tak bersedia memberikan penjelasan. Saat ditemui, berulang-ulang, ia hanya berkelit dan menyatakan agar kasus ini ditanyakan kepada direksi sekarang. ”Karena sudah tidak di Astra, saya tidak dalam posisi menjelaskannya. Pada saat itu, posisi direksi ada sembilan orang, presdirnya Pak Teddy Rachmat, masing-masing punya rentang tanggung jawab,” katanya kepada Priandono dari Tempo News Room. Kalau soal transfer ke Suryaraya, tempat dia menjadi komisaris? Rini cuma tertawa dan berkata, ”Ya enggak, dong.”
Bekas Presiden Direktur PT Astra International ini memang punya alasan bersikap santai menghadapi pemberitaan tentang bekas kantornya itu. "Saya kan sudah mendapatkan Acquit Decharge dari para pemegang saham," katanya. Itu berarti para pemilik perusahaan telah menyetujui semua keputusannya selama menjadi direksi dan membebaskannya dari tanggungjawab atas dampak keputusan yang diambil direksi selama ia menjabat.
Adapun Teddy Rachmat hanya bersedia memberi penjelasan yang tak bisa dikutip. Cuma, dalam salinan suratnya kepada Edwin dan William, ia menerangkan uang US$ 4 juta tidak disetorkan ke Indover karena masih menunggu penyelesaian hukum. Soal transaksi Giraffe, ia menyatakan bahwa hal itu telah dijelaskan dalam laporan keuangan 1999 yang telah disahkan rapat umum pemegang saham tahun berikutnya.
Para petinggi Astra lainnya malah seperti berupaya menyelimuti aib yang telanjur meruap ke luar ini. Dikutip Koran Tempo, Wakil Presiden Direktur Budi Setiadharma menyangkal adanya pengaduan William. Ia juga menyatakan bahwa penyelidikan kasus ini, sebagaimana diminta Bursa Efek Jakarta dan Badan Pengawas Pasar Modal, telah selesai dan hasilnya dicatatkan dalam laporan keuangan 2001. Corporate Secretary Astra, Aminuddin, juga menyangkal dokumen yang didapat TEMPO tentang pembayaran Astra senilai US$ 15 juta kepada Indover dan Edwin. ”Kami masih menunggu hasil negosiasi dengan keluarga Soeryadjaya,” katanya.
Senin ini, ketika majalah ini sampai ke tangan Anda, kesepakatan damai antara keluarga Soeryadjaya dan Astra menurut rencana akan diumumkan ke khalayak ramai. Tapi mestinya itu bukan berarti segala yang gelap di tubuh Astra juga langsung jadi bening.
Karaniya Dharmasaputra, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo