Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tren capital inflow ke negara berkembang makin tinggi.
Pemerintah memanfaatkan tren investasi asing dengan menjual obligasi.
Kepercayaan investor bergantung pada cara pemerintah mengelola anggaran.
PASAR negara berkembang belakangan ini sedang kebanjiran investasi asing. Investor global makin deras mengguyurkan dana dalam berbagai aset finansial, terutama obligasi pemerintah. Suku bunga di negara-negara maju yang masih tinggi tak mengurangi minat investor meraup aset finansial negara berkembang yang risikonya lebih tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang Januari lalu, dana US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 16,8 triliun per hari diperkirakan mengalir ke negara-negara berkembang. Derasnya aliran dana itu menunjukkan pembalikan sentimen di pasar finansial global yang sangat drastis. Situasi ini sungguh berbalik 180 derajat dibanding pada tahun lalu. Kala itu, saat The Federal Reserve mulai menaikkan bunga, negara berkembang nyaris tak berdaya menahan kembalinya modal atau capital outflow ke negara maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu ada banyak faktor yang memicu kembalinya modal ke negara berkembang. Salah satunya investor global sudah mulai mengantisipasi datangnya resesi di negara-negara maju. Ekonomi yang melambat tentu bukan ladang investasi yang menarik. Sebaliknya, pemulihan ekonomi negara-negara berkembang karena berakhirnya masa pandemi terasa lebih menjanjikan bagi sebagian pengelola dana investasi, betapapun berisiko.
Indonesia ikut menikmati arus balik modal ini. Januari lalu, pemerintah menggunakan kesempatan ini untuk menjual obligasi berdenominasi dolar Amerika Serikat senilai US$ 3 miliar di pasar global. Selain lewat penjualan obligasi itu, dana investasi asing cukup deras masuk kembali melalui pasar keuangan dalam negeri. Sejak awal tahun hingga Kamis, 23 Februari lalu, dana asing yang masuk ke obligasi pemerintah berdenominasi rupiah mencapai Rp 44 triliun.
Jika terus berlanjut hingga beberapa bulan ke depan, kembalinya dana investasi portofolio asing ke Indonesia jelas akan berdampak positif pada neraca pembayaran kita tahun ini. Sebab, selama 2022 lalu, kaburnya dana asing dari pasar finansial merupakan salah satu sebab yang membuat neraca pembayaran Indonesia tergerus cukup dalam. Menurut catatan Bank Indonesia, tahun lalu jumlah dana asing yang kabur melalui pasar keuangan mencapai US$ 9 miliar.
Indonesia masih beruntung karena tahun lalu ada pengganjal berupa lonjakan harga komoditas ekspor. Meroketnya pendapatan ekspor menciptakan surplus neraca transaksi berjalan senilai US$ 13,2 miliar sehingga lubang besar dari kaburnya devisa melalui pasar finansial bisa tertutupi. Walhasil, neraca pembayaran Indonesia masih surplus US$ 3,99 miliar pada 2022.
Masalahnya, selalu ada kemungkinan harga komoditas ekspor Indonesia akan menurun, terutama jika permintaan melemah karena resesi ekonomi mulai melanda banyak negara. Dalam konteks inilah kondisi ekonomi Cina menjadi penting. Setelah mengubah kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19, pemerintah Cina sangat agresif berupaya memutar kembali roda ekonomi negaranya. Jika ekonomi Cina memang bisa pulih dengan cepat, ada kemungkinan permintaan akan berbagai komoditas dari Indonesia tak bakal merosot. Dus, tren surplus perdagangan Indonesia bisa bertahan meskipun ekonomi Amerika Serikat dan Eropa melambat.
Selain berdampak pada sektor riil, prospek positif pertumbuhan ekonomi di Cina dapat memelihara sentimen positif di pasar finansial. Dana investasi portofolio berpotensi mengalir kembali ke Cina dengan lebih deras. Tren ini biasanya akan merembet ke negara-negara Asia lain, termasuk Indonesia. Dari sini kita bisa berharap Indonesia akan kembali mencatatkan surplus investasi portofolio, tidak lagi negatif seperti tahun lalu.
Selain dorongan dari Cina, ada satu lagi faktor positif. Posisi fiskal Indonesia saat ini relatif baik. Rasio defisit anggaran, yang pernah meledak pada masa pandemi, kini sudah terkendali di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto. Jika pemerintah tetap pruden dan berdisiplin mengendalikan anggaran, para pemilik dana global tentu tak akan segan kembali menempatkan investasi di sini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo