Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tutup Mata atawa Alpa

Tiga laporan intern BNI pernah merekam pelanggaran di cabang Kebayoran Baru. Ada dua surat kredit yang mampir ke kantor pusat.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEWAT tengah hari, Selasa itu: telepon seluler M. Arsyad berdering. Direktur Kepatuhan BNI ketika bank itu kebobolan Rp 1,7 triliun itu sedang mengikuti sebuah seminar ekonomi di Hotel Shangri-La, Jakarta. Sang penelepon, yang rupanya tak asing bagi Arsyad, mengajak bertemu.

Tempat rendezvous disepakati Hotel Ambhara. Ketika tiba di coffee shop itu hotel, para perwira reserse telah menanti Arsyad. Sekitar setengah jam Arsyad ngobrol ngalor-ngidul dengan para reserse. Satu di antara hamba wet itu kemudian mengajak Arsyad ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, tak sampai satu kilometer dari tempat pertemuan.

Arsyad, yang saat ini masih mengurus soal pemulihan kerugian BNI akibat pembobolan Gramarindo, tak melihat ada yang aneh dengan undangan itu. Ia pun tak menolak. Dalam perjalanan menuju Mabes Polri, baru Arsyad tersentak. Di dalam mobil, seorang reserse menyodorkan secarik surat penangkapan.

Arsyad menjadi tersangka pertama dari pihak BNI sejak polisi membongkar ulang kasus ini beberapa bulan lalu. Patut diingat, Arsyad juga merupakan direksi BNI ketika pembobolan terjadi, yang dianugerahi status tersangka.

Dalam pemeriksaan tahap pertama, aparat hukum hanya menyentuh pegawai BNI di tingkat kantor cabang. Yang sudah diperiksa dan dijatuhi hukuman adalah Kusadiyuwono, kepala kantor cabang Kebayoran Baru, Nirwana Ali, wakil pimpinan cabang, dan Edy Santoso, kepala hubungan nasabah luar negeri.

Ada spekulasi, Arsyad dijadikan tersangka karena tuduhan penyuapan. Namanya memang sempat disebut-sebut dalam ”senandung” Komisaris Besar Irman Santosa. Penyidik pembobolan BNI tahap pertama itu kini jadi tersangka penerima suap.

Ketika diperiksa, Irman mengaku pernah menerima cek perjalanan senilai Rp 25 juta dari Arsyad. Bingkisan tunai itu juga diterima oleh semua rekan Irman yang terlibat dalam penyidikan pembobolan BNI.

Selain menebar angpau puluhan juta, Arsyad dituduh Irman telah menyetor hingga Rp 5 miliar ke Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri (baca Tempo, 27 Oktober 2005).

Sebelum ditahan, Arsyad sempat membantah telah melakukan penyuapan. ”Saya siap dikonfrontasi dengan orang yang mengaku menerima suap,” ujar Arsyad kepada Koran Tempo.

Dalam surat penangkapan Arsyad memang tak dicantumkan tuduhan penyuapan. Tindak pidana yang dituduhkan kepada Arsyad adalah korupsi, pencucian uang, dan pelanggaran perbankan.

Dalam pekan pertama penahanannya, Arsyad baru sempat diperiksa dua kali: Selasa sore dan Rabu pagi pekan lalu. Selebihnya ia hanya mendekam di ruang kerja pemeriksa, lantai satu gedung Badan Reserse dan Kriminal.

Pada hari pertama pemeriksaan, polisi hanya mengajukan pertanyaan yang bersifat umum, seperti riwayat kerja, deskripsi pekerjaan, dan struktur organisasi BNI. Baru pada Rabu pagi penyidik masuk ke materi dakwaan tentang tindak pidana perbankan.

Polisi mempertanyakan mengapa Arsyad, sebagai direktur kepatuhan di BNI, tak pernah melaporkan temuan tim audit intern BNI ke Bank Indonesia. Setahun sebelum kasus Gramarindo terungkap, para pemeriksa intern BNI sejatinya telah tiga kali melaporkan adanya pelanggaran dalam transaksi ekspor-impor di cabang Kebayoran Baru.

Peringatan dini pertama disampaikan oleh kontrol intern cabang. Para pemeriksa yang bekerja di bawah koordinasi kantor wilayah itu menemukan adanya surat kredit yang telah tertunggak melampaui tenggang waktu.

Hanya selang dua bulan, peringatan kembali berdering. Kali ini dari Satuan Pengawas Intern (SPI) Kantor Pusat. Ketika menggelar audit umum tahunan, tim SPI menemukan adanya pelanggaran dalam 11 transaksi diskonto wesel ekspor.

Kesalahan cabang, menurut SPI, adalah melakukan diskonto dengan pembayaran di muka, kendati persyaratan surat kredit belum terpenuhi dan tak ada akseptasi dari bank penerbit. Kontrol intern cabang yang kembali ke Kebayoran Baru pada Februari 2003 mendapati pelanggaran yang serupa dengan yang mereka temukan pada Agustus 2002.

Seperti dalam pemeriksaan pada Agustus, para kontroler mendokumentasi temuan mereka dalam laporan pemeriksaan berkala, yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah X (Jakarta) BNI, pimpinan cabang Kebayoran, Satuan Pengawas Intern Kantor Pusat, dan direktur kepatuhan.

Arsyad dianggap bersalah karena menutup mata terhadap tiga laporan itu. Sebagai direktur kepatuhan, ia tak terlihat berusaha menyetop pendiskontoan wesel ekspor berjangka milik Gramarindo di BNI Kebayoran Baru. Ketika kasus pembobolan terungkap, Gramarindo mewariskan tak kurang dari 39 lembar wesel ekspor berjangka yang macet, dengan nilai setara dengan Rp 1,2 triliun.

Arsyad membela diri. Ia merujuk ke aturan BNI yang menyatakan tak semua surat kredit yang tertunggak (unpaid) harus dilaporkan. Surat kredit yang telah dapat terdeteksi oleh tiga pemeriksaan intern itu termasuk jenis yang tak perlu dilaporkan.

”Ada perbedaan persepsi antara klien saya dan penyidik tentang surat kredit tertunggak macam apa yang harus dilaporkan,” kata T. Nasrullah, kuasa hukum M. Arsyad. Menurut Arsyad, surat kredit yang masih berpotensi dilunasi tak perlu dilaporkan.

Itu sebabnya ia baru melapor begitu kasus pembobolan diramaikan di media massa. Ada dua laporan yang ia serahkan ke Bank Indonesia. Laporan pertama langsung disampaikan kepada Gubernur BI, sedangkan laporan kedua dialamatkan ke Deputi Gubernur BI yang mengurusi pengawasan perbankan.

Karena ”perbedaan pandangan” itu, Nasrullah menganggap polisi kelewat cepat menetapkan Arsyad sebagai tersangka. ”Korupsi itu bukan tuduhan main-main,” ujar Nasrullah.

Polisi berpandangan sebaliknya. ”Bukti permulaan atas keterlibatan tersangka sudah cukup,” ujar Kepala Dinas Penerangan Umum Mabes Polri, Bambang Kuncoko, seperti dikutip Koran Tempo.

Satu sumber Tempo menguatkan pernyataan Bambang. ”Kelalaian melapor merupakan pintu masuk, karena itu merupakan pelanggaran yang paling kasatmata,” katanya.

Kesan bahwa para petinggi BNI saat itu, termasuk jajaran direksi, alpa dalam derajat tinggi memang sulit dibantah. Sebelum tim kontrol dan tim audit turun tangan, manajemen BNI seharusnya bisa mengendus kecurangan transaksi ekspor-impor di kantor Kebayoran Baru.

Dalam buku pedoman tata kerja BNI tentang transaksi ekspor-impor, disebutkan bahwa kantor pusat wajib menanyakan ke bank penerbit surat kredit bila ada surat kredit yang tak tertagih lebih dari 15 hari. Dalam pemeriksaan kontrol intern, pada Februari 2003, jelas-jelas disebutkan ada 43 lembar surat kredit yang telah tertunggak melebihi jangka waktu.

Andai aturan main itu dijalankan, tentu para petinggi BNI di luar cabang Kebayoran Baru bisa mengendus adanya keajaiban surat kredit yang digunakan oleh Gramarindo, seperti bank penerbit yang tak kredibel ataupun syarat-syaratnya yang tak mungkin dipenuhi (baca Tempo, 21 November 2005).

Bahkan sebelum surat kredit itu dinegosiasikan, BNI Kantor Pusat punya peluang mengendus kongkalikong antara Gramarindo dan pejabat BNI Kebayoran Baru. Tempo mendapat dua lembar salinan surat kredit yang masuk lebih dulu ke kantor pusat. Satu diterbitkan oleh Rosbank, lainnya oleh Dubai Bank of Kenya.

Menarik dicermati, dalam surat kredit yang diterbitkan Rosbank, tertanggal 28 Maret 2003, disebutkan bahwa BNI Kantor Pusat merupakan advising bank. Peran advising bank dalam surat kredit adalah menguji keotentikan surat kredit. Dalam surat kredit yang diterbitkan Dubai Bank, posisi BNI hanya sebagai pengantar dari advising bank.

Achil R. Djajadiningrat, Direktur Kepatuhan BNI, tak membantah bahwa dua lembar salinan surat kredit yang diterima oleh Tempo termasuk dua surat kredit yang dipakai Gramarindo menjebol BNI. Namun, ia membantah jika dikatakan BNI Kantor Pusat berperan sebagai advising bank. ”Yang menjadi advising bank sebenarnya adalah sebuah bank asing,” katanya.

Andaikata peran BNI memang hanya sebatas pengantar, mengapa tak satu pun pegawai kantor pusat yang mengendus keanehan nama bank penerbit surat kredit? ”Surat kredit itu memang asli,” Achil berkilah. ”Yang menjadi masalah adalah realisasinya.”

Para penyidik bisa jadi berpandangan lain. Itu sebabnya Arsyad ditahan. Dengan pemeriksaan Arsyad, baru dapat diketahui apakah para petinggi BNI sengaja membiarkan pendiskontoan wesel ekspor Gramarindo—yang artinya tutup mata terhadap aksi pembobolan—atau sekadar alpa

Thomas Hadiwinata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus