TELEVISI di Indonesia memasuki babak baru pekan ini. Semua televisi swasta diperbolehkan melakukan siaran secara nasional. RCTI dan SCTV, misalnya, mulai Selasa pekan ini akan mengudara di sepuluh kota di luar Jakarta. TPI dan AN Teve pun mengikutinya, secara bertahap. Itu artinya, pemirsa di Dilli bakal kaget: ada bajak laut yang mabuk laut. Itu adalah iklan obat yang menggambarkan Kapten Hook sedang mabuk laut. Selain iklan-iklan yang lucu banyak pemirsa terhibur oleh iklan iklan yang memamerkan gaya hidup mewah pun bakal masuk secara nasional. Apa kabar TVRI? Apakah alasan ''masyarakat pedesaan tak siap menerima iklan'' masih dipakai dalih menolak iklan? ''Sampai sekarang tetap tidak diperbolehkan. Dan sampai hari ini belum terpikirkan apakah nanti akan boleh atau tidak,'' kata Dirjen Radio, Televisi, dan Film, Alex Leo Zulkarnain. Kalau televisi swasta mengudarakan siaran iklan sampai ke pelosok desa, kata Alex, boleh saja. ''Sejauh iklan tidak menimbulkan hal-hal negatif, silakan,'' katanya lagi. Banyak pengamat yang berpendapat bahwa ancaman konsumtivisme, yang di tahun 1981 jadi alasan melarang iklan di TVRI, dianggap tidak relevan lagi. Apalagi televisi swasta bebas gentayangan dengan iklan-iklan gaya mewahnya. Siaran TPI pagi hari sudah lama ''menasional'' dengan iklan-iklannya. Kini, jika TVRI masih tabu dengan iklan, itu karena TVRI sebagai media pemerintah memilih untuk mengalah. Ini menurut Alex Leo. Argumentasinya begini: jika lima televisi swasta sudah beroperasi semua, dan TVRI ikut menayangkan iklan, tak bakal ada lagi iklan yang bisa diserap media cetak. ''Pendulum minat iklan lebih bergoyang ke media eletronik, tapi Departemen Penerangan perlu memikirkan juga nasib media cetak,'' kata Alex. Wow, ini alasan baru. Tapi betul, dana iklan untuk bulan Januari sampai Juni 1993, misalnya, lebih banyak mengalir ke media elektronik. Di peringkat pertama adalah RCTI dengan pemasukan Rp 190 miliar, diikuti TPI sebesar Rp 180 miliar. Sedangkan seluruh media cetak hanya bisa menyerap Rp 231 miliar. Apakah nantinya media cetak kesepian iklan jika semua televisi siaran nasional? ''Tidak semua iklan tepat dipasang di televisi. Hanya untuk produk perkotaan saja yang tepat dipasang di televisi,'' kata Rima Sjoekri, Media Planner dari Biro Iklan Ad Force. Tapi, ngomong-ngomong soal semen, eh, iklan, TVRI sebenarnya tidak bersih dari iklan. Lihatlah acara kuis seperti Gita Remaja, yang ditayangkan TVRI tiap bulan. Berulang kali menyebut-nyebut Bank Bukopin sebagai pemberi hadiah. Pada akhir acara Kamis pekan lalu, tulisan Bank Bukopin malah majang dua kali di layar televisi. Sementara itu acara musik selingan sering memunculkan merek BASF di bagian atas layar. Pemirsa TVRI pun sudah tak asing lagi dengan merek-merek Ligna, Filma, Rexona, Sony, dan banyak lagi. ''Itu acara kerja sama TVRI dengan pihak ketiga. TVRI bisa membuat acara tanpa mengeluarkan biaya karena pihak ketiga yang menutup biaya produksi,'' kata Direktur TVRI, Aziz Husein. Soalnya, kata Aziz, dana untuk TVRI yang bersumber dari iuran televisi dan subsidi pemerintah tidak mampu menutup biaya produksi. Karena iklan tak boleh, ya, kerja sama. Tahun 1993 ini anggaran TVRI direncanakan mencapai Rp 160 miliar. Namun, anggaran itu tak bakal bisa ditutup iuran televisi yang hanya Rp 90 miliar. Adapun subsidi pemerintah yang jumlahnya sekitar Rp 10 miliar digunakan khusus untuk peralatan. Kekurangan itulah digali lewat kerja sama dengan pihak ketiga. Menurut Kepala Stasiun TVRI Pusat Jakarta, Halim Nasir, kerja sama dengan produsen tertentu itu tak bisa digolongkan iklan walau kadang menghasilkan sedikit pemasukan. Karena tak ada tarif yang baku dalam kerja sama yang menawarkan kompensasi berupa penayangan merek produk. Apalagi kerja sama dengan lembaga pemerintah, yang diperoleh betul-betul hanya untuk menutup biaya produksi. Lewat kerja sama itu, tahun lalu TVRI hanya mampu meraih Rp 25 miliar. Namun, ada kerja sama yang justru masih rugi. Misalnya, sebuah program acara membutuhkan biaya Rp 30 juta. Pihak ketiga hanya bersedia menutup setengah biaya. Karena program itu penting, kerja sama sudah bisa jalan. ''Jadi, kalau mau dibandingkan dengan tarif iklan di televisi swasta jelas murah sekali karena memang kerja sama bukan tergolong iklan,'' kata Halim lagi. Perbedaan lain lagi dengan iklan, tayangan merek produk dalam bentuk kerja sama tidak boleh menghentikan acara tersebut. ''Acara harus jalan terus, dan tayangan produk hanya diselipkan. Jadi, bukan hard sale yang bertujuan menjual suatu produk,'' tambah Halim. Dan, yang penting, kerja sama hanya insidentil, sedangkan iklan bersifat kontinu. Artinya, suatu program acara rutin bisa saja disponsori oleh pihak ketiga yang berbeda-beda. Persoalannya adalah program produk kerja sama hasilnya sering tak begitu bagus, karena masuknya kepentingan sponsor itu. ''Program kerja sama jadi kendala juga. Dengan kerja sama, kita tidak bisa mendapat sinetron sebaik Siti Nurbaya yang produk TVRI murni,'' pengakuan Aziz Husein. Memang serba repot. Sementara itu di jalur televisi swasta, program acaranya tetap tanpa jaminan kualitas, padahal dana masyarakat lewat iklan mengalir ke sana. Jadi? Selamat bersiaran nasional untuk televisi swasta, dan selamat ulang tahun untuk TVRI. Mau apa lagi? Liston P. Siregar dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini